".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 1 August 2014

Catatan Kuliner Jawa Dalam Serat Centhini


Beberapa tahun ini banyak orang membahas tentang aneka makanan tradisional yang merupakan kekayaan ikon heritage (tinggalan budaya) dari berbagai daerah. Tidak banyak tulisan ilmiah maupun kitab-kitab kuno yang mengulas mengenai keberadaan pelestarian warisan nenek moyang kita itu. Etnik Jawa adalah salah satu yang memiliki kelengkapan catatan kitab tentang seni masakan Jawa tempo dulu yang tertulis dalam dalam Serat Centhini yang membahas permasalahan makanan itu dengan sangat detail.

Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

Serat Centhini ditulis oleh tim penulis yang dipimpin oleh KGPAA Hamangkunegara III kelak menjadi Sunan Paku Buwana V. Anggota tim terdiri dari : Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II dan Kiai Ngabei Sastradipura. Serat Centhini ditulis  pada tahun 1814 dengan menggunakan bahasa dan huruf Jawa.

Serat Centhini menceritakan tentang banyak hal, antara lain tentang seni, kehidupan dan kebudayaan Jawa, agama, makanan tradisional, ramun jamu atau obat tradisional, jenis-jenis tanaman dan kisah percintaan.

Rentang wilayah yang diceritakan dalam Serat Centhini adalah Pulau Jawa meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Mataram dan Jawa Timur. Pada buku Serat Centhini, makanan tidak hanya dihidangkan pada saat makan utama saja, tetapi juga dihidangkan untuk berbagai peristiwa seperti kenduri, hajatan, jamuan untuk tamu, pesta pernikahan, puputan anak,kesenian,gotong royong dan sebagainya. Makanan yang dihidangkan meliputi makanan utama, lauk pauk hewani maupun nabati, kudapan basah maupun kering, minuman dan bermacam-macam buah-buahan.

Kalau disimak catatan Serat Centhini dengan melihat hiruk pikuk kemunculan berbagai jenis masakan atau makanan modern saat ini, maka makanan “tempo doeloe” yang dikenal dengan sebutan jajanan pasar ternyata tetap saja eksis sampai sekarang. Terutama di kalangan masyarakat Jawa, contohnya sampai saat ini jajanan pasar masih dilestarikan, diuri-uri. Lihat saja upacara panen raya, atau pesta pernikahan, pindah rumah dll, jajanan pasar tidak ketinggalan dijadikan sebagai bagian dari uba rampe ritual.

Sebenarnya, dalam catatan Serat Centhini, yang apa kemudian dikenal sebagai jajanan pasar merupakan hidangan untuk berbagai peristiwa penting seperti perjamuan makan tamu, pesta pernikahan, puputan anak, kematian, gekar kesenian, bergotong royong dan sebagainya. Makanan yang dihidangkan meliputi makanan utama dan berbagai jenis lauk pauk hewani maupun nabati, kudapan basah maupun kering, minuman dan aneka buah-buahan.

Dilain hal dalam catatan Serat Centhini diceritakan bahwa kebanyakan masyarakat mengkonsumsi hasil bumi dan karangkitri berupa pala kependhem (umbi-umbian), pala gemantung (buah-buahan) dan pala kesimpar (buah di atas permukaan tanah). Selain bahan pangan, di pekarangan juga tersedia sirih, obat herbal dan bunga yang digunakan sebagai penghias dan pengharum lingkungan seperti : anggrek bulan, wora-wari, kenanga, cempaka, melati, menur dan bunga dangan.

Kolam di sekitar rumah hampir selalu ada di setiap lokasi yang diceritakan dalam Serat Centhini. Dari kolam dan sungai masyarakat membudidayakan dan menangkap ikan konsumsi. Jenis ikan yang sering dikonsumsi meliputi ikan kolam (tambra, gurameh, wader dan lele), ikan sungai dan ikan laut (kalarung, tengiri, wagal).

Pada jaman itu, masyarakat telah mengenal, memiliki dan membudayakan pola makan tiga kali sehari yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam. Diantara  waktu makan dalam sehari, biasanya tersaji aneka kudapan kering maupun basah, gurih dan manis.

Sedangkan minuman yang dihidangkan biasanya minuman hangat, berupa sari nabati (air tebu, teh, kopi, wedang bunga srigading, minuman blimbing wuluh, minuman bunga tempayang, minuman bunga sridenta, wedang jahe, wedang daun kemadhuh, wedang temulawak) minuman keras berupa arak dan tampo (minuman keras tape), susu, legen, air kelapa, cao, dawet, tajin dan ronde.

Makanan tidak sekedar dimakan agar kenyang tetapi ada beberapa maksud seperti ” berkat” adalah mengingatkan yang sedang makan untuk selalu mengingat yang di rumah dengan cara membawa makanan pulang dan diberikan kepada keluarga di rumah. Dalam kehidupan masyarakat apabila ada kenduri, selamatan atau hajatan lain, para tetangga dan teman yang punya hajat diundang untuk berdoa dan makan bersama atau kembulan. Kondangan, itulah istilah yang digunakan untuk menyebut aktivitas mendatangi tetangga atau teman yang sedang punya hajat. Setelah semua makan dan pesta usai, para tamu undangan yang kondangan ini diberi buah tangan oleh tuan rumah yang disebut “berkat”.

Selain “berkat”, dikenal pula makanan “punjungan” yaitu makanan yang dikirim kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Ada juga makanan yang disebut “ulih-ulih”, yakni nasi dan lauk pauk untuk mereka yang terlibat among gawe. ”Ulih-ulih” adalah ungkapan rasa terima kasih yang diberikan dalam bentuk nasi dan lauk pauk kepada mereka yang datang pada keluarga atau tetangga yang punya hajat.

Pada Serat Centhini diceritakan bahwa makanan tidak hanya dihidangkan pada saat makan utama saja, tetapi juga pada peristiwa-peristiwa penting lainnya. Serat Centhini juga menyebutkan, sajian makanan khusus juga diberikan kepada tetamu yang datang ke rumah. Hidangan ini terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, minuman dan aneka buah. Makanan utama yang biasanya disajikan bisa berupa nasi liwet, nasi tumpeng, nasi uduk, nasi golong, nasi ketan, nasi megana, nasi kebuli dan nasi jagung. Beras yang digunakan adalah beras gaga baik yang merah maupun putih. Lauk pauk yang dihidangkan meliputi lauk hewani meliputi ayam panggang, ayam goreng, sate ayam, age, dendeng goreng, dendeng bakar, empal, rempah, besengek, bekakak, pepes ikan, gulai kambing, mangut, telur asin dan opor. Lauk pauk nabati meliputi sayur bening, sayur lodeh, brongkos, pecel, gudangan, gudeg, bongko, kemangi, timun, sambal goreng, sambal bawang dan sambal kacang. Minuman yang dihidangkan untuk tamu adalah minuman yang hangat maupun yang segar seperti teh, kopi, air putih, legen, air kelapa, wedang temulawak, wedang jahe, wedang seruni dan minuman blimbing wuluh. Pada umumnya minuman dihidangkan bersamaan dengan kudapan seperti putu, carabikan, mendut, semar mendem, aneka jenang, wajik, gembili, lemper, brem dan pipis kopyor. Adapun buah-buahan yang dihidangkan sebagai pencuci mulut adalah jeruk keprok, duku, manggis, kokosan, pakel, durian, salak, kepundhung, pijetan, duwet dan srikaya.

Dalam salah satu kisah di Serat Centhini   berjudul Ki Damarjati, Kepala Desa Prawata bagian 30 Menyiapkan Jamuan, menceritakan kedatangan R. Jayengresmi dengan Gatak Gatuk ke Desa Prawata. Ki Damarjati menyuruh istri dan anaknya, Wara Surendra pergi ke ladang dan memetik tanaman hasil bumi. Wara Surendra memetik jambu dersana, manggis, kepel, kokosan, rambutan, duwet putih, salak, delima dan pelem madu. Ia menyediakan makanan berupa sayur bening, sambal jagung, sayur menir, pecel dengan ayam muda, aneka sayuran mentah, betutu ayam, ikan gabus asin, ayam goreng betina, acar dari bawang putih dan mentimun kecil.

Ia juga menyediakan  makanan kecil seperti criping ubi kayu, criping linjik (jenis ketela), pisang goreng memakai gula, criping ketela, putu tegal, mendut, semar mendem, nasi yang lunak, nasi ayam jago dan karag gurih. Sedangkan minuman yang disajikan berupa kopi gula tebu disaring dengan tapas (jaringan pada pangkal pelepah daun kelapa) dan  air panas seduhan daun belimbing wuluh.

Dalam kisah berjudul Ki Wargapati Kepala Desa Bogor : Singgah di Bogor, dijamu serba ikan tambra, menceritakan tentang Jayengresmi yang singgah di rumah Ki Wargapati. Ki Wargapati lalu memukul kentongan untuk mengumpulkan segenap keluarganya menyambut kedatangan tamu yang istimewa di rumahnya. Segera dihidangkan nasi lengkap dengan lauk-pauknya berupa masakan ikan tambra, seperti : lemeng tambra, gesek tambra, kolak tambra, asem-asem tambra, telur tambra, pepes tambra, acar tambra, ati tambra, gecok tambra, tambra diasinkan, tambra goreng, abon, semur tambra, sambel goreng tambra, urip-urip tambra dengan sambel uleg dan lalapnya.

Selain itu, Centhini juga menjabarkan bagaimana cara menanak nasi yang baik dan benar. Ada nasi yang dimasak dengan kuali yang diberi air yang kemudian disebut dengan nasi liwet, ada pula nasi yang dinanak di dalam bambu yang sudah dicampur dengan bumbu-bumbu. Tidak hanya itu, jenis padi yang sering dihadangkan kepada tamu yang datang pun tak lupa dicatat dengan lengkap.

Serat Centhini sebagai karya masterpiece Sunan Paku Buwana V (1820-1823) ternyata memberikan data-data penting tentang makanan tradisional Jawa tempo dulu. Berbagai macam nama makanan dan minuman yang disebutkan menunjukkan betapa kayanya makanan tradisional dan teknik pengolahan makanan Jawa tempo dulu.

Kisah-kisah makanan ini kebanyakan terjadi di tengah-tengah kisah perjalanan para keturunan Sunan Giri, yang notabene adalah tokoh dalam kitab tersebut. Secara tersirat, informasi mengenai makanan itu bersumber dari dua cara. Pertama ketika si tokoh utama kemalaman di tengah jalan sehingga harus menginap di sebuah rumah. Kedua, informasi itu datang dari para tuan rumah yang secara tidak sengaja menceritakan perihal sesaji yang ada di tiap upacara.

Meskipun hanya menghadirkan makanan-makanan pedesaan, itu membuktikan bahwa Serat Centhini tidak hanya sekadar urusan seks dan spiritualitas belaka, tapi juga menghadirkan informasi-informasi sarat makna. Termasuk juga pengetahuan tentang makanan.

Dengan demikian sejarah mengajarkan nilai pentingnya menghargai cipta dan karya manusia (historic value) bagi keberlanjutan tradisi masyarakat tradisional sehingga pelestarian dan pemanfaatannya dapat berkesinambungan.

Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- Himawan Prasetyo, Sejarawan dan Pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta
- Sumahatmaka, R.M.A, Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras)
- Kompas Online: Serat Centhini, Sinkretisme Islam, dan Dunia Orang Jawa