".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 26 December 2014

RACIKAN BUDAYA DALAM UNTAIAN MASAKAN INDONESIA

PENDAHULUAN
Sejak ratusan tahun yang lalu, Indonesia kerap didatangi oleh orang-orang asing dari berbagai negara benua Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) serta Asia (India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Jepang). Kekayaan alam serta keramahan pribumi menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa asing tersebut untuk datang ke Indonesia. Mereka datang dengan berbagai tujuan, mulai dari berdagang, menyebarkan agama hingga melakukan penjajahan. Ketika datang dan hidup di bumi nusantara orang-orang asing tersebut membawa kebudayaan dari negara mereka masing-masing. Dengan demikian teknik memasak dan bahan makanan asli Nusantara saat itu berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Tiongkok, dan akhirnya Eropa. Tak pelak, kondisi tersebut memunculkan fenomena lintas budaya dalam berbagai aspek, salah satunya adalah masakan.

Bangsa-bangsa asing tersebut selama menetap melakukan interaksi, adaptasi dan berbaur dengan kebiasaan masyarakat setempat, bahkan kemudian menikah dengan pribumi. Banyak hal yang harus mereka selaraskan ketika hidup berdampingan, mulai dari gaya hidup, cara berkomunikasi, hingga urusan yang sangat manusiawi, yakni makanan. Etnik pendatang ini tidak langsung bisa menyantap makanan yang ada. Karena tidak setiap hari bisa menyantap masakan dari negara asalnya, akibat kesediaan bahan baku, maka butuh waktu bagi bangsa asing ini untuk bisa beradaptasi dengan makanan pribumi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ada yang bisa menyantap masakan tersebut, namun banyak juga yang akhirnya sedikit memodifikasi resep-resep masakan asal negara mereka dengan menggunakan bahan baku lokal namun tetap sesuai selera.

Sejak itu ragam kuliner negeri ini banyak dipengaruhi oleh budaya dari bangsa-bangsa asing (khususnya Belanda dan Tiongkok) yang pernah menetap di bumi khatulistiwa sebelum menjadi sebuah republik. Pengaruh Belanda dan Tiongkok itu, pertama disebabkan kedua etnik pendatang inilah yang paling lama dan sejak awal hadir di bumi Nusantara. Kedua, dan ini jarang diketahui banyak orang, bangsa Cina dan Belanda mempunyai kebiasaan dimana mereka berada, selalu mendirikan pasar / toko berlokasi dimana pembeli dan penjual berasal dari etnis yang sama. Pasar / toko ini untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan hidup sehari-hari dan bahan baku masakan mereka yang diperoleh dari para pelaut yang datang di pelabuhan maupun untuk memperjual belikan barang-barang lokal dari pedagang setempat. Di sekitar pasar / toko itu kemudian dibuka kedai-kedai makanan / restoran yang menghidangkan budaya kuliner masakan Belanda dan Tiongkok yang serta merta berkembang secara perlahan masuk ke dalam lingkungan kehidupan kuliner masyarakat lokal.

Namun pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh kebudayaan Nusantara serta pengaruh asing. Fenomena lintas budaya yang terjadi membuat negeri Indonesia kaya akan berbagai aneka ragam macam kuliner. Baik makanan khas asli maupun yang sudah mendapat pengaruh dari bangsa-bangsa asing. Bentuk lanskap penyajian makanan Nusantara saat itu umumnya disajikan berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring.

PENGARUH BELANDA
Pengaruh Belanda paling terlihat dalam masakan Jawa karena wilayah ini paling diperhatikan oleh Belanda selain banyak yang bermukim di kepulauan ini. Tidak heran akhirnya pertemuan antara pribumi (Jawa) dan Belanda menghasilkan suatu kehidupan sosial budaya yang berbeda. Berakhirnya kekuasaan VOC pada 1799 menjadi fase penting dalam menciptakan perubahan sosial budaya itu seiring munculnya kekuasaan politik Hindia Belanda (Pax Neerlandica) pada awal abad ke-19.

Banyak pria-pria Belanda yang tinggal bersama dengan perempuan pribumi (Jawa) atau biasa disebut Nyai. Ada yang secara resmi dinikahi dan ada juga yang hanya dipekerjakan sebagai pelayan atau pembantu. Ketika tinggal bersama Nyai, para pria Belanda membiasakan diri dengan nuansa kehidupan Jawa. Sudah menjadi kodrat bagi pria untuk dilayani, pun begitu dengan pria Belanda yang membutuhkan Nyai untuk mengurus segala keperluan mereka, termasuk urusan makan. Kehidupan bersama Nyai membuat para pria Eropa (Belanda) terbiasa dengan makanan dan masakan pribumi (Jawa) meski tentunya mereka membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan lidah dan cita rasa makanan dan masakan Jawa.

Ada banyak makanan Indonesia yang sebenarnya mendapat pengaruh Belanda, antara lain sup dan bistik. Pada mulanya sup diperkenalkan oleh orang Belanda pada abad ke-19 dalam jamuan makan. Merujuk pada suatu sumber referensi, terdapat 2 (dua) resep sup yang mendapat pengaruh Belanda, yaitu Hollandsche Vermicellisoep (Sup Sohun Belanda) dan Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda).

Pada menu pertama dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari negara lain selain Belanda. Penggunaan bahan makanan sohun atau bihun sudah jelas menggambarkan pengaruh Tiongkok pada menu tersebut. Bahan utama dari Sup Sohun Belanda tentunya adalah mie sohun atau bihun, dengan bahan pendamping telur ayam, bawang merah daun bawang, dan susu. Dari bahan-bahan tersebut, yang memberi cita rasa Belanda adalah campuran kuning telur dan susu. Pada menu Hollandsche Erwtensoep (Sup Kacang Polong Belanda) lagi-lagi mendapat pengaruh Tiongkok, dengan adanya kaki babi (Varkenspoot) pada komposisinya. Penggunaan daging babi alih-alih daging sapi merupakan ciri khas kuliner Tiongkok. Bahan makanan lain adalah kacang polong (bahan utama), bawang, seledri, dan kapri (Erwtensoep).

Bistik, jika di Barat umumnya disebut steak, sebenarnya merupakan saduran dari bahasa Belanda yakni biefstuk. Bistik, seperti laiknya steak, merupakan olahan daging (umumnya sapi) dengan pendamping berupa kacang polong, wortel, dan kentang. Ada 2 (dua) menu bistik yang mendapat pengaruh Belanda, yakni Biefstuktjes (Bistik) dan Bistik Djawa.

Orang Jawa tentunya mengerti perihal bistik dari orang-orang Belanda. Jaman dahulu, bistik dikenal sebagai makanan yang memiliki tampilan lain dari yang lain (tidak biasa) oleh orang Jawa. Pada masa kolonial, cara masak bistik diadopsi oleh pribumi (Jawa) yang bekerja sebagai pelayan di rumah orang-orang Belanda. Sejatinya cara memasak bistik Belanda sangatlah sederhana, yakni cukup diberi bumbu, dipanggang, baru kemudian disajikan di piring dengan berbagai hiasannya. Pribumi (Jawa) yang mengadopsi bistik kemudian memodifikasi cara masak tersebut. Daging bukan dipanggang, namun digoreng. Pun dengan perpaduan bahan masak, yakni adanya pala, merica, hingga kecap manis yang mencitrakan selera lidah orang Jawa. Sehingga pengaruh Jawa dapat dilihat dari cara pengolahan dan juga bahan masaknya.

Pada Bistik Djawa, pengaruh Jawa begitu kental terasa, mulai dari cara pengolahan hingga penyajian. Daging digiling terlebih dahulu baru kemudian dihaluskan, sangat menunjukkan cara orang Jawa dalam mengolah masakan daging. Pada saat penyajian, daging beserta para pendampingnya (kentang, wortel, dan sayuran) ditata di atas piring baru kemudian disiram dengan kuah semur manis sebagai saus. Ciri khas masakan Jawa adalah cita rasa manis, yang terdapat dalam saus bistik tersebut. Rasa manis dari kuah semur ini merupakan bentuk akulturasi dari resep masakan bistik orang Belanda.

PENGARUH TIONGKOK
Istilah masakan Tiongha di daratan Tiongkok juga mengacu kepada variasi dari seluruh suku bangsa, agama dan tradisi yang berkembang di negara tersebut. Namun, masakan Tiongkok yang diperkenalkan kepada banyak bangsa di dunia adalah masakan etnis Han. Pengaruh masakan etnis Han ada di setiap kuliner negara-negara timur dan menyebar di luar komunitas-komunitasnya di seluruh dunia, termasuk di bumu pertiwi Nusantara..

Masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan berbagai masakan seperti mi, bakso, hingga cap cay. Masakan-masakan tersebut dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat Indonesia, baik di warung kaki lima, pujasera, restoran mewah, atau dimasak sendiri di rumah. Sejatinya, masakan-masakan tersebut berasal dari daratan Tirai Bambu dan masuk ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Seperti halnya masakan Belanda yang dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan selera orang Indonesia, hal tersebut juga berlaku untuk masakan-masakan dari Tiongkok.

Mi merupakan makanan asli dari Tiongkok dan sangat populer di kawasan Asia. Bersamaan dengan misi penyebaran agama dan perdagangan, bangsa Tiongkok memperkenalkan mi hingga ke wilayah Nusantara. Di Indonesia, terdapat banyak varian mi yang menunjukkan fenomena lintas budaya Tiongkok dan Indonesia. Uniknya, tiap daerah seakan-akan memiliki varian mi sendiri, seperti; Mi Aceh, Mi Ayam, Bakmi Jawa, Mi Jakarta, dan masih banyak lagi. Sehingga tidak salah jika menyebut mi dianggap sebagai salah satu makanan pokok oleh orang Indonesia.

Berbagai varian mi tersebut menunjukkan perpaduan antara bahan masakan utama (mi) yang berasal dari Tiongkok dan bahan-bahan masakan asli Indonesia. Cara memasak dan menyantap hidangan pun mengadopsi dari Tiongkok. Contohnya saja di beberapa restoran atau warung yang menyediakan chinese food, umumnya koki atau juru masak saat sebelum memasak akan menyiapkan bahan-bahan makanan yang dijadikan satu dalam suatu piring sesuai menu yang dipesan. Setelah piring yang berisi bahan-bahan makanan tersebut siap, barulah dimasukkan dalam penggorengan atau piranti memasak lainnya. Untuk cara menyantap hidangan, sudah umum jika menemui sumpit sebagai alat makan di berbagai warung mi atau resto chinese food.

Bakso, sesungguhnya merupakan kata yang berasal dari bahasa Tiongkok. “Bak” artinya daging babi dan “so” artinya mi dan sup. Memang pada dasarnya bakso menggunakan daging babi, seperti umunya hidangan khas Tiongkok. Namun di Indonesia daging babi diganti dengan daging sapi, bahkan saat ini sudah terdapat banyak varian bakso dari berbagai bahan. Contohnya saja daging ayam, ikan tenggiri, hingga udang.

Seperti halnya mi, bakso juga dapat dengan mudah ditemui di mana saja. Rasanya yang nikmat dan teksturnya yang unik membuat siapapun jatuh hati pada kelezatannya. Di Indonesia, ketika menyantap bakso umumnya ditemani dengan berbagai pelengkap seperti kecap manis, saus tomat, sambal, hingga kerupuk. Penggunaan berbagai pelengkap tersebut menunjukkan cara menyantap orang Indonesia yang gemar menambahkan sesuatu dalam hidangannya.

PENUTUP
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut juga mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Kehadiran orang-orang asing sejak ratusan tahun yang lalu membawa berbagai dampak, baik negatif maupun positif. Dampak positifnya yakni kehadiran orang-orang asing tersebut mampu memberi keragaman dalam varian kuliner nusantara, khususnya dari Belanda dan Tiongkok. Berbagai hal seperti teknik memasak, bahan makanan, hingga cara menyantap pun banyak yang mendapat pengaruh dari kedua negara tersebut. Mulai dari jajanan hingga makanan besar banyak yang menunjukkan perpaduan antara Indonesia dengan Belanda dan Tiongkok.

Penggunaan bahan-bahan masakan lokal sebagai pengganti merupakan bentuk adaptasi orang Indonesia terhadap menu-menu dari Belanda dan Tiongkok. Seperti kekayaan alam berupa rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu memasak. Cara mengolah bahan makanan yang merupakan tradisi warisan nenek moyang tetap digunakan untuk menyajikan menu-menu adaptasi dari kedua negara tersebut. Bahkan hingga cara menyantap seperti penggunaan sumpit (pada masakan Tiongkok) dan pelengkap rasa menunjukkan cara orang Indonesia dalam menyikapi hidangan sehari-hari.

Indonesia memiliki ragam seni dan budaya kuliner yang keberadaannya perlu dikembangkan dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan waktu. Kekayaan kuliner yang merupakan kearifan lokal sudah ada sejak lama di Indonesia patut dipertahankan. Perkembangan jaman memang sudah sedikit mengikis kebanggaan akan kearifan lokal, namun pengembangan makanan daerah kini semakin pesat dan semakin banyak ragam makanan yang muncul dan bahkan menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Namun alangkah baiknya jika generasi muda lebih mengembangkan lagi tanpa terlalu melibatkan pengaruh dari negara-negara lain.

Perlu diingat, Indonesia memiliki keragaman budaya sebagai akibat dari keragaman suku bangsa yang mendiami kawasan ini. Budaya tersebut mencakup sistem teknologi tradisional, adat istiadat, dan sebagainya. Di antara keragaman itu, salah satu hasil budaya yang menarik adalah keragaman jenis makanan tradisional yang berhubungan erat dengan teknologi pengolahan bahan dalam proses memasak makanan. Seluruh suku di Indonesia memiliki kekhasan dalam jenis dan teknologi makanan tradisional. Keberadaan makanan tradisional itu pada umumnya tidak terlepas dari adat istiadat suatu masyarakat setempat sehingga makanan tradisional dapat menjadi cerminan budaya suatu masyarakat.

Cermin interaksi & pengaruh budaya masakan dari bangsa asing (Belanda dan Tiongkok) tidak banyak mempengaruhi khazanah makanan tradisional Indonesia,  meskipun terjadi modifikasi disana-sini tetapi lebih banyak unsur luar beradaptasi dengan unsur lokal. Hal ini dikarenakan makanan tradisional adalah makanan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia, serta telah ada sejak nenek moyang suku Nusantara yang pekat dengan kelembagaan tradisi setempat.

Kini saatnya bagi generasi muda untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan tidak terlalu terpengaruh dengan gaya hidup negara lain, khususnya dari Barat. Jika kearifan lokal yang sudah memudar bisa terpupuk lagi dengan baik, niscaya Indonesia akan berjalan menuju cahaya kebanggaan yang mampu bersaing di kancah internasional, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada.

Monday 22 December 2014

Meracik Untaian Kata Gastronomi Indonesia




Pemahaman terhadap gastronomi di Indonesia masih langka dan belum dimengerti oleh masyarakat kebanyakan. Malah ada yang menyamakan gastronomi dengan kuliner atau kulinologi. Ketiganya punya arti yang berbeda meski obyeknya sama yakni makanan (hidangan).

Kuliner (atau disebut juga seni kuliner) didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu dan kebiasaan (practices) yang berhubungan dengan seni dan keterampilan menyiapkan, menyusun, memasak, meracik minuman dan menyajikan hidangan.

Kulinologi adalah pendekatan baru dalam seni memasak (kuliner) yang memadukan (mensinergikan) seni kuliner, ilmu dan teknologi pangan untuk membuat rasa hidangan lebih baik dengan metode menerjemahkan konsep sebuah makanan, seperti yang diterapkan dalam santapan atau dalam hidangan etnis tradisional.

Gastronomi adalah seni, ilmu dan pengetahuan mendetail serta apresiasi akan makanan yang baik (good eating) atau segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari hidangan. Secara universal gastronomi adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari mengenai hubungan kuliner dengan berbagai komponen budaya dan sejarah dimana makanan sebagai poros tengah yang fokusnya pada hidangan yang berkualitas prima (gourmet).

Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena Gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian, peternakan & perikanan, sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dari berbagai bangsa dan negara yang dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.

Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui Gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan yang digunakan di berbagai negara dalam budaya kebangsaan-nya. Pengetahuan tersebut secara holistik menjadi satu kesatuan terkait dengan seni dan ilmu sosial budaya (antropologi, psikologi, filsafat dan arkeologi) bahkan ilmu pengetahuan alam dalam hal sistem gizi tubuh manusia.

Dengan demikian pemahaman terhadap kuliner dan kulinologi adalah sekedar makna sekunder dan simbolisme yakni sebatas hidangan yang dikonsumsi setiap hari untuk mempertahankan hidup atau bicara “sebatas perut”.

Kalau diibaratkan sebuah toko, maka kuliner adalah pemandangan terbatas terhadap beberapa hidangan tertentu yang dipajang di etalase kaca luar toko yang bertujuan mengundang minat orang untuk singgah masuk ke dalam. Begitu masuk, maka kaca mata kulinologi berbicara mengenai berbagai aneka hidangan yang isinya lebih banyak / lengkap tersaji di dalam toko tersebut. Sedangkan gastronomi punya ruang pandang yang lebih luas, yang tidak hanya memandang sebatas apa yang dipajang di etalase itu atau berbagai aneka hidangan yang tersaji di dalam ruang di dalam toko, tetapi juga siapa-siapa yang mengelola di dapur bahkan sampai bahan baku yang disusun di gudang penyimpanannya.

SENI KEAHLIAN
Jika sudah dapat dipahami "benang merah" dari gastronomi, kuliner & kulinologi, maka dibawah ini akan dijelaskan seni keahlian dari gastronomi dan kuliner (tanpa mengikut sertakan kulinologi).

Kuliner disusun sesuai tahapan seni keahlian sebagai berikut :
1. Resep (susunan resepi makanan)
2. Bahan baku (memilih bahan baku masakan)
3. Persiapan memasak di dapur
4. Teknik & proses memasak
5. Estetika (keseimbangan yang prima terhadap mutu makanan)
6. Presentasi dan penyajian makanan

Ke 6 - tahapan seni keahlian ini disebut sebagai 'teknik & proses' memasak, yang setelah dilalui akan memasuki ke tahap mencicipi makanan.
Teknik & proses memasak itu dilakukan oleh ahli kuliner yakni para Chef Profesional atau Ahli Masak Otodidak ("Pemasak" atau"Koki" atau "Juru Masak")

Gastronomi disusun sesuai tahapan seni keahlian sebagai berikut :
1. Sejarah (asal usul budidaya bahan baku masakan)
2. Budaya (faktor yang mempengaruhi masyarakat mengkonsumsi makanan tersebut)
3. Lanskap Lingkungan (geografi & etnis yang mempengaruhi masyarakat memasak makanan tersebut)
4. Metode memasak (secara umum)

Dari penjelasan di atas, yang membedakan gastronomi dari kuliner adalah di unsur "budaya, sejarah & lanskap lingkungan (geografis)", dimana kuliner (dan ini sebenarnya) tidak wajib berbicara mengenai tiga unsur tersebut, meskipun banyak orang suka "latah & genit" mencampur-adukan ke dalam kuliner, sehingga mengakibatkan garis tegas perbuatan mereka berada di wilayah "abu-abu". Untuk itu gastronomi tidak boleh disamakan dengan kuliner walaupun obyeknya sama yakni makanan.

Begitu seorang ahli kuliner mengetengahkan sisi sejarah, budaya & lanskap lingkungan (geografis), maka yang bersangkutan sudah masuk ke dalam ranah gastronomi dan orang yang melakukan tindakan itu disebut sebagai Gastronom.

Seni keahlian ke-6 urutan dalam dunia kuliner (atau disebut juga sebagai "tangible") banyak dipakai sebagai standard pemahaman hidangan makanan masyarakat Barat. Kuliner masyarakat Barat dikenal dengan inovasi resepi baru (dan atau modifikasi) dengan cara mengakomodasi kebiasaan kuliner lokal dengan budaya masak dari etnik pendatang yang masuk ke negeri mereka. Pada umumnya restoran atau kedai makan di Barat selalu menghidangkan menu resepi yang berbeda dengan tempat lain walaupun namanya sama tetapi tetap mempunyai perbedaan isi satu sama lain.

Dengan demikian perkembangan gastronomi masyarakat Barat sangat pesat dan selalu mempunyai inovasi maupun berkembang sesuai jaman ataupun berubah dari suatu waktu ke waktu sesuai selera dan pengetahuan baru. Gastronomi masyarakat Barat jarang menampilkan resepi warisan tradisional, walaupun untuk acara-acara tertentu tetap dipertahankan (antara lain Natal dan Thanksgiving). Gastronomi masyarakat Barat minim memiliki filosofi, kearifan budaya lokal, nilai ritual maupun nilai religi, sehingga content gastronomi mereka berbeda dengan content gastronomi di masyarakat Timur (atau bangsa Asia).

GASTRONOM
Gastronom adalah seorang yang mengetahui (pakar / ahli) tentang metoda memasak yang bicara tentang makanan berikut mengenai cerita sejarah, budaya & lanskap lingkungan (geografis) serta metoda memasaknya untuk dinilai secara keseluruhan.

Dalam nomenklatur lain seorang gastronom disebut juga sebagai ‘hakim’ yang produk assesor-nya berupa Sertifikasi Gastronomi.

Ahli kuliner adalah pakar / ahli memasak yang memiliki suatu disiplin ilmu, keterampilan dan kebiasaan (practices) dalam seni menyiapkan, menyusun, memasak dan menyajikan masakan; tanpa mengetengahkan sisi sejarah, budaya & lanskap lingkungan (geografis) dari makanan itu.

KARAKTERISTIK GASTRONOMI
Gastronomi merupakan studi interdisipliner yang kerap didefinisikan dalam berbagai pengertian dan kerap susah untuk dipahami. Dalam beberapa konotasi, gastronomi dianggap sangat esoteris dimana hal-hal yang diajarkan hanya dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu dan khusus.

Namun pada intinya gastronomi bicara tentang panduan makanan yang tepat dalam seni keahliannya mempelajari dan melakukan penilaian terhadap makanan dalam hubungannya dengan budaya, sejarah, lanskap lingkungan (geografis) & metoda (teknik) memasak.

Karakter gastronomi bicara tentang seni panduan makanan sebagai sebuah identitas sejarah, lanskap lingkungan (geografis) dan refleksi budaya masyarakat dalam "Bagaimana, Dimana, Kapan dan Mengapa makan itu penting dirancang dan dipersiapkan" (Santich B - 2004). Sedangkan kuliner itu sendiri merupakan identitas dari sebuah definisi tentang keahlian dan teknik memasak.

Identitas gastronomi menggambarkan pengaruh budaya (pengaruh etnis lokal termasuk agama), sejarah (asal usul), tingkat keragaman suku lokal dan etnis pendatang, kemampuan berinovasi, tradisi adat istiadat, kepercayaan dan nilai-nilai kearifan lokal.

Selain itu elemen dominan lainnya adalah pengaruh dari lanskap lingkungan (geografi dan iklim) yang berlaku terhadap komponen, tekstur dan rasa dalam makanan.

Kesemua elemen dominan itu berdampak secara signifikan terhadap karakteristik gastronomi, karena identitas gastronomi suatu daerah berkembang secara evolusi akibat proses perpaduan dari produk yang unik. Pemahaman tentang konsep ini dapat dijadikan strategi kebijakan pariwisata gastronomi dan konsep mengstruktur industri jasa makanan dan pelaku pemasak.

Danhi R (What is your country’s culinary identity - 2003) mengemukakan ada enam unsur utama menggambarkan karakteristik "identitas gastronomi" suatu negara yakni :
1. Lanskap Lingkungan (geografis)
Mencakup antara lain :
1.a. Peralatan dapur asli yang digunakan masyarakat setempat
1.b. Produk makanan pokok masyarakat setempat
1.c. Produk pertanian yang tersedia

2. Peristiwa sejarah
Mencakup antara lain :
2.a. Teknik memasak
2.b. Metode tradisional memasak
2.c. Asal usul bahan baku masakan

3. Keragaman etnis
Mencakup evolusi dari waktu ke waktu antara lain :
3.a. Pelestarian masakan tradisional
3.b. Perpaduan masakan yang tercipta
3.c. Penciptaan masakan baru

4. Etiket kuliner
Mencakup antara lain :
4.a. Bagaimana budaya makan masyarakat setempat
4.b. Mengapa masakan itu penting bagi masyarakat setempat

5. Rasa yang berlaku
Mencakup antara lain :
5.a. Rasa dasar manis
5.b. Rasa dasar asam
5.c. Rasa dasar pahit
5.d. Rasa dasar asin
5.e. Rasa dasar umami (gurih)

6. Resep
Mencakup antara lain :
6.a. Penggunaan dominan bahan
6.b. Teknik dan presentasi

Konsep identitas gastronomi telah digunakan dengan sukses di semua negara, baik bagi pecinta, penikmat dan pemerhati (masyarakat) maupun oleh pelaku (industri jasa makanan dan pemasak). Namun sejak 2 atau 3 dekade terakhir telah terjadi perubahan dari waktu ke waktu secara evolusi menyangkut proses (Rao et al. - 2003) :

1. Retorika kuliner : Karakteristik retorika kuliner adalah perubahan dalam nama hidangan dari metode klasik (cuisine) menjadi fusion cuisine yang kemudian berkembang menjadi nouvelle serta terakhir haute cuisine.

2. Aturan memasak : Aturan memasak selama periode klasik berfokus pada kesesuaian dengan prinsip-prinsip Escoffier. Aturan memasak dalam gerakan masakan nouvelle cuisine memanfaatkan bahan baru, menggunakan teknik memasak yang baru dan menyajikan bahan / teknik dalam cara-cara baru.

3. Bahan pola dasar : Bahan pola dasar klasik (cuisine) dan fine cuisine menggunakan fitur bahan baku tradisional dalam penampilan yang beragam. Sementara nouvelle dan haute cuisine menggunakan fitur bahan baku eksotis, herbal aromatik dengan menggunakan sayuran dan buah dalam kombinasinya dalam penampilan yang sederhana.

4. Peran koki : Lebih rumit dan spesifik terutama dalam menampilkan masakan beretorika nouvelle dan haute cuisine.

5. Organisasi menu : Menampilkan menu lebih sedikit dan fokus pada masakan musiman (trendy) untuk memaksimalkan penekanan pada kesegaran dan persiapan tepat waktu secara langsung.

Dari uraian di atas, jelas terlihat berbagai faktor yang mempengaruhi identitas gastronomi suatu daerah. Identitas ini terus berkembang sesuai jaman yang identifikasi karakteristiknya itu dapat memberikan kita pengetahuan dengan alat apa dapat diperkirakan dampak dari faktor-faktor itu baik perihal trend yang berlaku pada rasa, tekstur dan komponen bahan yang dipergunakan.

Profil rasa masakan, tradisi dan budaya makan, etiket makan, geografis iklim dan menu resep berasal dari interaksi yang lahir dari waktu ke waktu secara evolusi. Semua tradisi masakan dan gastronomi tercipta melalui perpaduan dari bahan-bahan dan teknik sebagai hasil dari perpaduan beragam budaya, pengaruh lingkungan etnis dan sejarah dengan pembatasan pengetahuan yang dimiliki.

GASTRONOMI INDONESIA
Gastronomi Indonesia memiliki kemiripan dengan gastronomi masyarakat Timur (atau bangsa Asia). Secara universal definisinya hampir sama dengan pemahaman gastronomi di masyarakat Barat, yakni gastronomi dengan makna "tangible" (ke-6 urutan dalam dunia kuliner). Hanya saja di sebagian resepi hidangan gastronomi Indonesia (maupun masyarakat Timur) memiliki unsur tambahan yakni makna "intangible" (makna dibelakangnya) baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbolik, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa yang telah melembaga secara tradisional.

Intinya makna intangible di sebagian resepi hidangan makanan yang ada merupakan 'local genius' dari gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan masyarakat lokal setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik nan tertanam, bersemayam selanjutnya diikuti oleh anggota masyarakat turunannya.

Oleh karena itu, jika membahas Gastronomi Indonesia harus bisa ditarik garis tegas antara gastronomi dalam pengertian "tangible" dengan gastronomi dalam pengertian "intangible" di sebagian hidangan makanan & minuman yang ada, walaupun keduanya satu sama lain saling sejalan ber-iringan ("tangible + intangible").

Lebih jauh lagi makna "tangible" dari gastronomi Indonesia (atau masyarakat Timur) itu  berbeda dengan dengan "tangible" gastronomi masyarakat di Barat, dimana kekayaan khazanah inovasi dan modifikasi terhadap resep-resep makanan & minuman secara siklus selalu berulang terjadi di masyarakat Barat.  Seperti diketahui makanan & minuman bangsa Indonesia adalah resepi hidangan dari 1340 suku & sub-suku yang merupakan warisan tradisional para leluhur nenek moyang serta perpaduan dari budaya hidangan etnik pendatang yakni India, Arab, Tionghoa dan Belanda yang diserap, diabsorb dan diolah oleh penduduk lokal setempat menjadi budaya kuliner masyarakat Nusantara sebelum Republik ini berdiri.

Sejak itu jarang diketahui atau dilihat ada inovasi baru terhadap resep-resep hidangan makanan bangsa Indonesia, meskipun akhir-akhir ini ada gejala beberapa modifikasi dilakukan oleh para chef muda Indonesia. Dengan demikian, sejak kemerdekaan, sejarah memperlihatkan sebagian besar bangsa Indonesia mengalami masa migrasi dari berbagai etnik pendatang dari luar, namun bisa dikatakan percampuran budaya resepi masakan luar tidak begitu besar mempengaruhi “local heritage cuisine” yang ada nang ini telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Umumnya pengaruh itu hanya berkisar pada bahan baku dan bumbu, sedangkan subtansinya masih sama.

Tabek
Indra Ketaren
Gastronomy Connoisseur

Referensi :
1. Danhi, R. (2003). What is your country’s culinary identity? Culinology Currents, Winter 2003.
2. Rao, H., Monin, P. & Durand, R. (2003). Institutional change in toque ville: Nouvelle cuisine as an identity movement in French gastronomy. The American Journal of Sociology.
3. Santich, B. (2004). The study of gastronomy and its relevance to hospitality education and training. International Journal of Hospitality Management.