".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 30 April 2015

Filosofi Rujakan


Saat wanita sedang mengandung dan usia kandungannya telah mencapai tujuh bulan, masyarakat Jawa biasanya mengadakan suatu upacara kehamilan. Upacara tujuh bulanan ini selalu menyajikan beberapa jenis makanan, salah satunya rujak tujuh bulan atau dikenal dengan sebutan "rujakan".

Kenapa perempuan yang hamil 7 bulan dibancaki dengan rujakan. Itu adalah simbolis, agar ibu yang mengandung dan bayi yang dikandungnya mendapat keselamatan. Maka dilakukan simbolisasi menghantar rujak pada tetangga dan handai taulan, dengan harapan yang menerima rujak itu diminta untuk ucapan terimakasih membalas dengan DO’A ROJAK (doa selamat). Rujak berasal dari bahasa Arab yang artinya “Selamat.”

Buah-buahan yang digunakan dalam isi rujak juga terdiri dari tujuh macam jenis yaitu buah delima, jeruk bali, nanas, jambu air, bengkuang, pepaya, dan kedondong. Buah delima (disebut juga sebagai buah surga) yang menurut kaum Tionghoa buah delima itu adalah makanan “Dewa Langit” penguasa nirwana. Etnis Tionghoa dalam ritualnya akan selalu memburu buah delima kendati harganya selangit

Meskipun begitu, jika tidak lengkap pun tidak apa-apa. Konon setiap buah yang digunakan untuk acara tujuh bulanan ini memiliki mitos tersendiri untuk menyempurnakan bayi dalam kandungannya agar terlahir sempurna. Antara lain buah delima agar bayi dalam kandungannya nanti memiliki bibir yang merah dan bengkuang agar bayi dalam kandungannya memiliki kulit yang putih bersih. Rasa rujak tujuh bulan ini ternyata memiliki pertanda tentang jenis kelamin bayi yang ada dalam kandungannya. Konon bila rasa rujak ini manis maka jenis kelamin dalam kandungannya adalah perempuan, namun bila rasa rujak ini pedas maka bayi dalam kandungannya adalah laki-laki.

Thursday 23 April 2015

Folklore Semarang : Lunpia

Sejarah berdirinya dinasti “Loenpia Tjoa-Wasi” di Semarang diawali dengan adanya persaingan keras antara Tjoa Thay Joe dengan mbok Wasi. Tentu saja persaingan dalam hal memasarkan dagangan lunpia masing-masing. Keduanya adalah pedagang lunpia kenamaan pada abad ke-19.

Tjoa Thay Joe adalah seorang cina totok berasal dari Fu Kien. Dia menyajikan lunpia dengan rasa sesuai daerah asalnya yakni Hokkian. Sedangkan mbok Wasi, wanita semarang asli, menyajikan lunpia yang rasanya sesuai dengan lidah semarang, yakni nada rasa masing-masing asing. Karena kerasnya persaingan itu, keduanya berlomba meningkatkan mutu barang dagangannya masing-masing. Namun perkembangan selanjutnya sungguh tak terduga.

Tiba-tiba saja Tjoa Thay Joe datang pada mbok Wasi dengan tujuan meminang saingan beratnya itu. Tiada disangka rupanya gayung bersambut, mbok Wasi menerima lamaran. Setelah persaingan dikompromikan dengan perkawinan, selanjutnya resep lunpiapun dipertemukan dalam racikan. Tjoa dari Cina menggunakan babi dan rebung sebagai bahan pembuatan lunpia, sedangkan mbok Wasi dari Semarang menggunakan sayuran (rebung, kol, wortel), telur dan udang. Hasilnya lahirlah lunpia generasi baru yang merupakan perpaduan rasa Hokkian dan Semarangan.

Lunpia era anyar inilah yang menjadi cikal bakal lunpia Semarang yang terkenal sampai sekarang dan tentunya daging babi sudah tidak masuk dalam bahan pembuatan lunpia lagi. Resepnya yang terambil dari kekuatan cinta.

Pada masa kejayaan Tjoa-Wasi, para penggemar Lunpia harus menunggu dulu apabila mereka ingin membeli makanan tersebut. Sebab lumpia masih dijajakan dengan gerobak dorong.

Sistem itu diteruskan oleh anak dan menantu mereka yang merupakan generasi ke-2 dari dinasti loenpia Tjoa-Wasi, yaitu Tjoa Po Nio dan Siem Gwan Sing. Ketika Tjoa Thag Joe meninggal pada tahun 1930, kendali perusahan beralih tangan pada penerusnya.
Sementara Mbok wasi yang menjanda dalam usia 64 tahun hanya bertindak sebagai penasihat saja. Terutama dalam pengolahan lunpia. Cukup lama dia mampu bertahan selama 26 tahun. Pada tahun 1956, pada usianya yang ke-90 tahun, Mbok Wasi meninggal dunia.

Tjoa Po Nio dan suaminya yang mempertahankan resep asli dari orang tua mereka. Resep itulah yang mereka pertahankan dan lestarikan sebagai warisan dari nenek moyang.

Note: Disadur dari tulisan Prof Dr James Danandjaja - Guru Besar Universitas Indonesia

Wednesday 22 April 2015

POLITIK BERAS KERAJAAN MATARAM


Sudah sejak lama beras digunakan sebagai komoditas politik. Catatan lengkap soal itu setidaknya diketahui semasa Kerajaan Mataram di abad ke-16 - 18 Masehi. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik. Jika terjadi masalah dengan produksi beras, pasti ada pula masalah dengan kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan raja akan diagung-agungkan bila masalah beras bisa dikendalikan.

Harta, wanita, dan takhta. Tiga hal itulah yang sangat menonjol bila kita membaca dan mendalami Babad Tanah Jawi. Dari awal hingga akhir teks babad, ketiga hal itu selalu ada. Meski demikian, secara parsial dan terpisah-pisah, kita bisa meneliti berbagai aspek yang ada di Kerajaan Mataram, di luar ketiga masalah itu, seperti politik beras dan politik pangan.

Buku Babad Tanah Jawi yang digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram adalah babad berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar. Buku itu hasil penerjemahan Babad tanah Jawi yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1939. Babad ini disusun oleh Raden Ngabehi Yasadipura. Teks ini bertembang macapat dan beraksara Jawa. Penggunaan teks berbahasa Indonesia bisa memunculkan perdebatan karena transliterasi akan memunculkan "jarak" dengan naskah asli.
Pemilihan babad sebagai sumber kajian juga memunculkan perdebatan karena tidak sedikit mengandung mitos dan dongeng. Meski demikian, sejarawan H.J. De Graf berpendapat yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai 1800-an.

Sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras merupakan salah sendi penyokong kekuasaan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya, Ki Ageng Pemanahan mengalah mendapat tanah Mataram yang disebutkan masih berwujud hutan ketika mendirikan Mataram dibandingkan dengan daerah lain yang subur. Berkat kepemimpinannya Mataram bisa diubah menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi negeri yang makmur, banyak orang yang datang, sandang pangan murah dan sawah berlimpah.

Apabila penguasa jaman sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa jaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran. Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan morat-maritnya pasokan pangan. Contohnya serbuan pasukan Trunajaya dari Madura mengakibatkan Mataram porak poranda. Raja Amangkurat I terpaksa mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak punggawa kekurangan pangan. Ketika itu hujan belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri Mataram menjadi negeri yang amat menyedihkan.

Persoalan beras juga menjadi persoalan kewibawaan rezim berikutnya. Masa awal Raja Amangkurat II ketika kerajaan berpindah ibu kota ke Kartasura dirundung oleh masalah kewibawaan karena tak mampu menyediakan beras murah. Dalam Babad Tanah Jawi itu disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Masalah bertambah lagi, harga pangan sangat mahal. Raja memandang harga pangan yang mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih, kerajaan akan dipandang rendah. Adik Amangkurat II, yaitu Pangeran Puger, kemudian melakukan langkah yang kurang lebih kalau sekarang seperti memantau pasar dan kondisi masyarakat. Ia kemudian berganti busana, dari busana kraton ke busana rakyat jelata. Ia menyamar sebagai santri. Puger masuk keluar pasar dan mengemis beras di pasar. Ia juga mendekati pasukan yang diketahui hanya makan gadung dan ubi sebagai pengganti nasi. Puger juga melihat petani yang bersusah payah, tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.

Setelah memantau pasar, kemudian ia berdoa. Puger mendapat jalan untuk membuat harga pangan di negerinya kembali murah. Ia berkeliling ke semua pasar untuk menetapkan harga beras yang terbeli oleh masyarakt. Empat puluh hari setelah upaya itu, harga beras kembali murah. Petani tenang hatinya. Negeri Kartasura telah pulih. Sandang pangan kembali murah.

Di samping fungsi beras dalam konteks stabilitas politik, ramalan-ramalan munculnya kekuasaan juga selalu terkait dengan beras. Kemunculan Raden Mas Said, yang lalu menjadi Mangkunegoro I, disebutkan, bila ia tidak berkuasa, rezeki tanah Jawa akan berkurang. Akibatnya, orang Jawa tidak bisa makan karena tidak ada beras.

Penentuan letak pusat kerajaan juga mempertimbangkan pasokan beras. Saat VOC melalui Mayor JAB Van Hohendorff menyarankan kraton dipindah dari Kartasura ke desa Sala yang kemudian bernama Surakarta Hadiningrat, salah satu perhitungan pemilihan lokasi itu adalah kemudahan pasokan beras. Hohendorff mengatakan, ia memperkirakan, kalau di tempat itu berhasil dibangun negeri, padi dan beras tidak akan mahal lagi. Meskipun sawah di tempat itu tidak lagi menghasilkan, tetapi hasil dari Ponorogo pasti akan mengalir ke tempat itu.

Beras juga digunakan sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah kadipaten di wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan bagi pasukan yang hendak menyerbu ; di samping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum mereka melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan penyangga pangan selalu dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan tempat untuk penyangga pangan.

Taktik isolasi pasokan logistik juga dilakukan sebagai bagian untuk menaklukan lawan. Pasukan Mataram mengisolasi musuh dari pasokan pangan sehingga musuh hanya makan seadanya akibatnya mereka terserang penyakit. Hal ini dilakukan ketika mengepung pasukan yang berasal dari timur. pasukan lawan tidak lagi makan nasi, tetapi bonggol pisang, umbi kunci, dan makanan yang tidak layak karena pasokan makanan ditutup. Pasukan timur itu mengalamai demoralisasi sehingga malah berkelahi dan saling bunuh.

Cara ini kembali dilakukan ketika penguasa Mataram berkonflik dengan VOC di kartasura. Untuk melawan VOC yang berada di loji, mereka mengisolasi loji hingga pasukan VOC kekurangan beras. Pasukan mereka lesu. Komandan pasukan VOC kemudian memilih menyerah hingga bisa mendapat pasokan pangan.

Meski demikian, Mataram gagal melihat beras sebagai komoditas untuk diplomasi. ketika Pakubuwana I hendak menguasai Kartasura, ia bersekutu dengan dengan VOC. Kesalahan diplomasi Pakubuwana I telah terlihat sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas partisipasinya dalam penyerbuan di Kartasura.

Permintaan VOC sangat sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwana I dan menyatakan kalau pasukan VOC tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000 koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwana I. Belum lagi Pakubuwana I menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati. Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC semakin kurang ajar. Kelak memang permintaan VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari. Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Para adipati hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.

Politik beras yang dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan betapa beras memang komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras. Politik harga beras, meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit Kraton dan abdi dalem juga tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini, hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga stabilitas harga yang bisa aman berkuasa. 


Pelajaran dari Mataram  jelas menunjukkan bahwa penguasa yang cenderung abai dalam disiplin mengelola masalah per-beras-an akan menuntun kewibawaan pemerintahan hancur begitu harga beras cenderung mahal. Untuk itu "Pemerintahan yang kuat terlihat dari kedisiplinnya dalam mengelola komoditas beras"

Note: Disadur dari tulisan Andreas Maryoto 

Makna Kata Sontoloyo Sesungguhnya


Mungkin telinga kita pernah mendengar kata sontoloyo. Mungkin buat kebanyakan orang kata itu memiliki arti negatif. Padahal arti sesungguhnya tidaklah demikian. Makna atas suatu kata bisa berbeda ditiap daerah.  Mungkin buat sahabat yang berasal dari pulau jawa pasti sudah pada tahu, tapi buat sahabat nusantara lainnya tidak salah mengerti makna sesungguhnya dari kata itu.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia "SONTOLOYO" bermakna “ konyol, tidak Beres, dan bodoh. Kata yang dipakai sebagai kata makian.  Ada tersisip makna kekesalan bagi yang mengucapkannya.

Padahal dalam bahasa Jawa, Sontoloyo adalah sebuah nama julukan atau profesi bagi seseorang atau lebih yang menggembala bebek, dalam bahasa jawanya : "wong sing angon bebek". Biasanya orang yang disebut sontoloyo menggunakan atribut kurang lebih begini:

- Memakai caping (topi khas di sawah bentuknya seperti corong) untuk melindungi diri dari panas terik maupun hujan.

- Membawa tongkat tipis tapi panjang dan diujung tongkat ada plastik atau apapun itu yang bentuknya seperti rumbai-rumbai yang melambai-lambai. Ini dimaksudkan untuk memudahkan menggiring bebek-bebek sampai tujuan dan tidak tercerai-berai.

Tugas dan tanggung jawab  Sontoloyo
Sontoloyo harus bertanggungjawab atas semua bebek yang digembalakannya. Bentuk tanggungjawab ditunjukkan dengan bagaimana seorang sontoloyo itu mengarahkan bebek-bebeknya untuk dapat mencari  makanan dan berkembang biak sebanyak-banyaknya. Dia mencarikan tempat yang terbaik bagi para bebek yang ditempat tersebut para bebek dapat makan dengan nyaman, dan tidak terusik oleh siapapun.

Ketika menggiring para bebek, dia berada di belakang para bebek, atau dengan kata lain, sontoloyo itu selalu memperhatikan bebek yang berada paling belakang karena biasanya bebek yang jalannya lambat kalau tidak diawasi dengan baik, bebek yang suka jalan di belakang ini bisa-bisa kabur atau bahkan mungkin dimakan ular sawah tanpa sepengetahuan si sontoloyo.

Seorang sontoloyo juga bertanggungjawab untuk memasukkan para bebek kembali ke kandang di malam hari. bahkan kalau ada bebek yang kelihatan kurang sehat, maka sontoloyo akan bilang ke juragan bebek untuk minta uang dan beli obat. Kemudian bebek diobati, si sontoloyo pun berdoa semoga si bebek tidak apa-apa dan cepat sembuh.

Keesokan harinya, seorang Sontoloyo harus bersiap-siap untuk kembali menggembalakan para bebek yang sudah kelaparan. Tapi biasanya sebelum berangkat, sontoloyo memeriksa kandang dan biasanya memunguti telur bebek yang ditelurkan para bebek dalam semalam ini. Telur-telur itu di kumpulkan kemudian diserahkan ke juragan bebek yang kemudian sontoloyo akan mendapatkan bagian dari bagi hasil dengan juragan bebek selain upah yang diterimanya. Itulah yang namanya sontoloyo. Perihal kemudian istilah sontoloyo itu dijadikan ungkapan untuk memaki orang itu adalah merupakan perkembangan yang tentunya tidak ada hubungannya dengan tulisan ini.

Kesimpulannya :
"SONTOLOYO" sejatinya adalah sebutan untuk "PENGGEMBALA BEBEK" atau orang-orang yang dengan setia menggiring bebek dari pagi sampai sore ke daerah perairan sekaligus mengumpulkan telur-telurnya.

Menilik arti kata tersebut jelas tidak ada hal yang salah atau buruk. Namun demikian karena SONTOLOYO sudah menjadi idiom yang menggambarkan hal-hal negatif, komunitas ini sekarang sudah tidak pernah lagi disebut demikian. Bahasa penyebutannya tidak lagi memiliki kekhasan kultural alias berlaku secara umum. Contohnya SONTOLOYO ya disebut Wong angon bebek.

Padahal komunitas asli SONTOLOYO dalam arti sesungguhnya adalah orang-orang bersahaja yang bekerja menghabiskan tenaga serta waktu untuk menghidupi keluarganya tanpa pernah mengambil hak orang lain. 

Artikel oleh: Ryan Riyanto

Makna & Filosofi Nasi Tumpeng Sebagai Hidangan

Nasi sebagai khas makanan pokok Indonesia dikonsumsi dengan sayur-sayuran maupun lauk pauk sebagai hidangan pelengkap. Nasi juga dapat diolah menjadi makanan bentuk lain yang dapat digunakan menjadi hidangan dalam berbagai pesta upacara, yaitu dalam bentuk tumpeng.

Tumpeng adalah hidangan paripurna (penuh & lengkap) yang merupakan warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi maknanya karena merupakan simbolisasi yang bersifat sakral yang lebih menunjukkan pada suatu rasa syukur kepada Tuhan YME dan sarat dengan simbol mengenai ajaran makna hidup.  

Dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa, tumpeng memiliki makna dalam kehidupan manusia yakni nilai historis dan spiritual. Mereka percaya bahwa dengan menyajikan tumpeng adalah hal yang ritual, yaitu untuk mensyukuri nikmat Tuhan, memohon perlindungan dan keselamatan, memperingati peristiwa-peristiwa penting serta untuk menyampaikan keinginan tertentu agar terkabul.

Banyak orang awam sampai saat ini tidak memahami makna sebenarnya dari tumpeng. Umumnya mereka hanya melihat dari segi bentuk yang disajikan untuk kebiasaan selamatan tanpa mengetahui asal muasal tradisi sejarahnya.

Kata tumpeng berasal dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung. Secara “jarwo dosok” tumpeng diartikan sebagai “Tumapaking panguripan (tumindak lempeng) tumuju Pangeran” adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus hidup menuju dan dijalan Tuhan".

Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Perlu diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat Jawa sekarang beragama Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak dari akar-akar agama Hindu.

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.

Bentuk kerucut merupakan gunung, yaitu tempat yang sakral dan lauk pauk sekelilingnya adalah kehidupan lingkungan sehingga sebagai kesatuan yang tumpeng dan rangkaiannya adalah simbol ekosistem.

Kerucut yang runcing melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang membawahi alam dengan segala isinya dibawah puncak itu (badan dan dasar kerucut). Kerucut yang kokoh terdiri dari butir-butir nasi melambangkan persatuan dan kebersamaan memohon perlindungan dan keselamatan kepada Tuhan.

Bentuk kerucut juga simbol kesempurnaan (Kasampurnan), makin keatas makin sempurna dan makin sedikit jumlah nasinya. Ini lambang bahwa makhluk yang sempurna tidak sebanyak yang biasa.

Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib di luar diri manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka merasa perlu memelihara hubungan dengan kekuatan tersebut agar terjadi keseimbangan dengan kehidupan mereka, yaitu dengan cara selamatan.

Tumpeng inilah yang disajikan dalam acara selamatan tersebut, sehingga setiap unsur-unsur bentuk tumpeng beserta lauk pauk nya mempunyai makna-makna historis sendiri. Contohnya adalah bentuk tumpeng yang dibuat meruncing ke atas melambangkan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga yang merupakan harapan agar kehidupan kita meningkat, kemudian  aneka lauk yang ditata sekitar tumpeng melambangkan rakyat yang sejahtera. Makna lain dari penempatan tumpeng beserta lauk pauknya ini juga menyimbolkan gunung dan tanah yang subur di sekeliling gunung.

Mengenai makna dibalik bentuk tumpeng yang kerucut inipun beragam, ada yang menyebutkan bahwa merupakan cerminan kepercayaan masyarakat masa Hindu-Budha yang menganggap Gunung Mahameru sebagai tempat suci dan keramat, ada pula yang menyebutkan merupakan lambang antara hubungan manusia dengan Tuhan, kemudian melambangkan tingkat kesulitan manusia dalam mencapai kesempurnaan, yaitu makin tinggi tingkat kesempurnaan, makin sedikit orang yang mampu dan memenuhi persyaratan. Sedangkan dalam ajaran Islam, tumpeng menggambarkan ketauhidan. Bentuk tumpeng yang lancip mengarah ke atas, yaitu ke arah Tuhan.

Sebagai pengetahuan umum dalam tradisi tumpeng dan juga selamatan itu sendiri, terdapat unsur pengaruh budaya Hindu yang kuat. Selain disertai dengan ritual berdoa untuk keselamatan bersama, tradisi tumpeng juga bisa dilihat dari simbolisasi tumpeng dengan bentuk kerucutnya (trapezium) yang mengingatkan pada bentuk miniatur gunung. Gunung itu sendiri bagi penganut Hindu diberi istilah "Méru", representasi dari sistem kosmos (alam raya).

Maka tidak mengherankan jika pengaruh Hindu tersebut masih terjaga, bahkan hingga masa-masa kemudian telah menyatu sebagai bagian dari tradisi lokal di kalangan pemeluk keagamaan apapun di Indonesia.

Pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di Indonesia, konsep "Méru" ini dapat dilihat dari penempatan keraton (tempat tinggal raja) yang terletak di sekitar rangkaian pegunungan. Misalnya, Keraton Suradipati Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (berakhir eksistensinya pada tahun 1579 AD karena invasi kerajaan Islam Banten) terletak di sekitar tiga rangkaian pegunungan, yaitu Gunung Salak, Pangrango, dan Gedé (di wilayah Bogor sekarang).

Jika dikaitkan dengan bagian kemuncak tumpeng, maka hal itu melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Adapun aneka sayur dan lauk-pauk yang ditata di bagian bawah tumpeng melambangkan kehidupan (tumbuhan, hewan, dan manusia). Dalam kepercayaan Hindu-Jawa, alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia.

Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang, urap , dan sayur kangkung; Alam fauna diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi, dan babi ; adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng itu sendiri.

Maka jika memaknai bentuk tumpeng, terkandung harapan bagi yang mengadakan sebuah seremoni, yaitu kehidupan bisa semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Misalnya bayi yang baru lahir diharapkan menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan; atau seseorang yang meninggal dapat menikmati kehidupan yang lebih baik di alam kematian.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: "mangan ora mangan waton kumpul" (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang berada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.

Dengan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tumpeng adalah "media komunikasi spiritual" masyarakat Jawa yang dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang

Perlu diingat dengan seksama cara menyantap tumpeng tidak dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali. 


Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di KERUK sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas. 

Kalau puncak pucuk kerucut dipotong & daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan. 

Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Sebagaimana adat selamatan masyarakat Jawa kuno.

Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan". Kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya. 

Kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap "penting atau dituakan" sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. 

Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang

Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya. 

Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.

Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Selain di masyarakat Jawa, tumpeng juga ternyata dibuat oleh masyarakat Sunda, Madura dan Bali sebagai sajian untuk upacara adat, seperti jenis tumpeng tolak bala, robyong, tasyakuran, pungkur dan golong.

Hanya Bali yang masih terasa pengaruh Hindu yang dominan; sedangkan Pulau Jawa lebih menunjukkan keunikan, karena meski adanya pengaruh Islam, namun yang terjadi adalah akulturasi antara unsur Hindu-Islam-dan budaya lokal (syncretism).

Selain itu, bukan hanya di lingkungan masyarakat pribumi; pada masa kolonial orang-orang Belanda dan keturunan (Indo) juga bahkan kerap melakukan tradisi selamatan dengan menyajikan tumpeng dan nasi kuning ketika sedang memperingati ulang tahun anak-anaknya, peresmian rumah yang baru dibangun, dan perpisahan seorang pejabat pemerintah yang dipindah tugas ke daerah lain.

Pada jaman globalisasi ini, makna tumpeng yang paling mendekati adalah bermakna kebersamaan yang terbukti bahwa dengan menyajikan tumpeng disertai pula dengan makan bersama untuk memohon keselamatan. Walaupun penyajian tumpeng berbentuk kerucut, warna dari tumpeng pun memiliki makna yang berbeda. 

Tumpeng yang disajikan dengan nasi putih atau tumpeng putih melambangkan kesucian, sedangkan tumpeng yang disajikan nasi kuning atau tumpeng kuning melambangkan masa keemasan, yaitu diharapkan rezeki akan melimpah dan masa depan nya cemerlang.

Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- Ganie, Suryatini N. 2003. Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep. Jakarta: Gaya Favorit.
- Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.
- Herayati, Yetti et.al. 1984-1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan