".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 31 May 2015

Mengulik Sejarah Tradisi Peranti Saji Indonesia


Indonesia menyimpan kekayaan tersendiri. Bukan hanya keindahan alam dan keragaman masyarakat. Tetapi juga seni makanan yang beraneka rasa.Tak cuma keragaman sumber daya alam dan makanannya, Indonesia memiliki harta karun lain berupa budaya dan adat istiadat. Salah satunya, keberagaman budaya itu tercermin pada tata cara penyajian makanan yang berbeda-beda dimiliki tiap-tiap daerah. Keberagaman tata saji ini juga didukung dengan seperangkat peranti hidangan.

Menikmati sajian tak cukup hanya melalui kelezatan dan keharuman aroma masakan yang menggoda. Lewat makanan, ada ritual budaya yang bisa diresapi. Dari cara penyajiannya, ada nilai sejarah yang bisa dikenali dan sajian yang diletakkan di atas peranti bukan hanya berfungsi untuk menghidangkan makanan. Di balik itu semua terdapat ritual dan tata aturan dalam menggunakannya mengingat tata cara penyajian makanan tak lepas dari adat istiadat yang diturunkan dari nenek moyang setiap suku di Indonesia. Bahkan peranti saji yang digunakan pun memiliki makna tersendiri termasuk ‘cerita’ tentang kondisi alam dan ‘kekayaan’ yang ada di sebuah daerah. Bisa dipahami, mengingat peranti saji melibatkan hasil kerajinan tangan masyarakat setempat. Apa yang tersaji di atas meja menggambarkan identitas, tradisi, budaya, tata cara dan etika masyarakatnya.

Sejak zaman kerajaan, acara makan bukan sekedar menikmati sajian. Melainkan ada jamuan megah dengan perangkat makan lengkap. Apalagi biasanya peranti saji ini dipakai untuk menjamu para tetua adat atau tamu kehormatan. Semuanya dibuat dengan sentuhan seni. Anyaman, gerabah, sampai ornamen perak. Tradisi itu masih dipertahankan hingga kini.

Sejumlah tradisi etnis di Sumatera, misalnya, menggunakan peranti saji dari material logam seperti kuningan, tembaga, bahkan emas. Tentunya, hal ini sesuai dengan kondisi alam Sumatera yang kaya aneka tambang, termasuk tambang emas dan jenis logam lainnya.

Peranti saji asal Lampung, Sumatera Selatan dikenal dengan memiliki tradisi Cuwak Mengan Nyewruit yang artinya mengundang orang lain untuk nyeruwit bersama. Nyeruwit berasal dari kata seruwit yang merupakan makanan khas masyarakat Lampung yang terdiri dari sambal terasi yang dicampur dengan ikan, terong ungu bakar dan mentimun.

Pada tata cara adat ini, seperangkat peralatan makan tak ketinggalan menambah kekentalan adat daerah. Peranti yang ada, seperti talam dolang (tempat untuk membawa nasi dan lauk pauk), pighing (piring), tenong (tempat nasi), bakei (tempat sayur),penjung (tempat buah), aghew (sendok untuk mengambil kuah), cetung (sendok untuk mengambil nasi), kubukan (mangkok cuci tangan), dan cekkigh (tempat untuk minum). Peranti saji tradisi Cuwak Mengan Nyewruit tersebut telah berumur antara 80 hingga 100 tahun.

Di Aceh misalnya, ada dulang kuningan yang piringannya bertahtakan 52 lengkungan mirip mahkota bunga. Biasanya digunakan sebagai hantaran pernikahan atau wadah aneka jajan dan buah-buahan. Ada pula tutup saji dari perunggu yang memiliki motif rumit dan detil.

Lain lagi dengan peranti saji khas Jambi yang punya tradisi penggunaan peranti saji yang biasa dipakai untuk kalangan bangsawan, untuk upacara adat, dan untuk menyambut tamu-tamu adat. Terdapat sepaket ceret dan mangkok bermotif sederhana yang bahannya terbuat dari kuningan. Yang paling menarik, jambangan buah dengan ornamen sulur. Ia berdiri di atas kaki berbentuk seperti pilar.

Penggunaan peranti saji di Jambi pada umumnya selain menggunakan peranti lokal, juga memakai perkakas yang mendapat pengaruh budaya dari luar. Misalnya, peranti saji yang berasal dari India, Timur Tengah, Cina, dan Eropa. Posisi Jambi yang strategis, membuat Jambi semakin kaya akan akulturasi budaya lokal dengan luar.

Kalangan bangsawan Jambi menggunakan peranti saji dari bahan logam kuningan serta yang terbuat dari batok kelapa. Alas peranti saji menggunakan taplak batik Jambi bermotif tradisional, dipadankan dengan peranti kuno peninggalan dari Cina dan Eropa yang ketika itu banyak ditemukan di sekitar Daerah Alisan Sungai (DAS) Batanghari zaman dinasti Han hingga Dinasti Qing.

Sedangkan peranti saji di Jawa didominasi bahan perak. Jawa Barat bahkan terang-terangan menyerap budaya mewah nan klasik Eropa. Sebuah sendok penyaring teh saja, dibuat dari perak sterling zaman akhir Victoria. Ornamen perak juga menghiasi gelas-gelas kaca.

Jawa Barat juga mengenal peranti saji sederhana berbahan daun. Pembuatannya hanya ditekuk dan disemat dengan lidi. Jika layu, tinggal direndam air dingin.

Dikenal pula teknik filigree. Jauh lebih rumit dan detil, karena satu per satu komponen harus dipatri dengan pasta. Biasanya berfungsi sebagai pinggan dan mangkok. Teknik ini banyak digunakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tenggara.

Peranti saji yang terbuat dari gerabah atau tanah liat bakar, sering ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya diperindah dengan ornamen batik. Berbeda dengan peranti saji di Nusa Tenggara yang dibuat dari kayu halus. Mirip dengan alat makan khas Papua.

Hanya saja, karena Papua memiliki banyak perairan seperti sungai dan muara, peranti sajinya terinspirasi dari bentuk perahu. Sedangkan Kalimantan sering menyajikan hidangan dengan peranti berbentuk anyaman.

Kesultanan Buton pada masa lalu punya tradisi menghidangkan menu makanan selingan untuk para raja dengan cara duduk bersila di tikar. Kini, tradisi tersebut masih berlangsung, namun telah disesuaikan dengan keadaan zaman, yakni disajikan di atas meja.

Menggunakan peranti saji hasil kerajinan tangan di wilayah Kesultanan Buton, dikombinasikan dengan keramik Cina, serta perangkat lainnya yang seluruhnya merupakan kreasi dan tradisi masyarakat Buton Utara. Salah satu tradisi tata meja Buton Utara yakni adanya tudung saji atau disebut panamba. Peranti yang bentuknya unik, terbuat dari kain beludru merah dan hijau berhias sulam dan ornamen keemasan, menjadi perangkat wajib yang digunakan dalam setiap upacara adat di Buton Utara.

Lain halnya peranti saji dari Nusa Tenggara. Kultur masyarakat Nusa Tenggara tentu beradaptasi dengan kondisi alam yang kering dan tandus. Dengan demikian, peranti saji banyak menggunakan hasil kerajinan tangan berupa tembikar dan produk anyaman, di mana bahan dasarnya berupa tanah liat dan jerami yang jumlahnya berlimpah.

Aneka wadah makanan yang biasa digunakan masyarakat Nusa Tenggara (Timur & Barat) telah digunakan sejak lama secara turun temurun. Terdapat di berbagai daerah di daratan Sumba, Timor, dan Flores. Namun demikian bentuk perantinya berbeda-beda, terlihat dari warna dan teknik menganyamnya. Perangkat alas dan tutup saji yang terbuat dari anyam-anyaman biasanya hanya digunakan untuk orang yang lebih tua sebagai tanda penghormatan. Peranti makan pada umumnya dibuat dari batok kelapa. Merupakan peranti makan biasa, dan masih banyak digunakan oleh banyak rumah tangga di daerah pedesaan di daerah Timur, Flores, dan Alor.

Perangkat saji berupa gerabah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Nusa Tenggara. Peranti saji yang dibuat dari tanah liat setelah melalui proses pembakaran tradisional ini sebagai wujud adaptasi kultur masyarakat setempat terhadap kondisi alam yang kering dan tandus. Kesederhanaan ragam peranti saji gerabah yang secara umum terdapat di Sumbawa dan Lombok, dewasa ini telah menjadi salah satu komoditas handicraft yang banyak dicari oleh para wisatawan. Selain itu, peranti saji berupa batok kelapa serta perangkat anyam-anyaman, yang juga salah satu ikon kerajinan tangan etnik Nusa Tenggara, juga dipergunakan masyarakat setempat untuk ritual upacara adat.

Salah satu peranti saji yang khas juga terdapat di Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis Makassar, yang menggunakan Bosara sebagai  peranti saji untuk menyajikan hidangan. Bosara adalah semacam dulang (baki berkaki) dilengkapi penutupnya, biasa digunakan pada  ritual upacara adat tradisional. Peranti saji tersebut dulunya hanya digunakan oleh kalangan bangsawan, namun kini masyarakat luas  juga mewarisi  tradisi menggunakan Bosara dalam ritual adat, antara lain untuk pernikahan maupun menjamu tamu kehormatan.

Terdapat dua jenis Bosara, yang ukuran besar disebut Bosara Lompo sedangkan yang  besar disebut Bosara Biccu’. Bosara besar berisi  sekurang-kurangnya enam piring makanan, sedangkan Bosara kecil berisi paling tidak enam jenis kue tradisional, seperti barongko, cucur bayao, biji nangka, pelita, tolaba, dan sebagainya.

Bosara biasanya terbuat dari emas, perak, tembaga, atau besi yang  dilengkapi tudung saji atau penutup khas. Penutup Bosara terbuat dari anyaman rotan dan daun lontar, di mana dua tanaman tersebut banyak tumbuh di hutan Sulawesi Selatan. Kalangan bangsawan biasanya membalut kembali penutup saji tersebut dengan kain sutera  atau beludru

Disamping peralatan saji tradisional para leluhur itu, perkembangan peranti saji masyarakat Indonesia semakin berkembang dengan masuknya etnik pendatang ke bhumi Nusantara. Praktik-praktik kecanggihan penggunaan peranti saji itu semakin subur dipergunakan karena pengaruh Belanda. Semasa dulu  peranti saji modern merupakan suatu hal baru bagi masyarakat pribumi karena banyak kalangan masyarakat saat itu tidak mengenal kebiasaan menggunakan perabotan saji yang demikian.

Pada umumnya orang-orang pribumi semasa dulu hanya menggunakan jari tangan ketika makan dengan menggunakan peralatan tata saji tradisional yang sudah dikenal dari para leluhur. Setelah itu dan dengan modifikasi yang ada, peranti saji masyarakat berkembang sedemikian rupa dengan cara mengakomodasikan ke dalam seni peralatan tradisional yang ada.

Pengaruh Belanda yang memberi nuansa kekayaan dalam hal penggunaan peranti saji modern dalam kehidupan masyarakat pribumi (seperti sendok, garpu, pisau, piring, serbet dan lain sebagainya). Praktik-praktik itu menunjukkan lebih kepada status kedudukannya serta terkandung muatan politis yang mencoba menjalin hubungan akrab dengan orang Belanda. Etika semacam ini bukan sekedar ditekankan oleh para pribumi sendiri ataupun kepada bawahan mereka, namun para pejabat Belanda pun menuntut agar para bawahan memperlihatkan penghormatan yang layak kepada mereka. Penggunaan peranti saji pada setiap jamuan makan menunjukkan status dan kekayaan seseorang.

Hal itu berkembang sedemikian rupa karena, selain penggunaan peranti saji modern dan modifikasinya, hidangan lokal mengalami perkembangan dalam proses pengolahan dan modifikasi berbagai jenis makanan melalui penyesuaian bahan-bahan makanan, baik dalam hidangan pribumi maupun Europa. Dengan kata lain, hubungan orang Belanda dengan orang pribumi memungkinkan keduanya saling mengenal dan menyesuaikan diri terhadap jenis-jenis makanan yang lain; seperti tampak pada perpaduan peralatan memasak pribumi dan Belanda.

Wujud perpaduan ini misalnya tampak pada peralatan masak di dapur orang Belanda yang didukung juru masak pribuminya.  Hal yang wajar tampak ada alat penanak nasi dan cetakan kue poffertjes yang digantungkan di dinding, di samping alat-alat masak pribumi.

Namun terlepas dari sejarah asal muasal-nya, seni peranti saji Indonesia, dengan perkembangan tradisional dan modifikasinya, merupakan kembaran dari Gastronomi Indonesia yang di dalamnya terkandung punya 'cerita'.

Salam Gastronomi


Saturday 30 May 2015

Makanan Sesajen : Media Ritual Masyarakat Batak


Ritual dipercayai merupakan kebutuhan pokok identitas kultural dan status sosial manusia yang berbeda dengan sesamanya. Ritual dapat menumbuhkan sifat primordial seseorang, yang memperkuat rasa kecintaan pada daerah asalnya. Kepercayaan pada daya mistis ritual juga dapat menjadi sebuah media pemujaan, sebuah katalis yang mendekatkan dirinya dengan kekuatan diluar yang mana salah satu fungsinya adalah sebagai pengokoh norma dan nilai budaya yang berlaku turun-temurun.

Kepercayaan masyarakat terhadap nilai mistis dari sebuah ritual, terutama yang tinggal di daerah pedesaan masih sangatlah kental. Kepercayaan masyarakat terhadap adanya arwah leluhur, membuat mereka melakukan suatu ritual untuk menghormati dan meminta berkah kehidupan yang lebih baik. Masyarakat meyakini, bahwa jiwa para roh leluhurnya masih ada dan tinggal bersama mereka di dunia. Proses ritual seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu.

Kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus menjadi sebuah aliran dalam kepercayaan masyarakat tradisional. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan, seperti suatu bencana, musibah, kesialan adalah akibat dari pengaruh keberadaan roh dan mahluk halus. Sehingga bila terjadi bencana biasanya dukun menjadi perantara utama untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Ritual merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari nenek moyang. Didalamnya terkandung usaha untuk menciptakan suasana hidup aman, tentram, lestari, dan rezeki yang berlimpah. Masyarakat adat tradisional mempunyai stigma mempercayai bahwa ritual merupakan salah satu cara untuk merealisasikan tujuan tersebut dan upacara tersebut harus dilakukan.

Dalam ritual diperlukan perantara persembahan kepada arwah para leluhur agar permohonan mereka dikabulkan. Sarana utama harus adanya pemimpin upacara adat yang dipercaya sebagai orang yang mampu berinteraksi dengan si pemilik kekuatan diluar alam fana tersebut. Selain seorang pemimpin upacara adat, media perantara lain yang dibutuhkan adalah instrumen sesajen. Sesajen biasanya identik dengan makanan adat daerah tersebut. Perangkat sesajen merupakan syarat mutlak karena makanan yang terdapat didalamnya dimaknai sebagai pemuas kebutuhan dan persembahan untuk para arwah leluhur.

Penyajian sesajen di tiap daerah bersifat unik karena tiap daerah memiliki jenis sesajen yang berbeda-beda. Isi sesajen yang terdiri dari suatu makanan tersebut dibentuk oleh selera masyarakatnya sendiri, sehingga penyajian sesajen tergantung selera makanan tiap-tiap daerah.

Selera ini dapat dibentuk oleh suatu rekayasa dari masyarakat yang melakukan ritual tersebut. Hal ini  bertujuan untuk memuaskan arwah leluhur yang  diharapkan nantinya berimplikasi terhadap dikabulkannya permohonan-permohonan yang diminta.

Penyajian sesajen dalam fenomena ritual ini pada dasarnya tidak hanya sekedar dimaknai sebagai selera dari makanan tiap daerah, karena sesajen tidak hanya diesensikan sebagai pelengkap sebuah ritual untuk persembahan nenek moyang, melainkan juga menjadi suatu interaksi antara sesama pelaku / individu. Kemudian dipantulkan sebagai representasi yang majemuk sampai mengalami ekstasi nilai-nilai budaya secara fundamental.

Bila hal ini dikorelasikan dengan perspektif interaksionisme simbolik, akan terdapat makna lain dari sesajen yang akan direpresentasikan melalui suatu simbol. Seperti diketahui bahwa individu-individu masyarakat tradisional berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.

Interaksionisme simbolik merupakan perilaku budaya yang mengungkap realitas sepak terjang manusia melalui interaksi yang dimanifestasikan melalui komunikasi. Perspektif interaksionisme simbolik berusaha menganalisa segala hal berkaitan dengan simbol yang berasal dari interaksi pelaku. Pelaku budaya menggunakan cara unik atau khusus yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi menggunakan simbol-simbol tersebut.

SESAJEN RITUAL MASYARAKAT BATAK
Indonesia yang kondisi sosio kultur masyarakatnya beragam, tentu saja memiliki cara tersendiri dalam penyajian sesajen. Seperti upacara adat "Ritual Horja Bius" dari budaya Batak Toba di Sumatra Utara, sesajen makanan daerah setempat menjadi media persembahan kepada arwah leluhur.

Sesajen yang digunakan diantaranya meliputi satu ekor kambing putih yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing bagian kepala, leher, dada / badan, pangkal paha bagian atas, serta paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Semua bahan tadi dimasak dengan bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam piring keramik ukuran besar.

Hewan-hewan lain juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual, diantaranya adalah ayam jantan putih, ayam jantan merah panggang (yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh memakannya), dan ayam jantan. Bahan lainnya adalah sagu-sagu. Bahan kue ini berasal dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dan dibentuk menggumpal.

Ada pula kue itak nani hopingan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah, kemudian ditumbuk agar berbentuk bulat dan dapat diletakkan di piring. Kue ini dimaksudkan sebagai lambang mohon doa restu kepada roh leluhur.

Lainnya, itak gurgur atau pohu-pohu. Bahan kue ini juga dari tepung beras, gula putih, serta kelapa yang ditumis setengah matang, kemudian dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk dengan menggunakan jari (genggaman tangan).

Berikutnya adalah masakan ikan Batak yaitu ikan khusus dari danau Toba yang dimasak utuh satu ekor, kemudian disajikan dalam bentuk gulai kare.

Minuman juga unsur penting dalam perayaan ini. Beberapa minuman berbahan dasar buah seperti anggir pangurason yang merupakan air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar. Lalu ada juga minuman assimun pangalambohi yang terbuat dari timun dipotong panjang.

Untuk sesajen buah-buahan, ada tanduk horbo paung terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang batak / pisang ambon. Buah-buahan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, seperti hajut (sumpit putih diisi beras, serta uang pecahan nilai terbesar, Rp.100.000).

Hajut ini digunakan sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh datun (pemimpin upacara adat) dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sesajen lainnya, termasuk aek naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril, dan lain sebagainya.

Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan para leluhur mereka terdahulu dalam melestarikan budaya nenek moyang yang dimiliki. Sedangkan filosofi dari penyajian sesajen pada ritual horja bius dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat, penyegar perasaan, serta lambang minta do’a restu kepada roh leluhur.

Referensi :
- Biliater Situngkir, “Upacara Horja Bius Adat Budaya Batak Toba yang Telah Hilang”
- Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta: Jala Sutra, 2004

Tumpeng : Media Komunikasi Spiritual Masyarakat Jawa


Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri.

Masyarakat Jawa percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal dengan kasekten, arwah atau ruh leluhur, makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit serta jin lain yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.

Menurut kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya, dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan kematian.

Apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, berselamatan, dan bersesaji. Salah satu jenis selamatan yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah melalui media pengantar komunikasi antara sang pemohon dengan unsur yang dituju, yakni melalui tumpeng.

Tumpeng merupakan makanan tradisional Jawa yang berbentuk kerucut. Merunut dari asal sejarahnya, tumpeng merupakan bentuk simbolisasi ke-Tuhanan dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Bentuk tumpeng yang berupa kerucut merupakan simbol asal manusia dan dunia, yang mengerucut pada hubungan manusia dengan penciptanya, dan berakhir pada keputusan sang pencipta.

Dalam hubungan tersebut, diharapkan dapat terjalin keharmonisan sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antara pencipta, manusia, dan alam. Hubungan yang harmonis tersebut berujung pada menyerahkan segala sesuatu kepada Sang Pencipta yang merupakan falsafah penting hidup bagi orang Jawa; yakni ‘menyatunya manusia dengan Tuhan’.

MAKNA TUMPENG
Makna ritual tumpengan berbeda bagi tiap orang meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda.

Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku. Bagi orang Jawa membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi.

Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam. Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.

Bagi sebagian besar orang Jawa berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat sang Khalik bertahta. Bentuk tumpeng secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia dan sang Khalik, beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.

Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini.

SIMBOL GUNUNG
Melihat bentuk khas nasi tumpeng yang kerucut meruncing ke atas, yang akan terlintas di pikiran orang adalah kemiripan bentuknya dengan gunung. Hal ini tidak sama sekali melenceng. Kata tumpeng memang berasal dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Perlu diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat Jawa sekarang beragama Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak dari akar-akar agama Hindu.

Secara “jarwo dosok” tumpeng diartikan sebagai “Tumapaking panguripan (tumindak lempeng) tumuju Pangeran” adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus hidup menuju dan dijalan Tuhan".

Nilai filosofinya sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada YME atas kebersamaan, keharmonisan dan kerukunan yang ada. Maknanya menyimpan harapan dan pesan agar kesejahteraan & kesuksesan hidup semakin "naik" dan "tinggi". Kerucut ditutupi segitiga daun pisang, sebagai simbol bentuk rumah suci tempat bersemayam Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang).

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.

Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.

Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep "keseimbangan". Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.

Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.

SIMBOL KELUARGA
Bagi orang Jawa pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng adalah simbol kejantanan. Perlu diketahui bahwa kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal penting, karena laki-laki dipandang sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai "kanca wingking" (teman di belakang).

Sikap tersebut tentu saja tidak berarti mendudukkan kaum perempuan dalam posisi marginal. Justru perempuan atau ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari struktur keanggotaan keluarga seutuhnya. Makna "teman di belakang" berperan sebagai kekuatan penyeimbang dari apa yang ada di depan atau pula sebagai sebuah potensi yang memiliki visi ke depan, sebuah visi itu sendiri.

Jika yang di belakang adalah istri maka yang di depan adalah suami dan yang di tengah tentu saja anak. Bagi orang Jawa, suatu keluarga menjadi lengkap jika ketiga unsur tersebut ada. Anak menjadi bagian penting dari struktur keluarga sehingga dalam pembicaraan sehari-hari atau jika kita bertemu dengan teman lama, yang ditanyakan biasanya adalah jumlah anak kita, jadi bukan penghasilan kita.

Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segi tiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik dalam segitiga dapat diartikan dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segi tiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan anak.

Tumpeng tentu saja tidak selalu menjadi simbolisasi dari kemaskulinan orang Jawa karena bentuk tumpeng di Jawa ternyata cukup bervariasi. Nasi tumpeng ternyata juga tidak selalu berbentuk kerucut tetapi ada yang berbentuk setengah bola atau seperti bentuk kubah masjid. Tumpeng yang bentuknya setengah bola tentu saja tidak tepat jika dianggap sebagai simbol kejantanan.

Bentuk tumpeng yang setengah bola tersebut akan lebih tepat jika dianggap sebagai simbol kefemininan. Gunung memang tidak selalu harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi bisa dengan bentuk parabola. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan bahkan setelah mati dikuburkan.

Dalam kesenian wayang kulit, dikenal istilah gunungan lanang dan gunungan wadon. Bentuk gunungan tersebut sebenarnya hampir sama, bedanya pada gunungan lanang terdapat gambar atau pahatan rumah joglo, sedangkan pada gunungan wadon gambar rumah joglo tersebut diganti dengan gambar kolam atau blumbang.

Gunung dapat disamakan dengan perut ibu atau kandungan tempat kita disemaikan dan dari sana pulalah kita dilahirkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan.

Bagi anak kecil kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan tersebut hampir sama ketika ada orang yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah tinggal lama di perantauan bahkan jika meninggal dunia ada yang ingin dikubur di tempat kelahirannya.

Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Kehangatan pelukan ibu, detak jantung, nikmatnya air susu ibu dan lain sebagainya tentu saja akan melekat dan tersimpan dalam alam bawah sadar dan hal itu sering kali mendorong untuk mencari jalan keluarnya.

Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan norma. Dengan membuat tumpeng dan menyantapnya maka dorongan bawah sadar tersebut dapat tersalurkan.  

Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak. Membuat tumpeng, mengeruk dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dan juga katarsis bagi orang Jawa.

Sebagian orang berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat Tuhan bertahta. Bentuk tumpeng secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia dan Tuhan.

MAKNA CABAI MERAH
Pada umumnya di puncak tumpeng ditancapkan cabai merah yang menyimbolkan damar atau obor sebagai penerang jalan menuju Tuhan. Maksudnya adalah agar manusia yang menyelenggarakan upacara selamatan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupannya dengan mendapatkan sinar yang menerangi jalan yang awalnya gelap dan sulit dilalui menjadi terang dan mudah dilalui dengan bantuan sinar tersebut.

Digunakannya cabe merah sebagai sesaji diasosiasikan sebagai nyala obor. Obor dalam masyarakat Jawa digunakan sebagai penerang di saat gelap. Obor disimbolkan sebagai damar sewu, maksudnya adalah sebagai penerang kehidupan. Dengan nyala seribu obor, jalan gelap yang dilalui terasa mudah.

Dengan upacara selamatan segala halangan dan rintangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan akan dapat diselesaikan dengan mudah oleh manusia. Dengan demikian, secara tidak langsung kesuksesan akan dengan mudah diraih.

WARNA NASI TUMPENG
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian.

Demikian penggunaan warna kuning pada tumpeng mempunyai tujuan tertentu. Kita tahu bahwa kuning dalam kategori warna menurut budaya Jawa adalah sama dengan warna emas, yaitu sesuatu benda yang berharga yang melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Benda yang terbuat dari emas merupakan benda berharga yang biasanya dimiliki oleh para raja, bangsawan, orang kaya, dan para dewa. Dengan demikian tumpeng dengan warna kuning merupakan simbol sesaji atau penghormatan kepada Yang Maha Kuasa.

Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir.

Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri.

Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.

SIFAT KEGOTONG ROYONGAN
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.

Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.

Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat).

Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan sosial kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.

MEDIA KOMUNIKASI SPIRITUAL
Bagi orang Jawa, pembuatan tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena tujuannya berbeda, maka secara visual bentuk tumpeng tersebut juga bervariasi.

Tujuan orang membuat nasi tumpeng antara lain: sebagai sajen (sesaji), sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen(sesaji) merupakan pemberian manusia kepada yang maha kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari orang yang kaya kepada orang miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan kepada bawahan. Pemberian tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang atasan kepada bawahannya. Punjung (bulubekti) merupakan pemberian orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi misalnya pemberian anak kepada orang tuanya sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian. Makna pemberian tersebut tentu saja lebih bersifat spiritual dari pada material.  

Tumpeng, kecuali mempunyai makna spiritual juga mempunyai makna material yakni berdasarkan pertimbangan untung rugi, seperti kegiatan saling memberi, misalnya kegiatan tukar menukar cindera mata, atau benda lainnya yang mengandung aspek ekonomi atau kegiatan yang dapat memberi keuntungan material.

Secara fisik, tumpeng adalah sebuah artifak karya ciptaan manusia. Sebuah artifak biasanya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan pembuatnya. Artifak karya cipta manusia ini mengandung pesan sesuai dengan bentuk dan konteksnya. Sebagai media komunikasi spiritual, tumpeng mengandung berbagai pesan atau informasi baik mengenai subjek penyampai pesan maupun subjek sasaran.

Dari tumpeng yang mereka buat dapat diketahui siapa mereka dan siapa pula sasarannya. Tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata bawah akan berbeda dengan tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata atas. Tumpeng sebagai sajen, berbeda dengan tumpeng sebagai sadaqah maupun punjung.

Secara konvensional, bentuk tumpeng tampak seragam  - yakni secara umum berbentuk segi tiga menjulang ke atas - dengan sedikit variasi sesuai dengan selera dan tujuan pembuatnya. Keseragaman bentuk tersebut kecuali terikat oleh norma tradisi juga mengandung aspek komunikasi yang sama - yakni sebagai media komunikasi spiritual.

Sebuah komunikasi akan berhasil jika menggunakan prinsip pengulangan (redundansi) - yakni dalam segi bentuk dan aspek penggunaan komunikasinya. Redundansi atau pengulangan adalah hal yang dapat diramalkan (predictable) atau konvensional dalam suatu pesan. Penggunaan bentuk yang konvensional itu memudahkan dalam komunikasi.

Dengan demikian sebagai media komunikasi, bentuk tumpeng yang konvensional (segi tiga) sebenarnya merupakan media komunikasi spiritual antara masyarakat (sebagai penyampai pesan) kepada subjek sasaran (yakni Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang),  meskipun komunikasi yang demikian sesungguhnya tidak mempunyai nilai berita.

Meskipun nilai beritanya rendah, tumpeng sebagai sarana media komunikasi spiritual sangat efektif dan penting sebagai budaya kebathinan tradisional masyarakat Jawa dalam menyebarkan informasi dan mengatur langkah kehidupan dalam segala tujuan akhir pemikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia.

CARA MENYANTAP TUMPENG
Mengapa tumpeng harus dikeruk bukan dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali ?

Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di keruk sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas.

Kalau puncak pucuk kerucut dipotong dan daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin dengan Khalik tidak tersambung dengan baik. Artinya terputus sama sekali sarana kebathinan dan media komunikasi spiritual kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Upacara keruk tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Sebagaimana adat selamatan masyarakat Jawa kuno.

Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan". Kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya.

Kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap "penting atau dituakan" sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan.

Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang

Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya.

Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.

Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Referensi :
- Meilawati, Avi. 2009. Analisis Nama Tumpeng Sesaji dalam Upacara Ruwatan Murwakala (Analisis Semantis-Semiotis). Tesis. Yogyakarta: UGM.
- Amangkunegara III. 1986. Serat Centhini (Suluk Tambangraras) jilid II. Terjemahan Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
-  Soeparto, Siti Rochani. 2008. “Aneka Tumpeng Tradisional”. Dalam seminar pengenalan budaya Jawa melalui tumpeng tradisional disertai maknanya di Universitas Gadjah Mada.
- Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
- Danandjaja, J. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers
- Suratno, Pardi dan Heniy Astiyanto. Gusti Ora Sare. 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Yogyakarta: Adiwacana, 2009.


Sunday 24 May 2015

Perjalanan Sebuah Kreatifitas

Tanpa disadari sudah tiga tahun berjalan. Kalau mau di bilang relatif muda usianya. Ketika saya mulai, saya tidak mengerti Gastronomi, dan saya tidak berencana. 

Masalahnya bukan itu. Yang menjadi masalah, saya tidak memiliki sumber daya manusia yang "passion" terhadap Gastronomi, apalagi tulus membangun-nya.

Peluang yang terbaca adalah para pesaing memiliki "intolerance habits" yang berlebihan meremehkan orang lain. Mereka pikir, bisa membangun Gastronomi dengan popularitas; .. disini terlihat keangkuhan mereka.

Proses awal membangun, terasa cukup berat. Mental dan ego manusianya tidak terstruktur dalam suatu kepentingan bersama. Konflik kepentingan kerap terjadi, karena tujuannya hanya pamrih dan mencari popularitas. Passion terhadap Gastronomi hanya sebatas ucapan di bibir, bukan tertanam di bathin. Perpisahan-pun tak terhindarkan.

Saat ini tercipta halaman baru, lingkungan baru dan teman-teman baru. Rasa kekeluargaan dan passion mulai tampak dalam kepribadian masing-masing. Mungkin ini jalannya.

Membangun passion memang membutuhkan waktu. Gastronomi adalah proses kreatifitas menaman "passion dan spirit of learning".

Kreatifitas diperlukan untuk mengobarkan sifat eksploratif sehingga rasa penasaran dan keberanian mengambil resiko bisa tercipta.

Jangan takut salah apalagi kalah !! Banyak bertanya !! Berani buat salah apalagi menerima kalah !! Jangan khawatir dianggap bodoh !!

Peran saya hanya sebatas fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari tanamkan passion. Passion adalah anugerah Tuhan.

Sebagai pemandu, saya hanya bertanggung-jawab untuk mengarahkan, menemukan dan mendukungnya.

Jika kita tidak mengerti Gastronomi, mulai hargai !! Buat rencana terpadu !! Ingat, rencana yang baik hanya diperhitungkan jika kita bisa jalankan.

Namun apapun itu, adalah suatu kesenangan terbesar dalam hidup dapat melakukan apa yang orang lain mengatakan kita tidak bisa lakukan, dan tanpa disadari hal itu sudah berjalan tiga tahun.

Salam Gastronomi

Saturday 16 May 2015

Lauk Pauk Ritual Persembahan Masyarakat Hindu-Bali


Dalam keseharian, makanan kerap diterima begitu saja sebagai suatu hal yang biasa. Padahal, dalam suatu kebudayaan makanan sering digunakan sebagai simbol yang bisa jadi memiliki makna sangat luas.

Contohnya di dalam budaya Hindu-Bali yang penuh dengan simbol, hadirnya makanan tertentu dalam suatu ritual nggak bisa sembarangan. Setiap makanan memiliki makna dan fungsinya sendiri. Tentu saja, dalam hal ini seringkali bentuk, rasa, dan warna mempengaruhi makna makanan tersebut.

Dalam setiap ritual Hindu-Bali, makanan sebagai sajen selalu dilibatkan. Boleh dikata tidak ada makanan tanpa ritual, dan tak ada ritual tanpa makanan persembahan. Masyarakat Hindu-Bali percaya, semua yang ada di alam adalah milik Tuhan, untuk Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dalam konteks itu, makanan harus hadir sebagai persembahan sebelum dinikmati manusia. Tanpa persembahan, manusia dianggap mencuri milik Tuhan.

Ritual persembahan pun menjadi bagian dari napas kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu-Bali. Setiap hari, setiap keluarga menyisihkan makanan yang disantap hari itu untuk saiban atau sajian yang lebih sederhana. Isinya minimal nasi, bawang goreng, dan garam. Saiban dipersembahkan untuk mencuci dosa-dosa yang dilakukan setiap hari pula. Saiban diletakkan di tempat dosa-dosa dilakukan, yakni pintu, talenan di dapur, tempat beras, dan sumur.

Banyak sekali simbol yang bermain dalam makanan persembahan. Karena itu, makanan sesungguhnya adalah teks. Itik persembahan, misalnya, tidak lagi dipandang semata sebagai itik, tetapi simbol sifat kebijaksanaan yang dimiliki itik. Penyu melambangkan alas bumi karena bisa hidup di darat dan di laut. Ayam melambangkan kedinamisan, anjing melambangkan kesetiaan, babi melambangkan kemalasan.

Pembunuhan hewan-hewan untuk upacara juga bukan semata pembunuhan, melainkan ruwat atau penyucian. Kalau hewan itu ditujukan untuk dewa atas, dia menjadi persembahan. Lungsuran persembahan kepada dewa menjadi makanan penuh berkah yang bisa dimakan manusia. Jika ditujukan untuk dunia bawah, dia menjadi hewan kurban yang memberikan kekuatan pada alam semesta. Dengan cara itu, keharmonisan hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan sesama manusia terjaga.

Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman dalam pembunuhan hewan persembahan. Yang ada justru konsep kasih sayang. Roh-roh hewan yang mati itu diruwat, disucikan, dan ditingkatkan derajatnya agar bereinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan berikutnya.

Berdasarkan konsep itulah, apa pun yang ada di alam bisa dijadikan sarana persembahan atau kurban. Hewan seperti macan juga digunakan untuk ritual. Namun, lazimnya hewan persembahan atau kurban adalah hewan yang bisa dimakan manusia.

Kondisi ekologi tampaknya memberi pengaruh pada isi sajen. Di kawasan pesisir, seperti Negara dan Gilimanuk, hewan laut seperti kepiting, udang, dan ikan masuk dalam sajen. Di Denpasar Selatan, di dalam sajen ada penyu yang diolah sebagai lawar, sate, dan lainnya. Di daerah pedalaman, seperti Dauh Tukad, Tenganan, Karangasem, sajen berisi itik, babi, kerbau atau anjing.

Kategori mana hewan untuk persembahan ke dewa dan dunia bawah tidak selalu sama. Di beberapa daerah, itik hanya digunakan untuk persembahan ke dewa, sedangkan babi untuk butha kala penguasa dunia bawah. Di Daud Tukad, itik digunakan sekaligus untuk dewa dan butha, sedangkan babi untuk dewa. Untuk dewa itik diguling, untuk dunia bawah itik dibakar.

Sejarah perjalanan suatu desa juga memengaruhi pilihan atas hewan persembahan. Masyarakat yang tinggal di Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, misalnya, tidak mempersembahkan babi. Sebab, mereka menganggap dirinya keturunan Pangeran Mas Wilis dari Blambangan, Jawa Timur, yang memiliki saudara kembar bernama Pangeran Mas Sepuh. Ketika datang ke Bali bersama Pangeran Mas Wilis abad ke-16, Pangeran Mas Sepuh diperkirakan telah beragama Islam.

Simbol toleransi beragama juga terlihat dari pelinggih (bangunan suci persemayaman dewa) berbentuk langgar di Pura Dalem Jawa, Bunutin.

Begitulah, sajen yang beraneka merupakan cerminan masyarakat Bali yang heterogen. Setiap daerah di pulau ini mendapat sentuhan pengaruh Hindu-Jawa dengan kadar yang berbeda-beda. Maka terbentuklah ruang sosial yang heterogen pula. Adat menjadi suatu realitas yang bisa disebut religius karena didirikan oleh para leluhur.

Dalam konteks makanan, kategori-kategori juga diciptakan berdasarkan pengetahuan pembuatnya, lantas dipraktikkan, disimbolisasi, dan diulang-ulang. Itulah yang membuat makanan dan hewan persembahan berbeda di setiap daerah. Perlakuan terhadap makanan, variasi, simbol, filosofi, dan stratanya juga berbeda. Meski begitu, tetap ada benang merah dalam makanan Bali, yakni nasi, daging, sayur, dan sambal.

Benang merah lain yang mengikat makanan Bali adalah bumbu. Boleh dikata, apa pun masakan Bali, mulai lawar, babi guling, sate lilit hingga ayam / bebek betutu, geneplah bumbunya. Itulah bumbu dasar yang memberi cita rasa khas pada semua masakan Bali. Di dalamnya ada 15 jenis bumbu yang digunakan, termasuk salam, serai, kemiri, dan jeruk limau. Jika bumbu dasar itu ditambah dengan basa wewangen (bumbu rempah) yang terdiri dari lada, pala, jintan, ketumbar, kayu manis, terciptalah basa gede atau bumbu besar yang total terdiri atas 29 jenis bumbu, termasuk kemenyan.

Secara teologis bumbu mencerminkan berbagai sifat manusia. Ketika sifat-sifat itu dipadukan dengan baik, terciptalah rasa yang seimbang. Bumbu juga mencerminkan pertemuan antara laut dan gunung (segara-giri), pesisir dan pedalaman.

Hubungan laut-gunung adalah konsep yang cukup tua di Bali. Temuan wadah kubur (sarkofagus) di Gilimanuk yang dihuni manusia Bali zaman prasejarah mempertegas adanya kontak antara daerah pesisir dan pedalaman. Sebab, bahan sarkofagus berupa batu padas tidak ada di pesisir Gilimanuk, tetapi di pedalaman.

Artikel ini tulisan I Made Asdhiana atas wawancaranya dengan :
- Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, Rohaniwan Hindu
- I Ketut Donder, Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
- Putu Ardana, Kelian Adat Desa Dauh Tukad
- Ida Oka Nurjaya, Kelian Pura Dalem Jawa
- I Wayan Geriya, Guru Besar Antropologi Universitas Udayana

Kajian Tentang Makanan


Kajian terkait makanan memang bukan hal baru dalam khazanah antropologi budaya. Setidaknya sejak abad ke-19, dengan munculnya tulisan Garrick Mallery berjudul Manners and Meals tahun 1888 dalam American Anthropologist Volume 1 No. 3 (Maryetti, 2007). Lalu diikuti William Robertson Smith (1889), Frank Hamilton Cushing (1920) dan Franz Boas (1921). Pada era 60-an ada Lvi-Strauss dan Mary Douglas, dan era 80-an ada Jack Goody, Mintz, Munn dan Messer. Masih banyak lagi tulisan mengenai makanan pada era 90-an sampai 2000-an (Mintz dan Du Bois, 2000).

Ketertarikan para antropolog mengkaji makanan karena persoalan makan dan makanan tidak hanya masalah fisiologis, tetapi juga budaya. Sesuatu dapat diterima atau ditolak sebagai makanan, berada di bawah kontrol kebudayaan (Bates, 1996; Dauglas, 1966; 1983). Menurut Levi-Strauss makanan menduduki tempat yang esensial di dalam pemikiran manusia karena dua alasan. Keberadaan insani dan segala atributnya dapat terdefinisikan melalui sarana memasak. Dan, memasak dan menyantap makanan menandai transisi dari alam (nature) ke budaya (culture) (Maryetti, 2007).

Luasnya kajian tentang makanan dapat dilihat dari beragamnya aspek yang dibahas. Beberapa membahas makanan dalam upacara ritual dan makna simbolik yang ada di makanan. Ada yang membahas peranan simbolik dari makanan serta hubungan makanan dengan perubahan sosial. Juga ada yang membahas makanan sebagai pembentuk identitas, baik identitas suku bangsa maupun identitas lain seperti gender, ras, status dan kelas.

Makanan sebagai pembentuk identitas, seperti yang ditulis Maryetti (2007) pernah dibahas oleh Weichart (2004), Mintz dan Du Bois (2002), Caplan (1997), Foster dan Anderson (1986) dan Messer (1984). Identitas etnik dalam hal ini dapat dikenali dari masakan etnik yang punya karakteristik rasa khusus. Contoh makanan Minahasa ditandai dengan banyaknya penggunaan cabe dalam mengolah daging anjing, tikus atau kelelawar. Kuatnya rasa cabai, bahkan menghilangkan rasa daging itu sendiri (Weichart, 2004:67).

Makanan yang dihargai sebagai lambang identitas suku bangsa / nasional adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri. Jadi bukan makanan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan atau dimakan oleh banyak suku bangsa. Keberadaan hidangan kalkun di acara Thanksgiving pada masyarakat Amerika, merupakan suatu keharusan karena unggas itu dianggap berasal dari Amerika Utara (Foster dan Anderson, 1986:319).

Selain menentukan identitas etnik, makanan juga sebagai penentu identitas lain. Berkaitan dengan jender, makanan yang dianggap kuat dari segi warna dan rasa (pedas) dianggap pantas untuk laki-laki, seperti anggur merah dan daging sapi (Bos sp.). Sebaliknya makanan yang dianggap ringan, berwarna pucat dan empuk, dianggap lebih pantas untuk perempuan dan anak-anak. Contohnya, anggur putih dan daging anak sapi.

Selain memiliki makna simbolik, makanan ternyata juga memiliki peran-peran simbolik. Foster dan Anderson (1986) mengemukakan ada empat peran simbolik dari makanan (sebagaimana dikutip dalam Maryetti, 2007) yaitu:

1. Makanan Sebagai Ungkapan Ikatan Sosial. 
Hal ini terlihat pada kebiasaan saling mengirim makanan antar tetangga dalam suatu masyarakat. Mengirim atau menawarkan makanan memiliki makna bahwa si pemberi menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Bagi si penerima, dengan kesediaannya menerima makanan yang ditawarkan itu, berarti ia mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan oleh si pemberi dan membalasnya suatu saat. Sebaliknya jika seseorang tidak atau lalai menawarkan makanan dalam konteks seperti diharapkan, berarti menolak uluran cinta atau persahabatan, bahkan juga menunjukkan rasa permusuhan. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial juga terlihat dari rasa aman yang dirasakan jika seseorang dapat makan bersama teman-teman dan orang-orang yang disayangi. Siapa pun tidak akan membagi makanannya kepada musuhnya.

2. Makanan Sebagai Ungkapan Kesetiakawanan Kelompok. 
Ini diwujudkan dalam bentuk makan bersama anggota keluarga. Karena tidak setiap hari hal itu bisa terlaksana, maka kesempatan tertentu seperti memperingati kejadian-kejadian penting dalam daur hidup seseorang (ulang tahun kelahiran, pernikahan) dan hari raya keagamaan dipilih sebagai saat yang tepat untuk mengungkapkan rasa solidaritas kelompok. Biasanya makanan yang disajikan pada kesempatan itu adalah makanan khas keluarga atau suku bangsanya.

3. Makanan Sebagai Pemberi Rasa Ketentraman Dalam Keadaan Yang Menyebabkan Stres
Makanan tertentu yang menggambarkan identitas kelompok pada dasarnya dapat mengembalikan ketenangan jiwa orang yang sedang mengalami stres. Itulah sebabnya mengapa para imigran, dalam keadaan apapun akan selalu mempertahankan makanan tradisionalnya sehari-hari di tempat pemukimannya yang baru. Orang Minang di Califonia, AS misalnya, akan berusaha untuk memasak rendang walaupun harga kelapa mahal di sana (Danandjaja, 1994: 189).

4. Makanan Sebagai Simbolisme Bahasa. 
Pada banyak bahasa di dunia, sifat suasana hati seseorang sering diibaratkan dengan kualitas atau keadaan makanan. Dalam bahasa Inggris, orang yang sangat marah diungkapkan dengan ‘boiling mad’ (mendidih). Dalam bahasa Indonesia, orang yang jahat hatinya dikatakan busuk hati. Begitupun dalam bahasa Minang, orang yang baik kata-katanya tetapi tidak diwujudkan dalam tindakan atau tindakannya bertolak belakang dengan ucapannya, dikatakan ‘manih muluik’ (manis mulut).

Oleh karena itu makan dan makanan merupakan proses penting dari kehidupan manusia yang bisa menunjukkan hakikat identitas dirinya sebagai bagian dari kehidupan sosial manusia itu sendiri.

Note : 
Artikel ini tulisan Sumarni Bayu Anita, S.Sos, M.A -  Dosen Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka & Universitas Bina Darma Palembang