Saturday 16 May 2015

Kajian Tentang Makanan


Kajian terkait makanan memang bukan hal baru dalam khazanah antropologi budaya. Setidaknya sejak abad ke-19, dengan munculnya tulisan Garrick Mallery berjudul Manners and Meals tahun 1888 dalam American Anthropologist Volume 1 No. 3 (Maryetti, 2007). Lalu diikuti William Robertson Smith (1889), Frank Hamilton Cushing (1920) dan Franz Boas (1921). Pada era 60-an ada Lvi-Strauss dan Mary Douglas, dan era 80-an ada Jack Goody, Mintz, Munn dan Messer. Masih banyak lagi tulisan mengenai makanan pada era 90-an sampai 2000-an (Mintz dan Du Bois, 2000).

Ketertarikan para antropolog mengkaji makanan karena persoalan makan dan makanan tidak hanya masalah fisiologis, tetapi juga budaya. Sesuatu dapat diterima atau ditolak sebagai makanan, berada di bawah kontrol kebudayaan (Bates, 1996; Dauglas, 1966; 1983). Menurut Levi-Strauss makanan menduduki tempat yang esensial di dalam pemikiran manusia karena dua alasan. Keberadaan insani dan segala atributnya dapat terdefinisikan melalui sarana memasak. Dan, memasak dan menyantap makanan menandai transisi dari alam (nature) ke budaya (culture) (Maryetti, 2007).

Luasnya kajian tentang makanan dapat dilihat dari beragamnya aspek yang dibahas. Beberapa membahas makanan dalam upacara ritual dan makna simbolik yang ada di makanan. Ada yang membahas peranan simbolik dari makanan serta hubungan makanan dengan perubahan sosial. Juga ada yang membahas makanan sebagai pembentuk identitas, baik identitas suku bangsa maupun identitas lain seperti gender, ras, status dan kelas.

Makanan sebagai pembentuk identitas, seperti yang ditulis Maryetti (2007) pernah dibahas oleh Weichart (2004), Mintz dan Du Bois (2002), Caplan (1997), Foster dan Anderson (1986) dan Messer (1984). Identitas etnik dalam hal ini dapat dikenali dari masakan etnik yang punya karakteristik rasa khusus. Contoh makanan Minahasa ditandai dengan banyaknya penggunaan cabe dalam mengolah daging anjing, tikus atau kelelawar. Kuatnya rasa cabai, bahkan menghilangkan rasa daging itu sendiri (Weichart, 2004:67).

Makanan yang dihargai sebagai lambang identitas suku bangsa / nasional adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri. Jadi bukan makanan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan atau dimakan oleh banyak suku bangsa. Keberadaan hidangan kalkun di acara Thanksgiving pada masyarakat Amerika, merupakan suatu keharusan karena unggas itu dianggap berasal dari Amerika Utara (Foster dan Anderson, 1986:319).

Selain menentukan identitas etnik, makanan juga sebagai penentu identitas lain. Berkaitan dengan jender, makanan yang dianggap kuat dari segi warna dan rasa (pedas) dianggap pantas untuk laki-laki, seperti anggur merah dan daging sapi (Bos sp.). Sebaliknya makanan yang dianggap ringan, berwarna pucat dan empuk, dianggap lebih pantas untuk perempuan dan anak-anak. Contohnya, anggur putih dan daging anak sapi.

Selain memiliki makna simbolik, makanan ternyata juga memiliki peran-peran simbolik. Foster dan Anderson (1986) mengemukakan ada empat peran simbolik dari makanan (sebagaimana dikutip dalam Maryetti, 2007) yaitu:

1. Makanan Sebagai Ungkapan Ikatan Sosial. 
Hal ini terlihat pada kebiasaan saling mengirim makanan antar tetangga dalam suatu masyarakat. Mengirim atau menawarkan makanan memiliki makna bahwa si pemberi menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Bagi si penerima, dengan kesediaannya menerima makanan yang ditawarkan itu, berarti ia mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan oleh si pemberi dan membalasnya suatu saat. Sebaliknya jika seseorang tidak atau lalai menawarkan makanan dalam konteks seperti diharapkan, berarti menolak uluran cinta atau persahabatan, bahkan juga menunjukkan rasa permusuhan. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial juga terlihat dari rasa aman yang dirasakan jika seseorang dapat makan bersama teman-teman dan orang-orang yang disayangi. Siapa pun tidak akan membagi makanannya kepada musuhnya.

2. Makanan Sebagai Ungkapan Kesetiakawanan Kelompok. 
Ini diwujudkan dalam bentuk makan bersama anggota keluarga. Karena tidak setiap hari hal itu bisa terlaksana, maka kesempatan tertentu seperti memperingati kejadian-kejadian penting dalam daur hidup seseorang (ulang tahun kelahiran, pernikahan) dan hari raya keagamaan dipilih sebagai saat yang tepat untuk mengungkapkan rasa solidaritas kelompok. Biasanya makanan yang disajikan pada kesempatan itu adalah makanan khas keluarga atau suku bangsanya.

3. Makanan Sebagai Pemberi Rasa Ketentraman Dalam Keadaan Yang Menyebabkan Stres
Makanan tertentu yang menggambarkan identitas kelompok pada dasarnya dapat mengembalikan ketenangan jiwa orang yang sedang mengalami stres. Itulah sebabnya mengapa para imigran, dalam keadaan apapun akan selalu mempertahankan makanan tradisionalnya sehari-hari di tempat pemukimannya yang baru. Orang Minang di Califonia, AS misalnya, akan berusaha untuk memasak rendang walaupun harga kelapa mahal di sana (Danandjaja, 1994: 189).

4. Makanan Sebagai Simbolisme Bahasa. 
Pada banyak bahasa di dunia, sifat suasana hati seseorang sering diibaratkan dengan kualitas atau keadaan makanan. Dalam bahasa Inggris, orang yang sangat marah diungkapkan dengan ‘boiling mad’ (mendidih). Dalam bahasa Indonesia, orang yang jahat hatinya dikatakan busuk hati. Begitupun dalam bahasa Minang, orang yang baik kata-katanya tetapi tidak diwujudkan dalam tindakan atau tindakannya bertolak belakang dengan ucapannya, dikatakan ‘manih muluik’ (manis mulut).

Oleh karena itu makan dan makanan merupakan proses penting dari kehidupan manusia yang bisa menunjukkan hakikat identitas dirinya sebagai bagian dari kehidupan sosial manusia itu sendiri.

Note : 
Artikel ini tulisan Sumarni Bayu Anita, S.Sos, M.A -  Dosen Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka & Universitas Bina Darma Palembang