".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 19 June 2015

Makanan Yang Masuk Asia Penyebab Munculnya Banyak Penyakit


ARTIKEL INI KIRIMAN DARI SEORANG TEMAN INDONESIA DI HANOI

PROLOG :
Ada pernyataan di bulan September tahun 2013 dari Organisasi Pangan & Pertanian Dunia yang mengindikasikan kebijakan negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik dalam mencapai ketahanan pangan menghadapi beban ganda baik kekurangan nutrisi maupun kelebihan nutrisi akibat paradigma ketahanan pangan yang hanya menyoroti kuantitas (atau jumlah semata-mata).

Akibatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut telah disertai dengan dampak perubahan pola makan yang tajam dan akses yang tidak seimbang terhadap pangan. Termasuk antara lain terjadinya peningkatan obesitas dan defisiensi nutrisi (seperti kekurangan vitamin A) di sejumlah pusat perkotaan dan negara-negara kepulauan di Pasifik yang merupakan salah satu tingkat tertinggi di dunia.

Hal tersebut karena perubahan pola makan, sehingga semakin banyak menyantap makanan dengan kadar gula yang tinggi, kerap menjadi penyebab meningkatnya diabetes dan sejumlah penyakit terkait lainnya. Sementara meningkatnya permintaan akan daging juga dinilai berkontribusi pada perubahan pola penggunaan lahan untuk pertanian.

Untuk itu, Organisasi ini menganjurkan bahwa yang dibutuhkan adalah mengubah paradigma kebijakan itu antara lain dengan memperbaiki standar nutrisi (kesehatan) dibanding mendorong penambahan jumlah kalori dengan memperbanyak pangan yang kaya protein dan kerap didapat dari makanan-makanan olahan, termasuk dari daging dan susu (dairy products).

KOMENTAR :
Tadinya saya agak membenarkan pernyataan tersebut, tapi setelah menimbang-nimbang lebih jauh dan melihat secara jernih ternyata ada benang merah yang "tidak pas" dengan kenyataan yang ada, khususnya terhadap negeri tercinta ini..

Dalam soal makan, bangsa Indonesia memang kerap didikte pihak Barat terus menerus ? Soal kuantitas dipermasalahkan supaya tidak kelaparan. Soal kualitas juga dipermasalahkan supaya tidak penyakitan. Ujung-ujungnya takut khazanah kuliner Asia bangkit kembali kali yaa .. ??

Biarkan saja Organisasi itu bicara demikian untuk menutupi kelemahan dirinya sendiri, yang penting kita jangan terpengaruh oleh mereka. Memang orang yang kurang gizi ya tidak sehat, sama tidak sehatnya dengan orang yang kelebihan gizi. Orang kita cukup meningkatkan kadar gizi sesuai dengan kebutuhan hidup kita, yang tentu saja beda dengan kebutuhan orang Barat .

Sebenarnya, orang Barat diam-diam sudah mulai mengikuti cara hidup orang Asia yang dikatakannya kurang ini kurang itu, salah ini salah itu. Coba perhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Dulu orang Barat itu tidak mau minum air, mereka hanya mau minum bir atau coca cola dan sejenisnya. Dulu kalau kita ke Eropa, di rumah makan kalau kita minta air putih, pelayannya sembari sinis suruh kita minum langsung dari keran. Sekarang mereka menyediakan air putih, karena bule-bulenya juga sudah banyak yang minum air putih yang jelas lebih sehat. Tidak jelas, dulu bayi dan anak kecil di sana dikasi minum apa?

2. Dulu kalau kita cari nasi atau mie di Eropa susahnya setengah mati, harus di rumah makan Asia. Tapi sekarang sudah banyak rumah makan bule yang menyediakan nasi dan makanan Asia lain, karena sekarang orang Barat juga sudah banyak yang makan nasi, yang terbukti lebih baik daripada makan daging terus menerus. Memang terlalu banyak nasi juga tidak baik, secukupnya saja. Konon menurut salah satu sumber, tingginya tingkat penyakit jantung di barat dibanding Asia, ada pengaruhnya dengan rata-rata jumlah daging yang dimakan mereka setiap harinya.

3. Susu dan telur oleh pihak Barat disebut-sebut sebagai sumber protein yang paling bagus buat kesehatan. Ternyata jumlah penderita kanker di barat secara proporsi lebih tinggi daripada orang Asia. Konon ini ada hubungannya dengan tingginya produk makanan yang berasal dari susu yang mereka makan sehari-hari.

Semua orang tahu, secara umum makanan Asia lebih alamiah dan lebih sehat daripada makanan orang Barat, yang banyak berbentuk kalengan. Memang sudah dari sononya orang Asia makan tumbuh-tumbuhan plus sedikit daging, tapi orang Barat makan daging plus sedikit tumbuh-tumbuhan. Di mana-mana juga orang bilang makan tumbuh-tumbuhan lebih sehat daripada daging, apalagi daging merah (dari hewan kaki 4). Malah dalam ajaran Buddha umat dianjurkan untuk tidak makan daging (vegetarian). Belakangan banyak buku-buku dan tulisan yang mengatakan daging merah sangat tidak baik bagi kesehatan, malah orang yang kena kanker dianjurkan untuk tidak makan daging dan makanan yang berasal dari susu hewan.

Memang orang Barat sering mengkadali kita-kita orang Asia. Coba saja, mereka sering sekali bilang bahan makanan Asia seperti vetsin dan mie sangat tidak baik untuk kesehatan, berbahaya, bisa menimbulkan kanker dan macam-macam lagi, seolah-olah racun mematikan, yang bikin takut orang yang mau memakannya. Vetsin sering digembar-gemborkan seolah-olah racun yang sangat berbahaya, padahal orang China dan Jepang, makan vetsin sejak sebelum Masehi dan tidak pernah ada yang kena kanker gara-gara vetsin. Buntutnya Chinese Food sering diisukan berbahaya dan bersifat carsinogen.

Padahal menurut literatur brosur vetsin berbahaya jika tiap hari dimakan 10 gram terus menerus. Tapi mana ada orang makan vetsin 10 gram sehari, dan terus menerus sepanjang hidupnya. Untuk sepanci masakan vetsinnya tidak lebih dari 1/2 sendok teh (2-3 gram) dan tidak setiap hari. Mie, yang tidak baik pengawetnya, dan pengawetnya produk dari barat. Tapi yang disalahkan justru mie-nya, bukan pengawetnya. Mereka maunya membohongi kita terus, anggapnya kita bloon semua.

Minyak jagung dan minyak kedelai dipasarkan sebagai minyak yang sehat untuk kesehatan dan tidak mengandung cholesterol. Minyak kelapa dan minyak sawit dikatakan berbahaya untuk kesehatan. Padahal minyak kedelai dan minyak jagung setelah dipanaskan akan berubah dan lebih berbahaya bagi kesehatan, yang baik justru minyak kelapa. Masalahnya di Amerika tidak ada pohon kelapa, mereka hanya punya jagung dan kedelai. Dan masih banyak lagi omong kosong yang menakut-nakuti orang untuk menjauhi makanan Asia, tapi tidak pernah menyinggung makanan sampah (junk food) dari barat yang jelas-jelas berbahaya (hamburger, hotdog, fried chicken, ham, sausage, coca cola, dsb).

Jadi kita cuekin sajalah. Kalau mau debat kusir sama orang Barat, katakan saja, kalau makanan orang-orang Asia sangat kurang dan tidak bermutu, tentu penduduk Asia sudah lama punah, yang berkembang hanya bule-bule saja. Tapi buktinya penduduk China, India dan Indonesia saja sekarang sudah setengah penduduk dunia, jauh lebih banyak dari bule.

Wasalam
SBN

Adat dan Budaya Betawi Bernilai Multietnis


Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata "Batavia," yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda.

Sejarah
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690.Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
 
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar se-abad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle.Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Asal Usul Suku Betawi
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India.

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan "Perkoempoelan Kaoem Betawi". Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Setelah Kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi  dalam arti apapun juga  tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Seni dan Kebudayaan
Budaya Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[2] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
 
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Perilaku dan Sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang pernah menjadi Gubernur Jakarta.

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi.Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Ciri Motif Batik Betawi
Selama ini, batik identik dengan budaya dari Jawa. Akan tetapi jangan salah, diberbagai daerah penjuru nusantara kita juga memiliki batik dengan ciri khasnya tersendiri. Hampir setiap daerah di negeri kita ini memiliki corak batik yang khusus berikut nama yang berdasarkan asal daerahnya, seperti Batik Solo, Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Paoman Indramayu, Batik Cirebon, Batik Kalimantan, Batik Madura, Batik Papua, dan yang terbaru kini hadir Batik Betawi yang tidak kalah istimewanya.

Motif dari batik betawi terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya yaitu Ondel-ondel, Nusa Kelapa, Ciliwung Rasamala, dan Salakanegara. Motifnya lebih banyak bercirikan khas betawi seperti alat musik tanjidor, gambang kromong, ondel-ondel, kota kuno. Ciri khas kain batik betawi yaitu kain sarung dengan menonjolkan motif Tumpal, yaitu bentuk motif geometris segitiga sebagai barisan yang memagari bagian kepala kain dan badan kain. Saat dikenakan, Tumpal harus ada di bagian depan. Motif burung hong juga masuk dalam ciri khas batik betawi sebagai perlambang kebahagiaan
 
Makanan Khas Betawi
Makanan khas Jakarta dikenal memiliki rasa yang gurih dan cukup menarik sebagai teman minum teh. Makanan-makanan itu adalah :
1. Kerak Telor
Penganan yang satu ini identik dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Sebab, kerak telor selalu dijumpai setiap kali PRJ digelar. Saat ini, kerak telor menjadi makanan langka. Meski merupakan penganan khas Betawi, penjualnya justru kebanyakan berasal dari Sunda, Jawa Barat.Kerak telor memiliki rasa yang gurih. Rasa gurih itu datang dari bahan-bahan yang digunakan di dalamnya, yaitu beras ketan putih, telur ayam atau bebek, udang yang digoreng kering, bawang merah goreng, kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam, dan gula pasir.

2. Kembang Goyang
Sama seperti kerak telur, camilan khas Betawi ini juga sudah mulai jarang ditemui. Padahal rasanya yang gurih cukup menarik untuk dijadikan sebagai teman minum teh. Tidak percaya? Coba cari snack tersebut di pasar, lalu jadikan teman minum teh. Apabila tidak menemukan penjualnya, Anda dapat membuat sendiri. Siapkan tepung beras, gula, telur, santan, minyak goring dan cetakan kembang goyang.Kocok telur dan gula hingga lembut. Masukkan tepung dan santan. Aduk-aduk hingga tercampur dan adonan licin. Lalu, panaskan minyak di wajan.Celupkan cetakan kembang goyang ke minyak panas hingga panas. Celupkan cetakan ke adonan. Celupkan cetakan ke adonan. Celup lagi cetakan ke minyak panas. Setelah itu goyang-goyangkan hingga adonan lepas.

3. Roti Buaya
Pembuatan roti berbentuk buaya sebenarnya terinspirasi dari kebiasaan buaya yang hanya menikah sekali sepanjang hidupnya. Nah, berangkat dari situ, roti buaya dijadikan sebagai simbol kesetiaan pasangan yang telah menikah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika roti buaya selalu hadir di setiap acara pernikahan adat betawi. Sekarang, mencari roti buaya terbilang sulit. Tidak semua toko roti menjualnya. Jika ingin membeli roti buaya, orang juga biasanya harus memesannya terlebih dahulu. Padahal membuat roti buaya tidaklah sulit. Bahan-bahannya yang terdiri dari terigu, gula pasir, margarin, garam, ragi, susu bubuk, telur, dan pewarna mudah diperoleh. Hanya, membentuk adonan hingga menyerupai buaya memerlukan kesabaran bagi yang tidak terbiasa membuatnya.

4. Kue Rangi
Kue khas Betawi itu kini jarang ditemui. Meski demikian, beberapa resto mulai menawarkan kembali hidangan tersebut. Kue rangi atau biasa disebut sagu rangi terbuat dari tepung kanji dicampur dengan kelapa yang diparut kasar. Dahulu, orang memanggang kue rangi dengan memanfaatkan api yang berasal dari kayu bakar atau arang. Alhasil, kue tersebut menjadi lebih wangi. Jika ingin mencicipinya, Anda juga dapat membuatnya sendiri.

Bahan-bahannya adalah kelapa setengah tua, ampas kelapa, tepung sagu aren, garam, dan gula merah.Cara membuatnya, campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.Panaskan wajan, taruh 1-2 sendok makan adonan. Ratakan hingga tipis.Lalu masak sampai kering dan matang. Setelah itu, taburi permukaannya dengan gula merah, lipat dua, dan angkat jika sudah garing.

5. Sayur Gabus Pucung
Sayur ikan gabus pucung sebagai masakan khas Betawi relatif sulit ditemukan. Sebagian wilayah Bekasi yang banyak mendapat pengaruh dari masyarakat Betawi (misalnya sebagian Kota Bekasi hingga Tambun dan Cibitung) mengenal masakan ini sebagai masakan untuk para boss. Selain karena rumah makan yang menyediakannya jarang, ikan gabus juga sulit diternak. Sebagian besar ikan gabus yang didapat merupakan tangkapan dari alam.

Kue Khas Betawi
1. Dodol Betawi
Meski Bekasi merupakan salah satu kabupaten dan kota dari Jawa Barat, pengaruh Betawi terhadap kebudayaan di Bekasi sangat kental terasa. Hal ini lebih diperkuat dengan banyaknya penduduk Bekasi yang memiliki keterkaitan dengan Jakarta. Dodol Betawi menjadi sangat istimewa karena berbagai sebab. Beberapa diantaranya adalah karena :
(1). Hanya muncul diwaktu tertentu, diantaranya waktu Lebaran atau saat ada hajatan (pernikahan, khitanan / sunatan) dan event khusus lainnya. Pada beberapa tempat, dodol Betawi disebut sebagai kue raja karena keistimewaan yang dimilikinya.
(2). Waktu pembuatan yang relatif lama. Dodol Betawi dibuat dari air santan kelapa yang dicampur dengan beras ketan dan gula yang dimasak didalam kuali besar dari tembaga (kenceng). Waktu memasak lebih kurang 6 jam.
(3). Ketersediaan Alat. Tidak banyak orang Bekasi atau orang Betawi asli yang memiliki kuali besar dari tembaga alias kenceng. Selain harganya cukup mahal, penggunaannya hanya pada waktu tertentu sehingga tidak ekonomis jika tidak dibuat dalam produksi yang kontinyu.
(4). Kesabaran. Membuat Dodol Betawi membutuhkan kesabaran ekstra. Saat membuat Dodol Betawi untuk Lebaran, ada cukup banyak aturan yang harus dipenuhi jika ingin dodol yang dihasilkan memiliki kualitas prima.
 
2. Kue Akar Kelapa
Sebagian orang Bekasi menyebutnya sebagai kue Procot. Dinamakan kue akar kelapa karena bentuknya mirip akar kelapa. Dinamakan sebagai kue Procot karena saat digoreng, adonan di procotkan atau dikeluarkan secara perlahan menggunakan tabung yang sudah dilubangi dibagian ujung. Akar kelapa, kata dia berbahan dasar kelapa parut, beras tepung, tepung ketan, tepung hun kue, dan wijen.

3. Kue Rengginang
Kue Rengginang dibuat dari beras yang setelah diolah kemudian dijemur diterik matahari dan digoreng hingga mengembang. Ada 2 pilihan rasa, yaitu Rengginang manis dan Rengginang Asin.

4. Kue Sagon
Kue ini dibuat dari tepung beras yang diberi rasa manis dan kemudian digarang (seperti disangrai) diatas bara api. Bentuk kue tergantung pada cetakan, bisa berbentuk oval, lingkaran, bergerigi maupun bentuk lainnya.         
 
5. Kue Geplak
Kue ini mirip seperti kue Sagon, namun biasanya disertai kelapa, dibentuk jajaran genjang dan rasanya manis. Kue geplak tidak digarang diatas bara api.

6. Kue Duit
Sesuai namanya, kue duit dibuat dari tepung yang dibentuk seperti uang logam. Setelah dijemur diterik matahari, kue duit digoreng sehingga gurih dan menjadi penganan yang makan seperti halnya makan emping. Kue Duit kadang dibubuhi tepung gula agar terasa manis. 
 
7. Kue Gipang
Kue Gipang terbuat dari bahan ketan, gula, asem, dan minyak, ukurannya berbentuk kotak sebesar 3 Cm persegi. Kue ini mirip sekali dengan kue rengginang dan berondong, namun rasanya lebih manis dan diberi pewarna merah agar terlihat lebih menarik. 
 
Kesenian Betawi
Keberadaan budaya Betawi, termasuk kesenian tradisionalnya dalam beragam bentuk seperti tari-tarian, teater, nyanyian, musik, dan sebagainya, merupakan aset wisata yang eksotik. Sudah sepatutnya berkembang sebagaimana kesenian tradisional dari etnis lain.

Tak sedikit tim kesenian dari Indonesia yang diwakili Betawi pentas keliling dunia, mendapat sambutan luar biasa di berbagai manca negara. Sementara di Tanah Airnya sendiri seolah kurang mendapat tempat. Bahkan regenerasinya pun acap mengalami kendala.

Saat ditemui di kediamannya, kawasan Cipayung Jakarta, Mpok Nori, salah seorang generasi senior kesenian tradisional Betawi, mengungkapkan bahwa saat ini kesenian yang digelutinya tak sepopuler tahun 70-80-an saat keemasan karirnya. Kendalanya, selain besarnya pengaruh globalisasi, generasi muda Betawi juga sangat sedikit yang mau mempelajari sekaligus meneruskan kesenian tradisi mereka. 

1. Ondel-Ondel
Entah mengapa diberi nama Ondel-ondel. Yang pasti, setiap ada gelaran hajatan di kalangan warga Betawi, arak-arakan ondel-ondel seperti tak pernah ketinggalan. Baik hajatan besar maupun sekedar pesta sunat anak. Boneka besar setinggi sekitar 2 meter tersebut memang dipercaya sebagai simbol nenek moyang yang menjaga anak-cucunya yang masih hidup. Dengan kata lain, ondel-ondel juga dipercaya untuk mengusir roh jahat setiap ada hajatan. Bagian wajah berupa topeng (disebut kedok), sementara rambut kepalanya dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki dicat warna merah, sedangkan yang perempuan dicat dengan warna putih. Keberadaan ondel-ondel yang kerangkanya dibuat dari bambu itu saat ini sudah mulai bergeser. Kadang hanya digunakan sebagai pajangan di kantor-kantor, hotel-hotel atau tempat-tempat umum setiap bulan juli tiba.

2. Gambang Kromong
Setiap mendengar gambang kromong ingatan kita langsung tertuju pada musik khas Betawi.Tapi sejarah musik ini awalnya dipengaruhi beberapa unsur musik Cina, yaitu dengan digunakannya alat musik gesek berupa kongahyan, tehyan, dan skong.
Sementara alat musik asli pribumi dalam gambang kromong berupa gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pimpinan golongan Cina yang bernama Nie Hu-kong.

Tak heran, sebuah grup gambang kerap memainkan lagu-lagu Cina yang biasanya dibawakan secara instrumental. Konon, sekitar abad ke-delapan belas warga Batavia (Jakarta) sangat menyukai permainan musik, lantaran itulah tidak sedikit peranakan Tionghoa yang menggabungkan permainan bermacam-macam alat musik dikolaborasikan dengan tari-tariancokek.

3. Lenong Betawi
Lenong adalah teater rakyat khas Betawi yang dikenal sejak tahun 1920-an. Sejak awal keberadaannya, diiringi dengan musik gambang kromong. Dalam dua Lenong dikenal dua jenis cerita yaitu Lenong Denes (bercerita tentang kerajaan atau kaum bangsawan) sementara Lenong Preman berkisah tentang kehidupan rakyat sehari-hari ataupun dunia jagoan.Lenong Denes sendiri adalah perkembangan dari bermacam bentuk teater rakyat.
 
Kesenian Betawi yang sudah punah, seperti wayang sumedar, wayang senggol ataupun wayang dermuluk. Sementara lenong preman disebut-sebut sebagai perkembangan dari wayang sironda. Yang cukup signifikan dalam perbedaan penampilan kedua lenong tersebut, Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa Melayu halus, sedang Lenong Preman rata-rata menggunakan bahasa Betawi sehari-hari. Beberapa seniman Lenong Betawi terkenal yang lahir dan terkenal dari kesenian ini cukup banyak. Sebut saja H. Bokir (alm), Mpok Nori sampai Mandra. Namun tokoh dalam bidang ini siapa lagi kalau bukan H.M. Nasir T (Bang Nasir).

4. Tanjidor
Selain mendapat pengaruh dari budaya Cina, kesenian Betawi dipengaruhi oleh beragam budaya dari Eropa. Orkes Tanjidor, misalnya, mulai ada sejak abad ke-18. Konon salah seorang Gubernur Jenderal Belanda, Valckenier menggabungkan rombongan 15 orang pemain alat musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki untuk memeriahkan pesta. Tak heran, secara sepintas, bunyi orkes Tanjidor sangat mirip dengan lagu-lagu dalam kelompok marching band, tapi lagu-lagu barat berirama imarsi maupun wals yang dimainkan oleh para pemain tanjidor sudah sulit dilacak asal-usulnya, mengingat sejak awal keberaadannya dikembangkan sesuai selera sekaligus kemampuan ingat para juru panjaknya dari generasi ke generasi. Sampai saat ini, Tanjidor masih ditampilkan untuk menyambut tamu, memeriahkan arak-arakan atau mengiringi pengantin. Namun dalam perayaan HUT Jakarta biasanya ditampilkan sebagai salah satu peserta festival. Menyebut Tanjidor, tampaknya identik dengan tokohnya, Marta Nya’at.

5. Keroncong Tugu
Pernah dengar keroncong tugu?Ini adalah musik Betawi yang banyak mendapat pengaruh dari budaya Barat khususnya dari Eropa Selatan. Sejak abad ke-18 musik ini berkembang di kalangan warga Tugu, mereka adalah masyarakat Jakarta keturunan Mardijkers atau bekas anggota tentara Portugis yang dibebasin dari tawanan Belanda. Setelah memeluk agama Kristen, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Koja Jakarta Utara. Di kampung tersebut, terdapat gereja yang dibangun tahun 1600-an. Musik keroncong tugu sendiri biasanya dibawakan oleh warga Tugu sejak tahun 1600-an setiap malam bulan purnama, sambil bergerombol menikmati malam bulan purnama di pinggir sungai, ataupun dibawakan untuk mengiringi lagu-lagu gereja dalam acara kebaktian. Alat-alat musik keroncong tugu sejak awal dilahirkan terdiri dari keroncong, biola, kukulele, banjo, gitar, rebana, kempul dan selo.
 
Budaya Timur Tengah ternyata juga memiliki pengaruh kuat dalam khasanah Betawi, hal ini terbukti bahkan sampai saat ini di seantero Jakarta terdapat puluhan grup orkes gambus. Orkes ini biasanya ditampilkan di acara pesta perkawinan untuk mengiringi para penyanyi gambus baik laki maupun perempuan. Mereka biasanya membawakan lagu-lagu gambus dengan lirik religius maupun lagu-lagu cinta berbahasa Arab. Agar lebih semarak, saat musik gambus sedang dimainkan, biasanya ada beberapa penari zapin yang terdiri dari beberapa orang laki-laki. Walaupun dalam perkembangannya, terkadang juga melibatkan beberapa penari perut (belly dancer) perempuan sebagai daya tarik. Mungkin lantaran grup musik gambus selalu identik dengan pesta pernikahan warga etnis Betawi, grup musik gambus masih tumbuh subur di Jakarta, lantaran peminatnya masih saja ada. Bahkan beberapa artis gambus kerap lahir lantaran jam terbangnya dari pesta ke pesta cukup/sangat tinggi. Salah seorang tokoh musik gambus di Jakarta, Munif Bahaswan, mengakui, dibanding musik dangdut, musik gambus kurang diminati di luar etnis Betawi, Arab dan India.

6. Rebana
Selain musik gambus, masih ada musik Betawi yang dipengaruhi budaya Timur Tengah. Musik rebana misalnya, adalah musik khas Betawi yang bernafaskan Islam. Macam musik rebana sendiri demikian banyak, digolongkan sesuai alat musik maupun syair-syair yang dibawakan oleh para pemain musiknya. Jenis-jenis musik rebana, misalnya rebana ketimpring, rebana ngarak, rebana dor juga rebana biang. Biasanya, musik rebana (khususnya rebana biang) digunakan untuk memeriahkan pesta maupun arak-arakan.

7. Orkes Samrah
Orkes samrah adalah kesenian Betawi dalam bentuk orkes yang mendapat pengaruh suku Melayu. Lagu-lagu yang biasa dibawakan dalam ini adalah lagu-lagu jadul (jaman dulu), seperti lagu Burung Putih, Pulo Angsa Dua, Sirih Kuning, juga lagu Cik Minah. Orkes samrah juga biasa dipakai mengiringi lagu-lagu khas Betawi semacam Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung dan lain-lain.

Sementara tarian yang biasa diiringi orkes samrah disebut Tari Samrah. Biasanya, para penari samrah menari berpasang-pasangan, dengan gerakan tari bermacam-macam, yang salah satunya dipengaruhi oleh gerakan silat. Tak heran, dalam silat Betawi juga dikenal beragamgerak yang lemah gemulai. Tokoh dalam bidang musik samrah adalah Ali Sabni.

8. Tari Silat
Tari silat adalah tarian yang keseluruhan gerakannya diambil dari gerak pencak silat. Tari ini diiringi oleh tetabuhan khusus yang disebut gendang pencak, gambang kromong, gamelan topeng dan lain-lainnya. Di kalangan masyarakat Betawi sendiri dikenal bermacam aliran silat, sebut saja aliran Kwitang, aliran Tanah Abang maupun aliran Kemayoran. Sementara gaya dalam tari silat yang paling terkenal disebut gaya seray, gaya pecut, gaya rompas serta gaya bandul. Tari silat Betawi sendiri menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti oleh masing-masing penari. Selain tari silat, Betawi juga memiliki banyak tari-tarian lain.
 
9. Tari Topeng
Tari Topeng adalah visualisasi gerak, yang dibuat nenek moyang tanpa melalui konsep. Ada pengaruh budaya Sunda, namun memiliki ciri khasnya berupa selancar. Para penarinya menggunakan topeng yang mirip dengan Topeng Banjet Karawang Jawa Barat, namun dalam topeng betawi memakai bahasa Betawi. Dalam topeng betawi sendiri ada tiga unsur: musik, tari dan teater. Tarian dalam topeng betawi inilah yang disebut tari topeng. Salah seorang tokoh seniman Betawi yang telah mengusung aneka tari-tarian Betawi khususnya tari topeng hingga ke manca negara adalah Entong Kisam. Dirinya sudah berkeliling ke 5 benua, serta 33 negara.

10. Topeng Betawi
Budaya Sunda ternyata juga mempengaruhi budaya Betawi. Salah satunya dalam kesenian Topeng Betawi, yaitu teater rakyat Betawi yang sangat digemari oleh masyarakat etnis Betawi sebab dapat digunakan untuk menyampaikan kritik sosial. Salah satu lakon topeng Betawi yang terkenal berjudul Bapak Jantuk. Lakon ini mengandung banyak petuah seperti nasehat-nasehat tentang kehidupan berumah tangga. Dalam teater ini digunakan musik pengiring yang disebut gamelan topeng. Salah seorang tokoh budaya Betawi dalam bidang Topeng Betawi, adalah Mpok Nori.
 
11. Wayang Betawi
Salah satu produk budaya Betawi hasil akulturasi dari budaya Jawa dan Sunda adalah wayang. Namun demikian, pengaruh Sunda lebih tampak dalam kesenian ini. Mungkin secara geografis memang lebih dekat. Misalnya dalam hal penggunaan bahasa. Dalam wayang digunakan bahasa Betawi campur Sunda. Dalam dunia pewayangan Betawi dikenal dua jenis wayang: Wayang Kulit (dalang terkenalnya H. Surya Bonang alias Ki Dalang Bonang), serta Wayang Golek (dalang terkenalnya Tizar Purbaya). Umumnya, wayang Betawi mengambil lakon tentang kehidupan kerajaan di dunia pewayangan. Ada pula tokoh komedi Udel (persamaannya Cepot di dalam Sunda). Musik iringan dalam wayang Betawi sama halnya dengan gamelan topeng, berupa musik gamelan Sunda campur Betawi, dengan ciri khas alat musik tehyan (sebagai ciri khas Betawi) yang disebut gamelan ajeng.
 
12. Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka.Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

Senjata Tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Pakaian Adat
Orang Betawi pada umumnya mengenal beberapa macam pakaian. Namun yang lazim dikenakan adalah pakaian adat berupa tutup kepala (destar) dengan baju jas yang menutup leher (jas tutup) yang digunakan sebagai stelan celana panjang. Melengkapi pakaian adat pria Betawi ini, selembar kain batik dilingkari pada bagian pinggang dan sebilah belati diselipkan di depan perut. Para wanita biasanya memakai baju kebaya, selendang panjang yamg menutup kepala serta kain batik.

Pada pakaian pengantin, terlihat hasil proses asimilasi dart berbagai kelompok etnis pembentuk masyarakat Betawi. Pakaian yang digunakan pengantin pria, yang terdiri dari: sorban, jubah panjang dan celana panjang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Sedangkan pada pakaian pengantin wanita yang menggunakan syangko (penutup muka), baju model encim dan rok panjang memperlihatkan adanya pengaruh kebudayaan Cina Uniknya, terompah (alas kaki) yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita dipengaruhi oleh kebudayaan Arab.
 
Rumah Adat Betawi
Pada masa sekarang ini rumah-rumah adat tradisional khas Betawi yang benar-benar asli di Jakarta sudah sangat langka.Namun, di beberapa tempat seperti di sekitar Marunda, Condet maupun daerah-daerah pinggiran lain, rumah tradisional khas Betawi masih dapat ditemukan.

Ada 4 (empat) tipe bentuk rumah tradisional yang dikenal oleh orang Betawi, yaitu tipe Gudang, tipe Bapang, tipe Kebava dan, tipe joglo.
1. Rumah tipe Gudang dan Bapang memiliki bentuk segi empat yang polos dan sangat sederhana.


2.  Rumah tipe Kebava memiliki beberapa bagian;
a. Langkan yaitu bagian rumah yang berpagar rendah dan berfungsi sebagai serambi rumah, dibuat dari kayu atau bambu.
b. Ruang depan, biasanya terbuka setiap saat tanpa ada pintu yang menghalangi seseorang untuk masuk, yang melambangkan sifat orang Betawi yang terbuka dan ramah.
c. Balai-balai dari bambu, merupakan perlengkapan utama dan terdapat di ruang depan, fungsinya untuk menerima tamu.
d. Atap dan wuwungan, jika dilihat dari depan akan tampak berbentuk segi tiga sama kaki dengan tambahan pet sebagai penahan hujan atau panas, sedangkan dari samping akan tampak berbentuk trapezium. Bagian atap (wuwungan) pada pertemuan sisi kaki segi tiga sama kaki dengan sisi kaki trapesium disebut jurai. Jurai adalah genting yang dipasangkan atau dipaku pada ander sebagai penghubung sisi kaki segi tiga dengan sisi kaki trapesium untuk menahan air agar tidak masuk ke dalam rumah.
e. Jendela bulat yang biasanya terdapat disamping kiri atau kanan ruang depan ada yang ditutup dengan daun jendela, sering kali ditutup dengan jeruji. Jendela bulat yang dikenal oleh orang Betawi adalah sama sekali tidak menggunakan daun jendela ataupun jeruji yang disebut melompang.
f. Jendela intip, dua buah jendela yang terdapat dikiri kanan pintu masuk keruang dalam yaitu jendela berjeruji kayu berukir dan tidak berdaun jendela, fungsinya untuk mengintip tamu yang datang.
g. Lantai rumah, baik lantai tanah maupun lantai rumah panggung biasanya jauh lebih tinggi dari halaman rumah, maksudnya untuk menghindari masuknya air ke dalam rumah, sedangkan rumah panggung juga berfungsi untuk menghindari gangguan binatang atau gangguan tamu-tamu di malam hari yang bermaksud kurang baik.

3. Rumah tipe Joglo, beberapa bagian yang melengkapi adalah sebagai berikut;
a. Ruang depan, merupakan ruang terbuka dengan kayu jati terukir sebagai langkannya dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu.
b. Ruang tamu perempuan, ruang tamu khusu untuk tamu wanita
c. Ruang tidur atau pangkeng.
d. Pendaringan, yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan tempayan berisi beras dan balai-balai kecil untuk meletakkan barang.
e. Tapang, ruangan kecil dengan balai-balai yang berfungsi serba guna, di mana tersedia kendi dan peralatan minuman lainnya
f. Dapur, di mana terdapat tungku tradisional dengan tiga lubang biasanya dari tanah liat.
g. Kamar mandi, biasanya dilengkapi dengan padasan, sumur beserta senggotnya. Halaman rumah orang Betawi pada umumnya ditanami dengan berbagai macan tumbuhan.Apabila luas halaman rumah mencukupi maka beberapa jenis pohon yang biasa ditanam adalah ranbutan, nangka, kecapi, petai, jengkol, jamblang, duku, salak, tangkil, dan sebagainya. Diseputar rumah biasa ditanami pula dengan jenis tanaman perdu yang berfungsi sebagai "apotek hidup" antara lain jahe, kunyit, lengkuas, kencur, temulawak, beluntas, dan lain sebagainya

Wednesday 3 June 2015

Perempuan Tionghoa, Mediator "Diam" Pembentukan Budaya


Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang  ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut  menetap.

Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering  terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung  dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang "diam"  atau "terdiamkan".

Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles  Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada  mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya.  Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil  perempuan lokal sebagai istri.

Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat  itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan.  Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka  yang orang setempat.

Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal  dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga  muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya. Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida  apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan  dengan urusan perempuan.  Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup  perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan  bahasa sehari-hari.

Busana
Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan  sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung  dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai  batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa. 

Kebayanya juga dikenal sebagai "kebaya encim" yang biasanya ada bordiran di tepi baju. Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita  temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana  sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana  anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara  hajatan dan acara resmi.

Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak  oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah  tangga bila sudah menikah.  Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan 
berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya  dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya. Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi  berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai atau mie. 

Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang  sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini  ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun  oleh orang Indonesia umumnya.

Bahasa
Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai  bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana  kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda. Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu,  sapaan kohdé, cikngah, dan kulik merupakan gabungan dari dua kata  engkoh gedé, tacik tengah, dan engku cilik.  Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari  bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya,  paklik, pakdé, atau bulik dan budé.

Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal  dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi  Silang Budaya Tiongkok-Indonesia).  Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak  adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga.

Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada  dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya.  Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari-hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya  merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga.

Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang  Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan  Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Myra Sidharta dan Mely G Tan sudah sering mengangkat nama perempuan  Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia.  Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti  politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan. 

Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih  terasa "terdiamkan", mungkin karena pada umumnya mereka lebih  biasa "diam".

Artikel tulisan : Esther Kuntjara Dosen Fakultas Sastra, UK Petra, Surabaya

Pengaruh Budaya Tionghoa dalam Budaya Betawi


Orang Tionghoa sudah lama sekali berada di Jakarta. Pada waktu  Belanda pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jayakarta di sana  sudah ada pemukiman Tionghoa di muara sungai Ciliwung. Ini  menunjukkan bahwa hubungan yang sangat baik antara etnik yang di  kemudian hari dikenal sebagai etnik Betawi dengan etnik Tionghoa  sudah berlangsung sangat lama, jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa  Barat ke Nusantara.

Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari  propinsi Hokkian bagian selatan (Ban-lam). Yang dimaksud dengan  Hokkian selatan ialah wilayah sekitar Ciangciu (Zhangzhou), Emui  (Xiamen) dan Coanciu (Quanzhou)

Maka dari itu secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam  budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan, bukan dari bagian lain  negeri Cina. Bahwasanya budaya Hokkian selatanlah yang sangat besar  pengaruhnya tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang sampai  sekarang masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian  telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.

Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di  Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti  dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal,  Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat- istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri juga seperti  orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan  Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tidak bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga  belajar silat dari orang Tionghoa. Orang Betawi tida punya rasa takut (alias pede?) disebabkan pengaruh orang Tionghoa.

Kalau di wilayah budaya Jawa, misalnya, etnik Tionghoa peranakan  sangat dipengaruhi budaya Jawa sehingga sejak dahulu tidak sedikit di  antara mereka yang boleh dibilang pakar dalam kebudayaan Jawa:  gamelan Jawa, tari Jawa, wayang wong, dan lain-lain, maka menurut  pengamatan saya di Jakarta ini interaksi budaya —dalam arti saling  mempengaruhi— antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak  etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya  Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya  Tionghoa. Begitu dekatnya hubungan budaya antara kedua etnik ini,  sehingga seorang sobat saya dari etnik Betawi berseloroh, "Betawi ame  Cine ubungannye kaye gigi ame bibir aje."

Di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di  dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus.

Bahasa Betawi adalah bahasa yang sangat terbuka. Dalam bahasa Betawi  sangat banyak kita temukan kata-kata pinjaman (loanwords) dari bahasa  Tionghoa, utamanya dialek Hokkian selatan (Ban-lam gi). Kata-kata  dalam bahasa Betawi yang berasal dari dialek Hokkian selatan antara lain adalah: kata ganti diri gua (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu',  kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', gopeh (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' goceng (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau (cit-tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi perut', cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas',  sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.

Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan (lan-kan) 'balustrade'. Agar tampak indah dan tidak kusam, pintu dan jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun. Di dinding tergantung loceng atau lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng (pang-keng) 'kamar tidur'. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko (kong-kou) 'mengobrol' terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan kuaci (koa-ci). Ta'pang (tah-pang) 'balai-balai' atau 'dipan' dipakai untuk rebah-rebahan sambil bersantai.

Untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo' (toh-pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka memakai bakiak (bak-kiah) yang tahan air.

Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah beken en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati sembari minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi dengan culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas Betawi.

Selain Semarang, ternyata Jakarta juga punya penganan yang namanya lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba makan ngohiang (ngou-hiang) alias gohiong? Lantas siapa yang tida kenal ikan cuwe (choe) dan nasi tim (tim)?

Dalam masyarakat Betawi terdapat satu tradisi yang berhubungan dengan kebiasaan makan yang mirip dengan budaya Tionghoa, yaitu nyarap,makan siang, dan makan besar (makan malam). Kebiasaan nyarap berlangsung pada pagi hari. Kemudian makan siang biasanya berlangsung antara pukuI 12.30 sampai 13.30. Namun tidak semua dapat berkumpul makan siang, karena mungkin ada anggota keluarga yang masih berada di luar rumah (sekolah ataupun bekerja). Hidangan makan siang lebih lengkap dari pada nyarap, terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur mayur, dan kadang-kadang dilengkapi dengan emping/kerupuk merah, perkedel, acar/lalapan berikut sambalnya. Kemudian untuk makan besar (malam), biasanya ibu rumah tangga memasak lagi. Pada kesempatan ini seringkali semua anggota keluarga dapat hadir. Hidangan terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur mayur, ditambah hidangan pelengkap. Kadangkala bertempat di meja makan, namun bagi keluarga yang tidak mampu cukup di bale atau di lantai yang diberi alas. Seluruh keluarga ngeriung (berkumpul) di tempat makan itu. Apabila mampu hidangan ditutup dengan pencuci mulut, misalnya kolak atau setup, bagi orang tua kadangkala sambil ngupi.

Seiring dengan perkembangan zaman, kebiasaan nyarap  atau perilaku makan bersama di rumah sudah mengalami perubahan. Kebiasaan nyarap sekarang sering dilakukan diluar. Mereka umumnya lebih suka jajan, dan juga makanan pokok sudah berubah bukan lagi beras namun tepung terigu, bahkan kecenderungan mengkonsumsi mie instan lebih dipersering. ApabiIa di zaman dahulu makan berfungsi sebagai sarana untuk mengakrabkan keluarga, kemudian berubah menjadi cara mencari kesenangan atau relaxing bersama relasi, teman-teman dsb. 

Seperti kebanyakan masyarakat Tiongha, orang Betawi terbiasa mengajak tamu ikut makan, saat datang waktu makan. Ajakan makan itu seringkali agak memaksa walau tamu sudah makan. Mengajak makan tamu jika direncanakan (ngajak/ngundang makan), artinya tamu sudah ada di rumah satu atau dua jam sebelum waktu makan tiba dan diupayakan dengan menghidangkan makanan istimewa. Bahkan kadangkala tuan rumah menyembelih hewan peliharaannya seperti ayam atau kambing. Diakhir jamuan makan besar atau undangan seringkali dihidangkan makanan penutup atau cuci mulut, berupa buah-buahan seperti pisang atau mangga.

Nyomot Nasi di Bakul Jangan Pake Tangan adalah ungkapan tradisional Betawi yang juga merupakan perpaduan budaya Tiongha mengenai tata cara makan. Makna yang terkandung dalam ungkapan ini ialah supaya seseorang tidak bersikap ceroboh tapi mematuhi aturan dan norma yang ada di kehidupan masyarakat. Maksud masyarakat Betawi dalam mempergunakan ungkapan ini ialah untuk menasehatkan, menyindir dan mengingatkan seseorang dalam bertindak. Sebenarnya cakupan ungkapan ini lebih luas. Tidak hanya mengenai tata cara makan. Kalau ada orang yang tidak mematuhi aturan atau norma-norma dalam kehidupan masyarakat akan, dinasehatkan dengan ungkapan di atas. Kalau diperhatikan arti dan maksud pemakaian ungkapan ini mengenai aturan-aturan kebaikan bagi seseorang, maka hubungannya ialah dengan masalah agama.

Alat-alat makan selain piring, yang terpenting adalah tempat cuci tangan atau centangan. Selain itu juga dilengkapi dengan sendok (makan dan sayur), garpu, dsb. Beberapa hal sebagai pantangan diwaktu makan diantaranya: piring tidak boleh ditampa karena dianggap dapat mempersulit kedatangan rejeki; tidak dibenarkan makan nyiplak,yakni mengunyah makanan dengan menimbulkan bunyi-bunyian mulut yang bergemerisik; tidak boleh makan seperti kucing, yakni mencium-cium dulu makanan sebelum menyantap ataupun menjilati piring setelah makan; nyeruput kuah sayur langsung dari tempat sayur; makan di ambang pintu dan berdiri; makan sambil berbicara; apabila ada orang makan dilarang nyantong, yaitu berdiri memperhatikan orang makan dengan pandangan yang berselera; celamitan, yaitu meminta makanan orang lain. Adapun beberapa tindakan yang kurang terpuji, diantaranya: betahak atau sendawa dikala makan; kentut disaat makan tidak dibenarkan; makan sekenyang-kenyangnya sehingga kemelekeren; mindo, yaitu makan diantara nyarap dan makan siang, atau makan siang dan makan besar, atau setelah makan besar. Orang yang suka mindo disebut gembul atau jaga rasmi (pengawal penguasa).

Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Petasan (mercon, kata orang Jawa) salah satu contohnya. Di beberapa daerah, suatu pernikahan gaya Betawi takkan lengkap kiranya tanpa bunyi petasan renceng yang memekakkan telinga saat menyambut penganten laki-laki.

Dalam rombongan ngarak penganten di unit kedua ada barisan remaja pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang yang disebut toya.

Pengaruh lain ialah dalam pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut putri Cina. Pada Festival Pecinan I di tahun lalu telah kita lihat peragaan upacara perkawinan tradisi Tionghoa peranakan di Tangerang. Bisa kita amati persamaan dan perbedaan antara pakaian penganten perempuan Tionghoa dengan pakaian penganten Betawi yang tentu sudah sering diperagakan. Pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut Putri Cina pada dasarnya sama saja dengan pakaian penganten perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Baju penganten Putri Cina itu terdiri dari: serangkaian Kembang Goyang dengan Burung Hong serta penutup wajah penganten perempuan yang disebut Siangko (pat-sian khou), baju penganten berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan di kanan, yang disebut baju Toaki (toa-ki), dan bawahan berupa rok lipit yang disebut Kun (kun). Di bagian bahu dan dadanya penganten perempuan memakai aksesori yang disebut Terate (in-kian).

Sama seperti orang Tionghoa, orang Betawi pun kalau kondangan lazim memberikan angpau atau ampau, selain barang-barang lain, kepada tuan atau nyonya rumah. Ampau (ang-pau) ialah bingkisan uang yang dimasukkan ke dalam amplop khusus bergaris merah.

Dalam pertemuan-pertemuan kaum Betawi, para lelaki biasanya mengenakan baju tikim (tui-khim) —ada yang menyebutnya baju koko dan sadariah —dengan padanan celana batik dan selendang yang dikalungkan di dada. Celana pangsi (phang-si) berwarna hitam kebanyakan dipakai oleh jago-jago/jawara-jawara. Ibu-ibu sering menggendong anak yang masih kecil dengan cukin (chiu-kin). Untuk ikat pinggang dipakai angkin (ang-kin). Anak-anak kecil doeloe suka mengenakan oto (io-tou) supaya tida mudah masuk angin.

Kalau kondangan banyak kaum perempuan yang memakai Kebaya Encim. Kebaya ini merupakan pengaruh tida langsung orang Tionghoa peranakan terhadap orang Betawi. Walau kebaya ini asalnya dari orang Indo, tapi kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh kaum perempuan Tionghoa peranakan. Jika kebaya Indo hanya berwarna putih, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan kemudian tida lagi berwarna putih, dan lalu diberi sulaman (bordir) benang berwarna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini. Mulai dari aneka flora, kupu-kupu, dan  burung bahkan sampai ke . . . raket tenis! Ujung kebaya yang pada kebaya Indo rata dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang lantas menjadi ciri khas Kebaya Nyonya peranakan. Kebaya yang kini disebut Kebaya Encim ini selanjutnya diadaptasi oleh kaum perempuan Betawi.

Dalam bidang seni musik kontribusi orang Tionghoa, dalam hal ini orang Tionghoa peranakan, yang tida kalah penting adalah musik khas Jakarta yang disebut gambang kromong. Jenis musik ini memang musik pembauran alias campuran, seperti dikatakan sendiri oleh Kwee Kek Beng, seorang wartawan senior, ''Maoe dikata Tionghoa terlaloe Indonesia, maoe dikata Indonesia terlaloe Tionghoa."

Gambang kromong pada mulanya membawakan lagu-lagu instrumentalia dari daerah Hokkian selatan (lagu pobin) dengan iringan gambang, kromong, ningning, kecrek, kendang, goong, suling, dan beberapa instrumen gesek Tionghoa. Instrumen gesek itu terdiri dari: sukong (su-kong) yang besar dan bernada rendah, tehyan (the-hian) yang sedang, dan kongahyan (kong-a-hian) yang paling kecil dan bernada tinggi.

Lagu pobin merupakan lagu terawal gambang kromong, biasanya dimainkan sebagai pembukaan suatu pertunjukan musik gambang kromong. Judulnya masih dalam dialek Hokkian selatan. Judul lagu pobin yang masih dapat sering diperdengarkan antara lain: Khong Ji Liok ('Kosong Dua Enam') dan Peh Pan Thau ('Delapan Ketukan'). Laras (surupan) gambang kromong adalah laras salendro yang juga khas Tionghoa, disebut Salendro Cina. Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya.

Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak wayang' (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chioun-khek yang artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk menari bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder.

Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong (ng-kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). Dari ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas dipinjam dari istilah kekerabatan Hokkian selatan.

Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Betawi yang berhasil saya telusuri. Pengaruh yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam budaya bangsa kita ini.

Note :
Artikel ini diambil dari tulisan RM Danardono Hadinoto