".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 30 August 2015

Sambal


Orang Indonesia (khususnya juga bangsa-bangsa di Asia Selatan, Asia Timur dan Amerika Latin) suka sambal karena bangsa-bangsa ini suka rasa pedas yang dihasilkan cabai. Namun yang pasti sambal tidak bisa dilepaskan dari keseharian orang Indonesia karena merupakan salah satu hidangan populer di negeri ini. Sambal nyaris bukan sekadar makanan pelengkap tetapi sudah menjadi makanan utama bagi sebagian dari kebiasaan makan orang Indonesia.

Indonesia memiliki beragam varian sambal lezat yang berasal dari daerah-daerah di seluruh Nusantara. Beberapa sambal yang populer antara lain sambal terasi, sambal bajak, sambal balado, sambal hijau, sambal kecap, sambal kacang dan masih banyak lagi. Dalam bukunya tahun 2009, Suryatini N Ganie mencatat sekurang-kurangnya 100 variasi makanan Indonesia yang dibuat dari sambal.

SEJARAH SAMBAL DI INDONESIA
Dalam peradaban manusia, cabai sudah ada setidaknya sejak 6.000 tahun silam, dimana bubuk cabai dipergunakan dalam hidangan makanan suku Indian Maya & Aztec, salah satu suku asli di Amerika Latin. Bagi suku Indian Maya & Aztec cabai memiliki posisi penting karena cabai adalah salah satu bentuk kenikmatan hidup. Malah ketika para pendeta Aztec berpuasa untuk memuja para dewa, ada dua hal yang wajib dihindari: "seks dan cabai". Penyebaran biji-biji cabai ke seluruh dunia dipelopori Christopher Colombus, ketika ia bertolak pulang ke Spanyol dari Amerika Latin. Dari Spanyol, biji cabai mulai merambah Eropa lalu dunia dan sampai ke bumi Nusantara.

Kegemaran orang Indonesia makan sambal dipercayai berlangsung sejak lama. Meskipun sambal merupakan makanan masyarakat kita, namun tanaman cabai, yang menjadi bahan utama sambal, dibawa dan diperkenalkan oleh bangsa Portugis pada abad ke-16, yang kemudian ditanam di sini. Namun ada beberapa indikasi bahwa cabai sudah dikenal jauh sebelumnya, dimana teks Ramayana abad ke-10 telah menyebut cabai sebagai salah satu contoh jenis makanan favorit saat itu dan komoditas perdagangan yang penting sejak masa Jawa Kuno.

Sejarahnya orang Indonesia suka dan terbiasa makan sambal dikarenakan seni kuliner Indonesia bersifat hidangan dingin. Cabai menjadi penting dalam setiap masakan karena rasa pedasnya tidak hanya menggugah selera tetapi juga sebagai pengganti temperatur panas yang bikin tubuh menjadi segar, hangat dan berkeringat serta yang paling penting merupakan stimulan untuk meningkatkan nafsu makan dan citarasa terhadap makanan.

Apalagi budaya masakan Indonesia bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan dari rasa pedas, sehingga masakan lokal tidak akan lengkap kalau tidak ada cita rasa pedas atau sambal .. Anekdotnya "makan tanpa sambal, ibarat makanan tanpa garam".

SAOS SAMBAL KEMASAN
Kalau kita bicara soal sambal berevolusi bentuknya menjadi saos kemasan karena soal perkembangan jaman dan akibat pola perubahan kehidupan di perkotaan yang mau lebih praktis dan instan dalam segala hal termasuk soal masak dan makan, sehingga mengakibatkan masyarakat di kota-kota lebih mengenal dan akrab dengan sambal saos kemasan yang sayangnya kebiasaan itu telah menjangkau sampai ke masyarakat pedesaan.

Namun sejarah awal mula pembuatan sambal adalah berupa saos juga yang berbahan dasar cabai yang diulek di atas cobek batu sampai keluar kandungan airnya sehingga muncul rasa pedas. Setelah ditambah bumbu serta bahan-bahan lain seperti garam, tomat, bawang merah, bawah putih dan terasi, rasa pedas itu akan menjelma menjadi penggugah selera yang nikmat.

Bagaimanapun cerita dibalik kedatangan dan keakraban masyarakat terhadap saos sambal kemasan disebabkan antara lain sebagai berikut :

1. Karena terjadinya evolusi akibat perubahan pola kebiasaan konsumsi masyarakat perkotaan yang tidak mau repot-repot mengulek di atas cobek batu.
2. Akibat harga cabai yang mahal dibanding dengan sambal saos kemasan mendorong masyarakat akrab dengan sambal kemasan.

Pastinya sambal yang dikonsumsi tidak lebih baik kesegarannya dari sambal origin, apalagi segala sesuatu yang dikemas pasti membutuhkan pengawet agar tahan lebih lama untuk dijual di pasaran, selain biasanya rentan menggunakan pewarna yang berbahaya untuk kesehatan. Maka dari itu, memproduksi saus sambal origin di rumah yang diulek di atas cobek batu adalah pilihan terbaik.

Tetapi tidak semua variasi sambal bisa diolah menjadi instan atau diproses dalam kemasan, karena selain rasanya ada keharusan menggunakan cabai mentah yang masih segar yang begitu selesai diulek dan diaduk di atas cobek batu, segera dicampur dengan lauk. Varian sambal ini antara lain seperti :

1. Sambal Goang khas Sunda
2. Sambal Pelecing khas Lombok
3. Sambal Lado Mudo khas Padang
4. Sambal Kenari khas Maluku
5. Sambal Matah dan Sambal Embe khas Bali
6. Sambal Dabu-dabu, Sambal Rica-rica, dan Sambal Cakalang khas Manado

Saturday 29 August 2015

Roti Jok


Roti Jok adalah kuliner Yogyakarta dan merupakan salah satu kudapan kegemaran Sultan Hamengkubowono VII yang awalnya bukan diperuntukkan untuk rakyat. Konon beliau sering pergi dan kedatangan tamu-tamu dari Eropa, maka untuk menjamu tamu-tamu negara itu, Sultan meminta para juru masak Keraton membuat masakan perpaduan Eropa dan Jawa. Kemudian dibuatlah sebuah makanan yang dari jaman dahulu merupakan resep rahasia kerajaan Hadiningrat yaitu Roti Jok.

Masyarakat asli Yogya pun tak banyak yang tahu tentang masakan istana Roti Jok karena pada awalnya kuliner kudapan ini memang menjadi santapan para bangsawan. Namun setelah era kemerdekaan, Istana Yogya mulai mengenalkan masakan keraton itu untuk dapat dinikmati masyarakat umum. 

Roti Jok dibuat dari bahan tepung beras dan terigu dicampur dengan telur, margarine, gula, garam dan santan. Setelah cukup mengembang, adonan dituang ke cetakan, bukan dioven seperti layaknya roti, tapi menggunakan cetakan apem khas Jawa Tengah.

Teman makan yang paling cocok menurut Sinuhun ke 7 adalah semur. Ini disebabkan karena makanan khas jawa ini bahannya kaya rempah. Bahannya antara lain bawang, cengkeh, lada pala, gula, garam dan kecap. Semur yang dimaksud bisa ayam atau lidah. Inilah yang menyebabkan namanya menjadi Roti Jok, roti yang diguyur atau jok dalam bahasa.



Wednesday 26 August 2015

Eating Out


Salah satu fenomena gaya hidup masyarakat kota adalah makan di luar rumah (eating out) yang mengakibatkan menjamurnya restoran, cafe, foodcourt, warung makan yang terdapat di pusat perbelanjaan maupun di luar pusat perbelanjaan.

Budaya makan di rumah telah bergeser dengan kebiasaan makan di luar rumah (eating out) yang dianggap sebagai gaya hidup modern dan global. Oleh karena itu, makan di luar (eating out) muncul sebagai sebuah komoditas masyarakat urban untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi mereka.

Fenomena yang terjadi pada masyarakat perkotaan, konsep eating out tidak hanya sekedar sebagai kebutuhan biologis, akan tetapi merupakan gaya hidup yang menandakan identitas dan kelas, kelompok tertentu.

Perkotaan dengan beragam pusat perbelanjaan dan tempat makan telah menjadi arena pertarungan, tidak saja bagi produsen dalam mendapatkan konsumen, akan tetapi juga bagi konsumen dalam menunjukkan status dan kelas sosialnya melalui jenis makanan dan tempat makan.

Konsumen disajikan berbagai pilihan tempat dan jenis makanan yang sesuai dengan selera sehingga tempat makan dan jenis makanan yang dipilih, menentukan kelas sosial seseorang, karena pengaruh tingkat posisi dan sejarah asal-usul (status, pekerjaan dan pendidikan).

Eating out bukan sesuatu yang berasal secara alamiah atau bakat alam seseorang, akan tetapi terbentuk karena hubungan kekuasaan, sosial dan budaya serta bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang.

Dengan kata lain, proses konsumsi yang mencerminkan gaya hidup dan selera budaya lebih pada praktek yang membantu memberikan pemahaman bagi seorang individu maupun orang lain mengenai posisi mereka dalam ruang sosial yang disebabkan adanya dominasi kelas yang kemudian ditiru kelompok masyarakat lain untuk mendapatkan pengakuan sederajat (setara).

Posisi tertentu (misalnya orang kaya), cenderung menghasilkan habitus metropolis, seperti selera, cara makan, gaya berpakaian, gerak-gerik tubuh, dan sebagainya, yang berbeda dibandingkan dengan orang miskin. Habitus melekat sejak lahir (perawatan bayi dan pola pengasuhan orang kaya berbeda dengan orang miskin), lalu berkembang seiring dengan meluasnya relasi pelaku dengan pelaku lain yang berbeda habitusnya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan yang ditempuh, pekerjaan, lingkungan pergaulan, dan sebagainya.

Oleh karena prosesi eating out menciptakan diferensiasi sosial yang mengakibatkan berkembangnya berbagai gaya hidup. Di dalam perubahan tersebut, konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar, akan tetapi juga berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Dalam arti lain, eating out mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang dalam masyarakat, dimana yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya.

Apalagi dalam suasana eating out itu ada konstruksi diri bermuara pada persoalan eksistensi dimana kerap terlihat kebiasaan mereka memotret makanan (food capture) yang dipesan sebelum dimakan melalui gadget, lalu di unggah ke media sosial dengan alasan agar dapat terus memberikan update tentang makanan dan tetap eksis.  Pelaku eating out yang gemar “pamer” foto makanan di media sosial ingin tetap dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka. Mereka senang apabila informasi yang diunggah mendapat respon, artinya keberadaan diri mereka diakui oleh orang lain.

Disini terlihat komoditas makan di luar dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan sebagainya. Artinya ketika mengkonsumsi sesuatu, orang mengkomunikasikan banyak hal pada orang lain, termasuk kelompok mana mereka dan berbeda dengan orang lain. Orang ingin dibedakan dalam berbagai macam lingkungan budaya. Makan di suatu tempat tertentu menjadi penting, karena ada tanggung jawab terhadap munculnya penilaian orang lain terhadap dirinya. Keinginan untuk berbeda merupakan upaya representasi posisi sosial dalam kerangka mekanisme konstruksi penilaian.

Dengan demikian prosesi eating out dipengaruhi oleh internal forces yang terjadi melalui relasi-relasi kuasa dalam struktur masyarakat yang membentuk habitus tentang suatu makanan. Internal forces ini terkait dengan unsur ekonomi dan budaya dimana eating out digunakan untuk menandai pembedaan dengan orang lain. Komoditas makanan - sebagai obyek konsumsi - tidak lagi hanya berdasarkan pada kegunaannya, melainkan berdasarkan makna-makna yang tercipta dalam komoditas tersebut yang dibentuk lewat tingkatan kelas sosial dan mencirikan kekhasan gaya hidup (life style).

Dengan kata lain, dalam diri mereka tertanam referensi nilai-nilai ekonomi budaya yang menumbuhkan suasana gaya dan status sosial dengan cara merekonstruksi kekhasan rasa, penyajian, suasana dan tempat yang unik dalam berbagi pengalaman dengan kelompoknya guna memberi pemahaman terhadap orang lain mengenai posisi mereka dalam ruang sosial. Di balik pilihan itu tersimpan upaya membedakan diri mereka dari orang lain atau kelompok sosial. Pembedaan diri yang tidak semata-mata berbeda secara alami, melainkan merepresentasikan kelas sosial tertentu dalam hierarki kekuasaan.

Sebagai kata penutup, kolektifitas eating out ini menempatkan mereka pada posisi dominan yang membedakan dirinya dengan masyarakat lain dengan gaya dan cara menampilkan selera yang sah dan cenderung menunjukkan eksistensi di lingkungan sosialnya untuk diakui orang lain.

Tabek

Monday 24 August 2015

Akar pembentukan makanan di Indonesia


Citra makanan di Indonesia dikenal memiliki keragaman dan keunikan budaya serta kaya citarasa. Keragaman, keunikan, dan kekayaan itu sendiri terbentuk melalui proses sejarah yang berlangsung dalam kurun waktu panjang serta dipengaruhi berbagai unsur global.

Akar pembentukan makanan di Indonesia telah berlangsung sejak lama yang kelanjutannya berlangsung dalam proses menemu-ciptakan dan membaharui makanan dari fase-fase perkembangan sebagai berikut :

1. Masa kuna yang ditandai usaha masyarakat kuna menemu-ciptakan aneka makanan dengan memanfaatkan sumber daya pangan di sekitarnya.

2. Masuknya berbagai pengaruh global (dari Tiongkok, India, Arab, dan Eropa) hingga abad ke-18 diikuti juga dengan masuknya jenis- jenis bahan makanan baru (tanaman dan hewan) yang turut memengaruhi evolusi makanan.

3. Perkembangan budidaya pangan sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memantik perkembangan ilmu makanan dan gastronomi sebagai wujud pembaharuan (innovation) makanan yang ditandai terciptanya masakan Hindia Belanda.

4. Masa malaise, kekuasaan Jepang, dan kemerdekaan Indonesia menjadi serangkaian faktor pemudar masakan Hindia Belanda.

Thursday 20 August 2015

Mimikri Kuliner Indonesia


Pernah dengar kata "MIMIKRI" ? Dalam arti sederhana mimikri adalah suatu hasrat "peniruan" (imitasi) dari suatu subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama. Maksud melakukan "peniruan" itu adalah bentuk sikap perlawanan dari suatu subjek  terhadap (dominasi) subjek yang lain untuk mendapatkan kesetaraan dan penyesuaian identitas serta ketidaktergantungan yang bertujuan untuk mencapai kemajuan dan kesejajaran, baik dalam dalam gaya hidup maupun cara berpikir.

Sebagai contoh masa kolonialisme Belanda (sang penjajah) selama tiga setengah abad lalu meninggalkan jejak dampak di masyarakat pribumi (kaum terjajah) yang hingga kini masih terasa. Hubungan yang berlangsung saat itu bisa dikatakan tidak setara, baik secara jiwa, fikiran dan fisik maupun secara politis, sosial dan budaya untuk membuat bangsa terjajah tetap tunduk dalam kekuasaan kolonial.

Masyarakat pribumi tidak pasrah atas semua perlakuan itu dan timbul kesadaran untuk ‘membaca’ keadaan tersebut. Mereka mulai memberikan perlawanan dengan mengidentifikasikan dirinya seraya membangun identitas atau persamaan untuk menaikkan martabatnya agar sederajat dengan kaum penjajah, walaupun mereka tetap mempertahankan perbedaan yang ada. Upaya itu dilakukan untuk mengukuhkan dan sekaligus mendistorsi otoritas kolonial dengan menunjukkan ketidaktergantungan kaum terjajah terhadap dominasi sang penjajah. Perlawanan ini dilakukan terutama oleh kelompok masyarakat yang mengalami pendidikan gaya Belanda.

Salah satu ikhtiar bentuk perlawanan itu adalah dengan melakukan "mimikri" melalui cara meminjam berbagai elemen budaya untuk peniruan. Pola imitasi ini tidaklah menunjukkan ketergantungan yang terjajah kepada yang menjajah, malah sang peniru menikmati dalam proses imitasi tersebut. Dengan demikian "mimikri" merupakan suatu strategi mengukuhkan dan sekaligus siasat mendigresi dominasi penjajah saat itu.

Muslihat ini bersifat ambivalen karena secara fisik telah melestarikan warisan budaya kolonial namun sebenarnya menegasikan dominasi penjajahan untuk mendapatkan identitas diri kesetaraan dari penjajah, baik dalam dalam gaya hidup maupun cara berpikir. Mimikri itu dilakukan sebagai hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan demi mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sejajar dengan bangsa penjajah.

Salah satu sorotan kesuksesan "mimikri" itu bisa dilihat dari peniruan resepi masakan Belanda, yang dapat melukiskan perpaduan imitasi nyata dalam gaya hidup dan dalam cara berpikir masyarakat Indonesia saat itu sampai sekarang.

Contoh kuliner mimikri ini antara lain seperti : 'Klappertaart' atau 'Manuk enom'. Selain itu hidangan ‘Bestik’ yang merupakan mimikri dari ‘Steak’. Di kalangan Mangkunegaran dan Kraton Kasunanan Solo, mimikri dari steak menjadi 'Selat solo'. Juru masak Kraton Yogya melakukan mimikri menjadi 'Manuk enom'. Di Menado 'Custard pudding' bermimikri menjadi 'Klappertart'. Contoh lain, yang dikenal sebagai 'Sop sayur' sebenarnya adalah mimikri dari 'Groenten soep' dalam masakan Belanda. Bir Pletok merupakan mimikri dari Bir.

Gado-gado yang terkenal sebagai hidangan khas Indonesia, ternyata merupakan mimikri dari 'Huzarensla', hidangan dari Belanda. Huzarensla adalah campuran kentang dan sayuran yang dicampur dengan mayonaise dan krim yang berbahan dasar susu. Hidangan ini dibawa Belanda ke Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Masyarakat di Batavia memimikrikan menjadi gado-gado yang juga menggunakan bahan kentang dan sayuran, diberi kekhasan ditambah lontong dan krupuk atau emping goreng. Mayonaise dan krim diubah menjadi saus kacang yang berbumbu pedas.

Selain mimikri, peniruan resepi masakan itu bisa juga dikatakan sebagai hasil silang budaya dalam ‘dialog’ antar kuliner dari dua bangsa yang saling bertemu. Contohnya seperti antara lain : 'Sate', 'Nasi goreng', 'Gulai' dan 'Soto' yang merupakan mimikri dari etno-kuliner Tiongkok maupun 'Nasi Kebuli' dari etno pendatang Arab yang bermigrasi ke bumi Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka.

Dari uraian diatas, dalam kaitan dengan penjajahan di Indonesia, dapat dipahami mengapa makanan bangsa-bangsa luar menjadi panutan dalam kuliner di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak hegemoni dalam penjajahan maupun migrasi etnik pendatang di masa silam yang mewariskan representasi ke arah dunia yang lebih bergengsi. 

Sebagai bagian dari kebudayaan, kuliner Indonesia juga tidak luput dari proses mimikri yang berlangsung, dan kemungkinan akan berlangsung terus pada hari esok. Ternyata walau Indonesia telah mencapai kemerdekaaan bangsanya, tetapi masyarakat Indonesia tak serta merta bisa menghapus gaya hidup yang diwariskan oleh bekas penjajahnya, termasuk etno-kuliner dari bangsa pendatang (Tionghoa, Arab dan India).

Mimikri tersebut tidak berhenti sampai pada mimikri dari budaya Belanda maupun etno-kuliner dari bangsa-bangsa pendatang yang telah menetap di negeri ini, akan tetapi juga mengikuti pergeseran imperialis global, dari Eurosentris ke Amerikasentris. Proses mimikri ini senantiasa terjadi dalam proses ambivalensi terhadap kekuatan hegemoni dalam globalisasi.

Namun apapun itu, hasil mimikri dapat menjadi postif untuk memperkaya khasanah budaya kuliner, asalkan tidak menenggelamkan kearifan lokal dalam kuliner tradisional Indonesia.


Friday 7 August 2015

Sudang lepet - Ikan asin panggang khas Bali

Makanan khas Buleleng ini berbahan dasar ikan yang diiris dan dipotong tipis-tipis dan diasinkan. Nama sudang lepet, sebenarnya juga cukup unik. Kedua kata itu adalah kata dalam bahasa Bali yang secara harfiah, kata sudang berarti ikan asin, sedangkan lepet berarti sial. Jadi kalau digabungkan, sudang lepet berarti ikan asin yang sial :-) 

Entah kenapa sajian ini bisa bernama unik seperti itu. Barangkali karena proses pembuatannya yang mengharuskan ikan itu mengalami berbagai perlakuan, mulai dari dijemur, dipanggang, hingga dipukul-pukul.

Sudang lepet ini dibuat dari ikan laut khusus, yang kebanyakan bahannya didapatkan dari nelayan yang mencari ikan hingga ke perairan Madura. Cara pengolahannya berawal dari ikan yang sudah dikeringkan dengan sinar matahari. Kemudian ikan itu dipanggang diatas bara api. Lalu serat dagingnya dihaluskan dengan cara memukul permukaan daging hingga tipis di kedua sisinya. Dengan proses yang demikian, maka akan didapatkan irisan ikan yang sangat garing, nyaris menyerupai kerupuk setelah digoreng.

Bagi para penggemar sudang lepet, sensasi gurih dan garing yang didapatkan saat menyantap menu ini sulit didapatkan dari menu lainnya, bahkan dari ayam goreng ala fast food. Apalagi jika sudang lepet yang telah digoreng itu dibubuhi bumbu pelengkap seperti minyak kelapa asli serta air perasan jeruk nipis plus sambal matah atau sambal terasi yang pedas menyengat. Maka, tak terasa beberapa piring nasi putih dan potongan sudang lepet berpindah ke dalam perut.

Monday 3 August 2015

Orang Jawa Tidak Kenal Konsep Ruang Makan


Bila kita berkunjung ke rumah orang Jawa, jangan kaget kalau di ruang makan bisa ditemukan sepeda motor, jemuran baju, dan juga tumpukan gabah. Secara umum, konsep ruang makan tidak ada di kalangan orang Jawa. Arsitektur rumah lama di Jawa tidak menyediakan tempat khusus untuk ruang makan. Ruang tamu, ruang untuk makan, dan ruang untuk keluarga bercampur.

Kultur agraris memperlihatkan makan pagi dilaksanakan di sawah atau ladang. Para petani harus sudah keluar dari rumah sebelum matahari menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di rumah. Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) juga menyebutkan hal seperti itu. Bahkan pengamatan Augusta de Wit yang datang pada 1890-an dalam Java: Facts and Fancies menyebutkan, orang Jawa makan pagi di sungai setelah mandi.

Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus. Makan siang pun kadang dilakukan di sawah.

Kebiasaan makan di sawah atau kebun mengakibatkan sikap tubuh saat makan di rumah pun persis seperti di sawah. Duduk dengan jegang (kaki naik), duduk bersila, sambil makan tanpa sendok mudah terlihat, bahkan hingga sekarang sekalipun.

Rumah tanpa ruang makan ini masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan, meja untuk menaruh makanan pun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu, mereka makan di sembarang tempat.

Pergeseran mulai terjadi di keluarga-keluarga yang tinggal di kota kecamatan. Mereka sudah mulai memiliki ruang makan tetapi masih bercampur dengan dapur. Kedua ruangan ini tidak ada sekatnya. Mereka masih menaruh berbagai benda, seperti sepeda motor, jemuran pakaian, dan gabah, di ruangan itu. Keadaan ini bisa ditemukan di sebuah keluarga di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Makanan kadang tersedia di meja makan, tetapi ini pun dilakukan bila ada tamu. Bila tidak ada tamu, anggota keluarga tetap saja mengambil makanan langsung dari perapian atau dapur. Setelah itu, mereka tetap saja makan di sembarang tempat, mulai dari ruang tamu hingga dapur. Posisi badan bisa duduk di kursi, amben, dan lantai.

Bila ada tamu, kadang mereka menemani makan. Namun tidak sedikit si empunya rumah tidak menemani makan para tamu. Bagi para tamu yang terbiasa dengan kehangatan di meja makan, hal ini kadang membuat canggung. Bagaimana mungkin saat tamu makan tetapi tuan rumah malah tidak makan? Bagi orang Jawa sendiri, hal ini untuk menghormati tetamunya, tetapi belum tentu diterima oleh tamunya. Masih lumayan tuan rumah mau menemani sambil mengobrol meski dia tidak makan.

Berikutnya kita bisa menemukan rumah yang memiliki ruang makan yang tidak tergabung dengan dapur. Akan tetapi, ruang makan ini seadanya saja. Ada meja makan dan ditata layaknya ruang untuk makan. Meja hanya berfungsi untuk meletakkan makanan. Berbagai peralatan ada di meja makan, tetapi terkesan seadanya.

Ruang makan berikutnya berada di keluarga yang secara serius merancang ruang makan ketika rumahnya dibangun. Di ruang makan terdapat berbagai peralatan dan dilengkapi berbagai atribut, seperti telapak meja dan satu set alat makan. Alat makan seperti garpu sudah digunakan setiap kali makan.

Di kota besar, ruang makan kadang terbuka dan tanpa sekat dengan dapur dan ruang tamu. Mereka yang duduk di ruang tamu bisa melihat meja makan dan isinya. Perubahan ini sangat mungkin terkait dengan minimnya tanah, tetapi bisa juga karena perubahan gaya hidup. Mereka makin terbuka. Di sisi lain mereka ingin menampilkan gaya hidup terbaru. Mereka ingin menunjukkan pilihan desain ruangan dan menu makanan yang sesuai dengan gaya yang paling baru. Identitas mereka juga ingin ditunjukkan melalui penataan ruang makan.

Meski banyak orang Jawa telah memiliki ruang makan dan mengetahui tata sopan santun makan, tetap saja sikap-sikap orang agraris masih melekat. Meski mereka makan di meja makan dengan berbagai peralatan, tetap saja ada kerinduan untuk makan di tempat yang "bebas" seperti warung kaki lima. Mereka juga kadang ingin makan dengan tangan langsung alias tanpa sendok. Mereka juga mengunjungi rumah makan tradisional yang kadang tak memerlukan sikap badan yang penuh dengan sopan santun.

Masih melekatnya sifat-sifat agraris dalam hal makan dan pemahaman keberadaan ruang makan hingga sekarang sebenarnya merupakan perjalanan panjang orang Jawa dari sekadar makan untuk mengisi perut hingga mereka mengenal tata cara makan dan ruang makan.

Pengenalan itu hingga sekarang belum selesai. Sikap-sikap tubuh dalam makan masih saja menunjukkan kebiasaan makan masyarakat agraris. Tidak sedikit yang merasa ruang makan juga masih terasa asing. Ruang makan masih dianggap pelengkap sebuah rumah atau sekadar ruangan yang bermeja untuk menaruh makanan.

Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara. Keluarga-keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk menjadi pembantu. Para pembantu inilah kemudian mengenal berbagai jenis makanan orang Belanda, tata cara makan, dan ruang makan.

Akan tetapi, pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti menjadi pejabat dan kesempatan bersekolah. Analisa pengenalan kebudayaan Belanda ini setidaknya terdapat dalam buku Dutch Culture Overseas karya Frances Gouda. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga soal kebutuhan ruang makan dan juga menu yang ditampilkan.

"Konsep ruang makan dan tata cara makan memang dipengaruhi oleh Belanda," kata Teguh. Sejak saat itu, orang Jawa mengenal ruang makan. Meski demikian, orang Jawa tetap tidak mudah untuk akrab dengan ruang makan. Di keluarga modern pun kadang kaki bisa diangkat ke kursi saat makan. Ruang makan masih menjadi ruangan yang asing bagi orang Jawa.


Artikel ini diambil dari tulisan Andreas Maryoto