".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday 28 January 2017

Indonesia Terbentuk Karena Sejarah


Negara Indonesia terbentuk karena faktor sejarah. Bukan karena faktor suku, bukan karena faktor etnis, bukan karena faktor ras dan bukan karena faktor agama.

Sejarah karena adanya kekayaan rempah-rempah di kepulauan Nusantara seperti di wilayah Timur Indonesia yaitu Ternate dan Tidore, maupun adanya bandar-bandar laut di pesisir Indonesia sebagai tempat diperdagangkannya rempah-rempah itu.

Kekayaan rempah-rempah mendorong negara-negara Eropa ingin menguasai wilayah Nusantara yang difantasikan sedemikian rupa sebagai makanan surga. Kisah-kisah rempah-rempah sengaja dibuat seheboh mungkin, agar harga jualnya di benua Eropa semakin mahal, dan orang-orang Eropa tidak berminat mencarinya, karena begitu sulit untuk mencapainya.

Kisah-kisah tersebut akhirnya makin terkikis setelah orang Eropa tergoda untuk membuktikannya, sehingga mereka pun melakukan penjelajahan samudera. Akhirnya mereka pun berhasil mencapai daerah asal rempah-rempah yaitu Ternate dan Tidore.

Dengan penemuan lokasi asal rempah-rempah, maka muncullah keserakahan bangsa Eropa untuk memonopoli sehingga menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Lahirlah kemudian yang kita kenal dengan kolonialisme.

Kolonialisme mempunyai antitesis nasionalisme. Dengan nasionalisme inilah, penduduk Nusantara merasa senasib sebagai korban kolonialisme, rela bersatu menjadi bangsa dan warga negara Indonesia.

Kekayaan rempah-rempah itu merupakan mahakarya manusia yang menghasilkan negara Indonesia yang perjuangannya dilalui melalui renteten perjalanan sejarah.

Sejak diproklamirkan kemerdekaan, Indonesia menganut falsafah bahwa hanya ada satu bangsa di wilayah negara Republik ini yaitu *"Bangsa Indonesia"*.

Apapun suku dan sub-sukunya, termasuk etnik pendatang yang telah ada ratusan tahun, menjadi bagian dari sejarah kebangsaan Republik ini.

Kesepakatan itu sesuai dengan tekad para pemimpin Indonesia yang tercetus dalam “Sumpah Pemuda” tahun 1928.

Karena Indonesia terbentuk dari faktor sejarah, maka pengakuan terhadap semua suku dan sub-sukunya, termasuk ke-empat etnik pendatang (Arab, India, Tionghoa & Belanda) adalah "Mutlak".

Oleh karena itu hari kebesaran agama semua suku dan sub-sukunya, termasuk ke-empat etnik pendatang, adalah hari kebesaran agama milik kita semua, bangsa Indonesia.

Bangsa ini mempunyai keyakinan asal dan tekad :

"Dari yang banyak, bersatu dan tak terpisahkan .. INDONESIA .. Satu Negara, Satu Bangsa dan Satu Jiwa .. Di manapun juga ia ditempatkan, ia akan tegak .. Setia tak tergoyahkan .."

Pada kesempatan emas ini, ijinkan saya mewakili teman-teman Indonesian Gastronomy Association (IGA) mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada para anggota IGA dan sahabat masyarakat Tionghoa di Indonesia :


“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”
Yang berarti semoga sukses selama-lamanya & selalu dalam keadaan sehat

























GERAKAN RENAISSANCE JAWA


Oleh : KI SONDONG MANDALI

“HONG WILAHENG, SEKARING BAWANA LANGGENG”

“……… Demikian juga selain mengenai masalah kibijaksanaan, tahu sebelum mendapatkan pengajaran serta mengenai segala hal tentang ilmu kesaktian, bisa menghilang serta tampak seperti yang aku ceritakan kepadamu tadi.  Sebab di hamparan bentangan bumi dan dibawah langit yang mendapatkan ijin untuk memperlihatkan kebijaksanaan, kesaktian yang luar biasa, hanyalah Engkau beserta sanak keluargamu. “

“Jadi kelebihan orang-orang di barat daya negeri Hindi tersebut, hanya sebatas kemampuan manusia biasa.  Adapun yang menguasai Negara, raja atau pembesar di negeri Hindi dan seterusnya serta pulau-pulaau di tenggara negeri Hindi, secara turun-temurun tidak ada lain, semua itu berasal dari silsilahmu serta silsilah para dewa keluargamu.”

(“Mitos Asal-Usul Manusia Jawa”, Paramayoga Ranggawarsita)

SIAPAKAH WONG JAWA
Teori yang selama ini didoktrinkan dan diajarkan kepada kita, bahwa wong Jawa itu termasuk “Ras Melayu” yang cikal bakalnya berasal dari tempat yang dinamakan “Hindia Belakang”. Ras Melayu menyebar ke Nusantara karena terdesak oleh migrasi Ras Arya dan Ras Mongolia dari arah pedalaman Asia Daratan.  Teori migrasi yang menyebutkan nenek moyang wong Jawa (Nusantara) dari Hindia Belakang tersebut jelas berpijak dari asumsi bahwa Ras Arya, Ras Kaukasus dan Ras Mongolia adalah “Ras Manusia” yang lebih dulu beradab dibanding ras-ras manusia lainnya di dunia ini.

Kita boleh percaya dengan teori yang oleh para pencetusnya diberi argumen yang cukup valid tersebut. Namun kita juga boleh meragukan teori tersebut, karena kecurigaan kita terhadap “vokal” nya orang- orang Barat yang meng-“under istimatisasi”-kan bangsa-bangsa non Indo German (Arya), termasuk wong Jawa.  Mengapa kita boleh meragukan teori tersebut?

Teori tersebut dicetuskan oleh orang Eropa di jaman mereka menemukan kembali kejatidiriannya (renaissance). Ketika para petualang Eropa menjelajah negeri Timur, maka mereka sebenarnya “kaget” ketika menemukan negeri-negeri Timur (India, Cina, dan Nusantara) ternyata negeri yang lebih “beradab” dibanding mereka.  Terutama terhadap peradaban agama Hindu dan Buddha.  Dua agama yang sebelumnya tidak mereka kenal.  Yang mereka kenal cuma agama-agama asal Timur Tengah (Yahudi, Kristen, Islam) serta agama-agama kuno (Paganisme) dari Mesir dan Persia.

Para petualang Eropa yang tercengang tersebut kemudian melakukan penelitian dan “menemukan” bahwa peradaban Timur (Hindu & Buddha) sumbernya dari India.  Selanjutnya diteorikan pula bahwa bangsa India yang “beradab” tersebut adalah yang ada di India Utara dan keturunan Ras Arya alias “Indo German” yang juga menjadi nenek moyang orang- orang Eropa.

Ras Arya India tersebut dinyatakan bangsa yang paling berbudaya setara dengan Ras Kaukasus (Roman, Greek, Mesir, Semit, Slavia, dll.) dimana pada kedua ras manusia tersebut lahir semua peradaban umat manusia termasuk agama-agama besar dunia. Begitulah teori yang mereka cetuskan.

Atas dasar teori bahwa sumber peradaban manusia dari ras Kaukasus dan Arya, maka menurut teori tersebut peradaban Nusantara “harus” berasal dari ras-ras unggul tersebut.  Oleh karena itu, jejak arkeologi Hindu dan Buddha di Nusantara dijadikan bukti untuk mendukung argumen teori tersebut.  Peradaban Nusantara (termasuk Jawa) adalah “turunan” dari India. Nusantara dianggap sebagai “zero zone” peradaban dan kebudayaan manusia.

Kooptasi peradaban asing yang panjang pada bangsa Jawa telah mencuci otak seluruh rakyat hingga bergenerasi-generasi.  Maka kita, wong Jawa saat ini, sesungguhnya sudah bukan Jawa lagi.  Disindir oleh para “Pujangga Mbalela” dengan mengistilahkan sebagai Jawan atau Jawal Rab-iriban.  Dikatakan pula bermata tiga “mata Jawa - mata Arab - mata Belanda”.  Istilah bahasa Jawa yang kasar, “koplak”.

Dulunya para pencetus teori “peradaban manusia berasal dari Asia Daratan” tersebut menganggap bahwa semua peradaban bersumber dari India yang dianggap tempat lahirnya agama Hindu dan Buddha.  Dengan demikian, kemampuan membuat tempat peribadatan kedua agama tersebut juga berasal atau turunan dari India.  Menyebar sampai ke Jawa melalui India Belakang (Asia Tenggara).  Sehingga kemampuan Jawa membuat candi-candi Hindu maupun Buddha “diturun” dari Thailand dan Kamboja. Karena di kedua negeri itulah terdapat peninggalan arkeologi candi-candi mirip dengan yang di Jawa.

Namun terbukti kemudian, bahwa yang membuat Angkor-Watt di Kamboja justru seniman pemahat dan pematung yang didatangkan dari Jawa. Maka artinya adalah : bahwa bangsa Jawa waktu itu lebih memahami peradaban Hindu dan Buddha sehingga lebih mampu mempersonifikasikan “dewa Hindu” dan “sesembahan Buddha” dalam bentuk patung-patung dibanding bangsa Khmer (Kamboja), Thai, dan sekitarnya.  Dengan kata lain, atas dasar keahlian membuat candi dan patung telah terbukti bahwa Jawa (Nusantara) yang menurunkan “peradaban”-nya kepada bangsa-bangsa Asia Tenggara.  Dengan demikian, bahwa Jawa adalah “zero zone” peradaban dan budaya sudah terbantah.  Justru kemudian menimbulkan teori baru bahwa Jawa adalah sumber (pusat) peradaban Asia Tenggara.  Maka menjadi mungkin pula bahwa asal-usul agama-agama yang kemudian melahirkan agama Hindu dan Buddha adalah Jawa.

Dalam kisah para Nabi di Timur Tengah, ada dikisahkan bahwa cara melaksanakan ritual agamanya Nabi Sulaiman (King Solomon) di kuil menggunakan pembakaran “dupa” yang didatangkan dari negeri Timur. Ketika kita ketahui bahwa dupa untuk keperluan ritual itu dibuat dari serbuk kayu cendana dan getah pohon damar (kemenyan), maka sangat jelas bahwa keduanya berasal dari Nusantara pula.

Para pedagang yang memasok dupa itupun sampai ke negeri Nabi Sulaiman dengan menggunakan perahu. Maka kita boleh bertanya-tanya adakah umat nabi Sulaiman mengenal dan bisa membuat perahu?  Kalau memang kenal dan bisa membuat, maka akan tercantum dalam kitab-kitab peninggalan mereka, Taurat maupun Zabur.  Ternyata tidak ada diskripsi tentang perahu pada kitab-kitab kuno bangsa Yahudi tersebut.  Barangkali cuma pada kisah Nabi Nuh ada keterangan pembuatan perahu. Itupun sangat
tidak masuk akal ceriteranya.  Bagaimana mungkin memasukkan semua jenis binatang yang ada di dunia ini dalam satu perahu, kecuali perahunya itu ya bumi ini sendiri.  Kalau perahu Nuh itu bumi ini, maka kita harus percaya bahwa mahluk manusia berasal dari planet lain di luar angkasa sana.  Pendapat bahwa mahluk manusia berasal dari planet lain kenyataannya memang ada.  Bahkan kemudian pendapat ini dijadikan bahan untuk membuat cerita-cerita fiksi semacam film “Startrek”.

Dengan merunut kisah di jaman Nabi Sulaiman, maka bisa disimpulkan bahwa untuk kepentingan peribadatan umat Sulaiman memerlukan sarana (dupa) dari negeri Timur.  Bukan umat Sulaiman yang mendatangi negeri Timur, tetapi para pedagang dari negeri Timur yang berdatangan ke negri Sulaiman.  Maka dengan demikian, yang menguasai perdagangan antar bangsa melalui laut (samudera) di jaman Nabi Sulaiman itu adalah orang dari Negeri Timur.  Dan negeri tersebut sudah maju tingkat peradabannya hingga mengenal perdagangan lintas samudera dengan dagangan yang sangat nyleneh, dupa atau bahan pembuat dupa.  Selisik kita dengan ilmu pengetahuan, akan menemukan bahwa bangsa bahari dan yang memiliki bahan pembuat dupa (kayu cendana dan getah damar) adalah bangsa Nusantara.

Ritual agama di jaman Nabi Sulaiman ada di kuil dengan menggunakan pembakaran dupa.  Pertanyaannya, murni “karya cipta” manusia di tempat itu?  Perintah “Tuhan”? Atau “turunan” dari bangsa yang sudah lebih dahulu mengenal dupa?  Pertanyaan-pertanyaan “orang berpikir” semacam ini masuk akal dan wajar. Dalam hal ini (secara subyektif) yang paling mungkin ritual umat Sulaiman adalah “turunan” dari bangsa yang sudah lebih dahulu mengenal dupa.  Dan bangsa yang lebih dahulu mengenal dupa dari bahan sampai pemanfaatannya untuk ritual menyembah “sesembahan” adalah bangsa Nusantara.  Ketika lebih mendalam kita selisik, maka ketemulah bangsa yang menurunkan tatacara menyembah dengan dupa dan menggunakan kuil peribadatan adalah bangsa Jawa. Karena, semegah-megahnya kuil untuk melakukan pemujaan adalah candi yang berserakan adanya di Jawa.

Dalam kisah King Solomon dan Princes Sheba, dikisahkan bahwa raja (penguasa) negeri Timur adalah seorang wanita.  Maka bisa kita selisik pula di negeri atau bangsa mana yang memiliki jejak sejarah menempatkan wanita sebagai penguasa.  Maka akan kita ketemukan bahwa negeri dan bangsa itu adalah Nusantara juga.  Jejak penguasa dimaksud adalah penguasa kebaharian, tepatnya penguasa yang merangkap saudagar perniagaan antar samudera sebagaimana Puteri Sheba dalam cerita yang diangkat dari Bible tersebut.

Di Nusantara, banyak kisah (meskipun berupa dongeng rakyat) yang menceritakan adanya para perempuan penguasa merangkap saudagar besar perniagaan samudera tersebut.  Cerita rakyat itu ada di Sumatera (Melayu Kuno, Aceh Kuno, Pagaruyung), Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Jawa, yang terdeteksi dengan ilmu sejarah, ada Puteri Shima (Kalingga), Pramuda Wardani (Mataram Kuno), Tribuwana Tungga Dewi (Majapahit).  Kemudian di jaman mulai masuknya agama Islam (abad 11), banyak disebut bahwa pada waktu itu saudagar-saudagar “perniagaan laut” adalah para Nyai Ageng.  Ada disebut nama-nama : Nyai Ageng Plembang, Nyai Ageng Serang, Nyai Ageng Giri, Nyai Ageng Cirebon, Nyai Ageng Malaya, dlsb.

Masih dalam cerita “King Solomon and Princess Sheba” yang difilmkan sangat jelas sekali diceritakan bahwa saudagar “armada perniagaan lintas samudera” yang meng-ekspor dupa ke negeri Nabi Sulaiman adalah Ratu Puteri (Princess Sheba).  Memang tidak jelas disebutkan bahwa ratu puteri tersebut berasal dari Nusantara.  Namun mari kita renungkan, negeri manakah yang di jaman itu memiliki sumber daya alam untuk dupa (cendana - kemenyan) dan rempah-rempah?  Dari negeri mana pula para Penguasa Persia mendapatkan penghias mahkotanya yang berupa bulu burung Cendrawasih?  Adakah itu India dan Srilanka?  Cina? Afrika?

Lagipula kenyataannya jejak peradaban dan kepadatan umat manusia di Jawa justru lebih “tinggi” dibanding dengan daratan Asia yang dianggap sebagai asal nenek moyang bangsa-bangsa di dunia (Nabi Adam).  Sampai sekarang ini, jumlah penduduk di sekitar pusat kelahiran “agama-agama Semit” masih kalah padat dengan Jawa.

Di Jawa diketemukan fosil manusia purba.  Maka arti-nya, Jawa sudah dihuni mahluk “titah Tuhan” sejak jutaan tahun yang lalu.  Maka teori yang mengatakan bahwa Jawa sebelumnya pulau kosong yang kemudian didatangkan penduduknya dari berbagai negeri Asia atas perintah Raja Rum, adalah teori yang sulit diterima untuk “manusia berpikir”.

Dengan paparan wacana berpikir tersebut diatas, maka kita masing-masing berhak untuk menelusuri asal-usul nenek moyang kita, wong Jawa.  Saya secara subyektif berpendapat, nenek moyang saya asli Jawa.  Kalau toh bukan keturunan manusia purba yang diketemukan fosilnya di Jawa, maka saya akan lebih mempercayai mitos bahwa nenek moyang saya adalah keturunan Hyang Manikmaya, persatuan Bathara Guru dan Semar.

PERADABAN JAWA ADALAH INTISARI PERADABAN NUSANTARA
Sesungguhnya bahwa teori nenek moyang orang Nusantara imigran dari Asia Daratan meragukan.  Lebih meragukan lagi ketika kita berpikir tentang sarana transportasi untuk migrasi itu sendiri.  Kalau berjalan kaki, mungkinkah?  Kalau menggunakan perahu, apakah orang Asia Daratan memiliki peradaban bahari hingga mampu membuat perahu besar untuk mengarungi samudera?

Ada disebut perahu untuk bangsa-bangsa Timur Tengah, Mesir, Yunani, dan Romawi.  Namun perahunya bukan perahu untuk samudera besar. Sekedar kapal untuk mengarungi Laut Tengah yang tidak berombak besar sebagai-mana Samudera Hindia dan Samudera Pacific.  Bandingkan dengan diskripsi tentang perahu yang ada dalam cerita rakyat di seluruh Nusantara.  Di Bugis ada disebut bahwa nenek moyangnya (Sawerigading anak keturunan Guru) berobsesi menguasai dunia dengan perahu- perahunya.  Kemudian di Candi Borobudur ada relief perahu.

Dalam pelajaran sejarah (yang disusun orang Belanda) disebutkan bahwa relief perahu di Borobudur adalah cerita awal mulanya orang-orang Hindia belakang datang ke Jawa.  Masuk akal atau tidak hal itu?  Lha wong orang daratan, mana mungkin mengenal perahu.  Apalagi alasan migrasinya terdesak oleh orang Arya dan Mongolia, kok begitu sepele. Bukti sejarah menunjukkan bahwa serbuan Arya ke Asia hanya sampai India Utara.  Model serbuan Mongolia tidak menduduki, sekedar merampas harta membunuh semua laki-laki dan memboyong semua perempuan untuk dijadikan pemuas nafsu birahi.

Yang paling mungkin, Jawa adalah hasil migrasi bangsa-bangsa dari kepulauan Nusantara sendiri.  Artinya, Jawa adalah perpaduan umat manusia dari seluruh Nusantara yang kemudian menjadikan Jawa sebagai pusat peradaban Nusantara.  Dasar pemikirannya bahwa bangsa Nusantara saja yang di jaman purba merupakan bangsa bahari yang mampu menguasai lautan.  Mampu membuat perahu-perahu untuk mengarungi samudera yang besar (Samudera Hindia dan Pasifik).  Sedangkan di Nusantara, Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya.  Maka Jawa yang termaju “peradaban” nya, hingga umat manusia nyaman mukim di tempatnya.

Diteorikan bahwa peradaban Jawa adalah “turunan” dari India. Alasannya, agama Hindu dan Buddha di Jawa berasal dari India.  Namun kalau kita kembalikan bahwa kenyataan bangsa-bangsa Asia Daratan sama sekali tidak mengenal perahu, maka memunculkan keraguan akan kebenarannya.  Di India sama sekali tidak kita dapatkan diskripsi adanya perahu.  Untuk mencapai ke Alengka (Srilangka) dari daratan India tidak ada sedikitpun disinggung tentang perahu dalam kitab paling kuno India, Ramayana.  Maka bandingkan dengan kitab kuno dari Bugis (La Galigo) yang menyebutkan Sawerigading anak Guru memiliki cita-cita mengarungi dunia dengan perahunya.  Konon kitab “La Galigo” lebih tua dari kitab Mahabharata dan Ramayana.

Perenungan saya kemudian menemukan pendapat bahwa bukan Nusantara yang didatangi peradaban Asia Daratan, tetapi sebaliknya daratan Asia yang disebari peradaban Nusantara. Penyebaran peradaban sangat mungkin termasuk juga penyebaran agama.  Dalam hal ini yang dimaksud agama adalah agama sebelum Hindu dan Buddha lahir.

Kita boleh percaya dan meyakini agama Hindu dan Buddha berasal dari India.  Namun kalau tentang “tata per-adaban” Jawa “turunan” India, belum tentu benar.  Sederhana saja dasar pemikirannya.  Dalam kitab Mahabharata (konon asalnya dari India) ada disebut cerita asal muasal musik dan tarian. Konon pula seni budaya cermin peradaban manusia tersebut pelajaran dari para dewa di kahyangan kepada Arjuna.  Boleh kita renungkan lebih pantas mana sebagai musik dan tarian “kahyangan” antara tarian dan musik India dengan tarian dan gamelan Jawa.

Saya merenungkan nama “Sawerigading” (Srigading) dan “Guru” yang disebut dalam kitab kuno Bugis, La Galigo tersebut.  Ternyata nama itu tidak asing bagi telinga hampir seluruh bangsa-bangsa di Nusantara. Batak, Minangkabau, Kubu, Palembang, Dayak, Toraja, Baduy, Sunda Kawitan, Jawa, Bali dan masih banyak lagi wilayah lain di Nusantara ini, memiliki mitologi yang memposisikan “Guru” adalah “nenek moyang” atau “cikal bakal” nenek-moyang pada masing-masing etnis itu.   Apa maknanya ?

Atas dasar kesamaan posisi “Guru” pada kepercayaan (mitologi) bangsa-bangsa Nusantara, maka sejak jaman kuno sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha, Nusantara sudah satu peradaban.  Yang kemudian perlu dicari adalah “pusat peradaban” yang bisa menyatukan Nusantara di jaman kuno itu.  Perenungan subyektif saya menemukan bahwa pusatnya ada di Jawa.  Dasar pemikiran saya dengan pendekatan konsep kepercayaan (teologi dan mitologi) Jawa adalah yang “terang benderang” dan sangat jelas serta mudah dipahami.

Dengan asumsi bahwa pusat peradaban Nusantara di jaman kuno adalah Jawa, maka sesungguhnya peradaban Jawa adalah intisarinya seluruh peradaban Nusantara.  Kalau kemudian peradaban kuno tersebut musnah adalah mungkin sekali.  Jawa kenyataannya berada tepat di atas pertemuan lempeng kulit bumi yang terus menerus bergerak dan bertumbukan.  Terakhir dampak tumbukan tersebut berupa bencana besar di Aceh.  Maka sangat mungkin bahwa di jaman kuno, ribuan tahun yang
lalu, Jawa tertimpa bencana yang lebih besar dari tsunami yang menimpa Aceh.  Saking besarnya bencana tsunami yang melanda Jawa hingga menyapu bersih seluruh peradaban yang ada.  Yang tersisa tinggal bangunan candi-candi yaang memang kokoh kuat.  Perhatikan saja, bahwa candi-candi di Jawa yang masih utuh yang berada di tempat yang tinggi.  Juga rata-rata di pedalaman pulau, bukan yang ada di pesisir.  Kenyataan ini saja sudah bisa untuk menggugat teori yang menyatakan peradaban Jawa “turunan” dari India.  Kalau memang benar berasal dari luar, maka yang berkembang pasti yang ada di pesisir. Jejak penyebarannya juga bisa dirunut dari pulau-pulau sebelah utara Jawa (Sumatera) menuju India sana.  Kenyataannya?  Di Sumatera tak ada
jejak peninggalan semenonjol Jawa.  Kenyataan ini hanya ada dua kemungkinan.  Kemungkinan pertama peradaban India sampai ke Jawa dengan disebarkan melalui angkasa (terbang) oleh dewa-dewa sebagaimana mitos yang dikarang para empu jaman Kahuripan yang diteruskan para pujangga Keraton Surakarta.  Kemungkinan kedua, bahwa India justru menerima sebaran peradaban dari Jawa.  Mana yang lebih mungkin merupakan tantangan bagi “manusia berpikir” untuk menelaah lebih mendalam.

Dengan mewacanakan bahwa peradaban Jawa adalah intisari peradaban Nusantara bukan dimaksudkan untuk merendahkan peradaban Nusantara yang lain saat ini.  Namun lebih mengutamakan bahwa sejak jaman kuna Nusantara sebenarnya satu peradaban dengan pusatnya di Jawa. Kenyataannya, saat ini Jawa yang hanya 6% luas daratan Indonesia dihuni 63% populasi penduduk Indonesia.

Permasalahannya, bahwa peradaban Jawa yang diasumsikan “unggul” di jaman kuno  itu sudah runtuh (bukan musnah!).  Penyebab keruntuhannya bencana alam.  Kemungkinan besar tsunami yang lebih besar puluhan atau ratusan kali dibanding yang terjadi di Aceh.

Bukti lain keunggulan Jawa adalah kisah perjalanan para pendeta Buddha dari Tiongkok.  Kisahnya sekitar abad 6-7 masehi, sejaman dengan lahirnya Islam di Arab.  Maka silahkan membandingkan makna isi kisahnya.  Menurut hadis (?), nabi Muhammad SAW mengatakan: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina !”.  Padahal sejaman dengan lahirnya hadis tersebut, justru para pendeta agama Buddha dari Tiongkok berguru agama kepada para “pendeta besar” Jawa.  Salah satu “pendeta besar” itu Jnanabadra.  Cukup jelas bahwa pada waktu itu Jawa lebih unggul dari Cina bukan ?

Lebih mencengangkan lagi, bahwa sesungguhnya para pendeta Cina tersebut tujuannya berguru ke India yang dianggaap sebagai sumber agama Buddha.  Namun kenyataan-nya mereka hanya sebentar di India dan lebih lama di Jawa dalam berguru tertsebut.  Bahkan terbukti pula bahwa para pendeta Cina tersebut dalam perjalanannya menumpang perahu-perahu dari Nusantara.

Nah !  Kiranya tidak salah kalau saya berasumsi bahwa peradaban Jawa di jaman kuna adalah peradaban unggul dan merupakan intisari peradaban Nusantara. Peradaban Jawa adalah Peradaban Semesta. Dalam pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menyebut bahwa sebelumnya Nusantara pernah memiliki  “Negara Bangsa” yaitu di jaman Sriwijaya dan Majapahit.  Kalau kita bisa merunut adanya nama “Guru” atau “Bethara Guru” yang dianggap sebagai cikal-bakal seluruh raja-raja di Nusantara, barangkali di jaman jauh sebelum Sriwijaya, Nusantara juga pernah memiliki “Negara Bangsa”.

Demikian pula ketika Bung Karno menyebutkan “Berke-Tuhan-an yang lebih luas dan mendalam ….”, kiranya adalah konsep ber-Tuhan-nya Nusantara yang dengan jelas diwakili pandangan Jawa dengan istilah “tan kena kinaya ngapa”, lha wong menguasai seluruh jagad semesta seisinya, mana mungkin kalau sekedar tinggal di Sinai (Tursina), Himalaya, Gangga, Kakbah atau sekedar diwakili seorang manusia.

Konsep berke-Tuhan-an yang didiskripsikan Jawa (Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wisesa) itulah yang kemudian diistilahkan dalam bahasa Indonesia “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan kiranya lebih universal pengertiannya baik verbal maupun substansial.

Adanya Tuhan yang melingkupi seluruh semesta alam yang “tan kena kinaya ngapa” merupakan “konsep teologi” yang sangat kuat menjaga ke Maha Esaan Tuhan dari campur tangan pendapat manusia.  Bandingkan Tuhan yang diajarkan agama-agama dari Asia Daratan dimana derajat Tuhan diturun-kan sedemikian rupa hingga sekedar menghuni gurun Sinai (Bukit Tursina), Kuil, Kakbah, bahkan pada seorang manusia atau hewan.  Maka marilah kita renungkan konsep-konsep Jawa sebagai berikut :

1.   Konsep tergelarnya jagad raya yang sangat jelas dinyatakan sebagai ciptaan Tuhan (Sang Hyang Wenang). Penciptaannya dengan cara membanting atau meletuskan antiga (benih kejadian) hingga berujud 3 (tiga) unsur : materi (bumi dan langit), cahaya/enerji (cahya dan teja), Roh (Manik-maya).  Kiranya konsep ini sulit terbantahkan.

2.   Konsep terciptanya manusia dengan jelas sebagai hasil pembuahan sel telur oleh sperma yang terjadi dalam kandungan Ibu, lebih jelas dan masuk akal dibanding teori rekaan sebagaimana diajarkan agama-agama dari Asia Daratan.  Dicipta dari “lempung” yang ditiupkan roh oleh Tuhan, lebih sulit diterima akal dibanding penciptaan adalah pembuahan sel telur oleh sperma.

3.   Konsep konstelasi jagad raya seisinya yang terstruktur dalam hubungan inti dan plasma sangat jelas dalam ajaran Jawa.  Roh (Suksma, Dzat Hidup) terdiri dari inti (Hyang Manik) dan plasma (Hyang Maya). Roh manusia terdiri dari inti (pancer) dan plasma (sedulur papat). Konsep inti-plasma yang dalam istilah Jawa disebut sebagai : kembanglan cangkoke atau sesotya lan embanan meliputi hampir seluruh pandangan dan ajaran Jawa yang lahiriah maupun spiritual.  Tercipta dalam kondisi hayu (harmonis, selaras) namun dinamis dengan pergerakan di dalam keselarasan tersebut.  Hal itu terjadi, karena semesta ini “urip” dan uripnya itu karena disuksma oleh Dzat Tuhan Yang Maha Kuasa.

4.   Konsep kewajiban hidup manusia menyembah Tuhan dalam ajaran Jawa sangat universal.  Yaitu wajib melakukan segala perbuatan untuk menjaga ke-“hayu”-an (keharmonisan) semua yang sudah diciptakan Tuhan dalam keadaan hayu (harmonis).  Ajaran kewajiban ini sudah dengan jelas memuat semua kebaikan dan keber-“adab”-an manusia dalam segala hal, lahiriah maupun spirituil.  Termasuk didalamnya ajaran hubungan manusia dengan semesta alam seisinya.

5.   Ajaran Jawa tentang hidup (urip) dan mati begitu terang benderang menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi.  Upacara pengantenan (sejak sebelum kedua insan melakukan coitus) sampai dengan kematian (sampai seribu hari sesudahnya) sangat jelas memuat ajaran tentang “sangkan paraning dumadi”.

Atas dasar diskripsi konsep-konsep Jawa tersebut di atas, serta kemampuan Jawa mensinergikan konsep-konsep peradabannya dengan peradaban pendatang menambah keyakinan saya bahwa di jaman kuno pusat peradaban Nusantara adalah Jawa. Peradabannya juga asli bukan “turunan” atau “cangkokan” dari peradaban lain.  Bersifat universal, artinya konsep-konsep Jawa tersebut bisa dipahami oleh umat manusia di seluruh dunia.

Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, maka Jawa adalah sebuah bangsa yang berperadaban sedemikian luwes dan mampu mensinergikaaan peradabannya dengan peradaban manapun tanpa kehilangan identitas Jawanya. Ketika Jawa menerima Hindu dan besinergi dengannya, maka Hindu di Jawa menjadi sangat cemerlang dan semi abadi terlestarikan. Jejaknya berupa pelestarian cerita Mahabharata yang merakyat dalam pagelaran wayang kulit.  Ketika menerima Buddha dan bersinergi, maka candi Borobudur merupakan monument semi abadi agama Buddha di Jawa. Sampai saat ini pula masih berpsoses pensinergian Jawa dengan Islam.

Pijakan falsafah (pandangan hidup) Jawa adalah aras ke-religius-an, kesemestaan dan keberadaban manusia.  Ke-religius-an diekspresikan dengan “Kawruh Sangkan Paraning Dumadi”.  Merupakan konsep religius yang universal.  Bahwa semua titah dumadi berasal dari Tuhan (yang tan kena kinayangapa) dan kepada-Nya kembali (menuju paran).

Konsep pandangan ini melahirkan banyak tradisi buda-ya Jawa yang berkaitan dengan “urip” (hidup) dengan segala prosesinya.  Intinya, diawali bahwa kelahiran bayi (anak manusia) adalah “sabdaning Gusti”, maka pandangan Jawa menganggap bahwa urusan seks merupakan bagian dari “sabda Tuhan” tersebut.

Untuk itu marilah kita renungkan betapa rumitnya tata-cara adat Jawa dalam upacara pengantin.  Kerumitan itu merupakan ekspresi pandangan bahwa sesungguhnya terjadinya pembuahan sel telur perempuan oleh sperma laki-laki adalah kehendak Tuhan menciptakan manusia baru.  Maka sakral nilainya.  Renungkan pula betapa banyak dan rumitnya tradisi Jawa mengiringi perkembangan janin dalam kandungan ibu. Termasuk tradisi Jawa dalam menyambut kelahiran bayi.  Ada brokohan kemudian selapanan dan seterusnya.  Yang tidak boleh dilupakan bahwa Jawa memandang air ketuban, ari-ari dan puser bayi sebagai “saudara” si bayi dan dimuliakan.  Pada peradaban lain barangkali organ-organ itu dianggap sampah, justru Jawa mensakralkannya.

Pandangan Jawa, seks adalah sakral maka ikut dijadikan penghias (relief) tempat peribadatan. Lihat saja relief di kaki candi Borobudur maupun yang lebih jelas di candi Sukuh.  Banyak yang menganggap relief itu porno.  Tetapi bagi mereka yang “berpikir” tidaklah gampang menjastifikasi demikian.  Bayangkan saja sudah ratusan tahun yang lalu, perkara seks begitu jelas digambarkan dalam bentuk ukiran (relief) batu dengan terang-terangan.  Termasuk pula gambaran janin dalam kandungan ibu.  Lho kok dianggap porno. Justru sebuah pembelajaran (pendidikan) bukan ?  Boleh kita berangan-angan, seandainya pandangan Jawa yang menganggap seks sebagai kesakralan (sabda Tuhan) bisa  menjadi pandangan umat manusia sedunia, kira-kira bagaimana moralitas umat manusia sedunia ?


WONG JAWA MASA KINI
Stigma panjang yang sudah berlaku di tengah masyarakat Indonesia adalah anggapan bahwa Jawa menjajah unsur-unsur Indonesia yang lain. Wacana yang demikian ini menjadikan banyak orang Jawa menjadi ragu-ragu untuk eksis dengan kepribadian Jawa. Maka akibatnya menghambat aliran persembahan nilai-nilai kebaikan Jawa untuk membangun Indonesia.  Bahkan banyak pihak yang kemudian beranggapan bahwa Jawa merupakan penyebab ketertinggalan Indonesia dalam kancah dunia. Selanjutnya, Jawa diindentikkan dengan keprimitifan yang penuh klenik, tahayul dan gugon tuhon.  Akibat seriusnya adalah Jawa merasa “under estimated” sehingga tidak mampu memberikan suatu persembahan “tata peradaban” nya kepada Indonesia.

Sikap Jawa menjadi enggan ikut berperanan membangun Indonesia. Kemudian yang terjadi, menyerahkan bangunan Indonesia kepada sistim multi kultur dan peradaban yang tidak memiliki kultur/peradaban “pemomong”.  Maka terbentuklah komunitas komunitas unsur Indonesia yang secara ideologis berafiliasi kepada kultur/peradaban asing. Padahal kultur/peradaban asing yang “diturun” tersebut di tempat asalnya saling berbenturan dalam konflik panjang yang tidak jelas penyebab konfliknya itu sendiri. Barangkali, mungkin, bahwa penyebab utama konflik panjang tersebut berpangkal tolak pada karakter bangsa-bangsa dimana peradaban asing tersebut lahir adalah karakter “bar-bar”.  Menyerang bangsa lain, mengalahkan dan menjajah kemudian menjadikan bangsa yang dikalahkan dan dijajah menjadi budak (laki-laki) dan pemuas nafsu seks (perempuan).

Kita semua merdeka untuk memikirkan kemudian menarik kesimpulan bagaimana karakter bangsa-bangsa yang merasa “beradab” : Eropa, Semit (Yahudi, Arab), Persia, India (Arya), Mongolia, Cina dan Jepang. Mereka adalah kaum ekspansionis, penjarah dan penjajah.  Silahkan menelisik bagaimana sepak terjang bangsa-bangsa tersebut ketika berekspansi ke wilayah lain di dunia.

Semenjak runtuhnya Majapahit, maka Nusantara termasuk Jawa merupakan wilayah yang diincar oleh bangsa-bangsa berkarakter “bar-bar” tersebut.  Mereka berusaha menguasai Nusantara dengan segala cara. Secara intensif menggarap Nusantara untuk mereka jadikan protektorat. Adalah garapan “mental-ideologi” yang kemudian berdampak besar kepada karakter bangsa Nusantara.  Sedemikian rupa hebat hasil garapan tersebut hingga ada pujangga Jawa (menyamarkan diri dengan nama Ki Kalamwadi, abad 19) menyebut orang Jawa masa kini (setelah digarap mental ideologinya) sebagai “Jawan rab Iriban”.  Artinya, orang Jawa yang berkeinginan menjadi orang Arab dan hasilnya cuma mirip.  Jawa yang sudah tidak memiliki kedaulatan spirituil.  Jawa yang lebih bangga seandainya dianggap Arab, bahkan senang meskipun sekedar menjadi budaknya Arab.

Wacana ini bukan saya maksudkan untuk menggugat Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas wong Jawa. Namun lebih saya tujukan kepada wong Jawa muslim yang oleh kepatuhannya terhadap agama Islam menjadi tanpa sadar “membudakkan diri” kepada bangsa Arab. Sedemikian rupa membudakkan dirinya sampai kehilangan “kedaulatan spirituil” hingga lupa akan jatidiri bangsanya yang lebih beradab.

Peringatan akan kehilangan kedaulatan spirituil bagi wong Jawa tersebut sudah diwacanakan oleh Ki Kalamwadi dalam “Serat Darmagandhul” di abad 19 Masehi.  Sedemikian tertekannya Ki Pujangga tersebut memikirkan Jawa yang pelan-pelan terbudakkan secara spirituil kepada bangsa Arab, hingga menulis kitab yang sangat “keras” dan melanggar etika Jawa sendiri.  Dalam kitab tulisannya, Ki Kalamwadi memposisikan Prabu Brawijaya sebagai penyebab awal keterpurukan Jawa. Inilah yang saya nilai sebagai keberanian yang luar biasa dari Ki Kalamwadi tersebut. Menjustifikasi raja penyebab kehancuran “tata peradaban” masih dianggap tabu dalam jaman “feodalisme Jawa”. Meskipun kemungkinan analisa Ki Kalamwadi itu benar adanya, namun dianggap melanggar kesantunan Jawa yang berlaku di masa itu. Oleh karena itu, wacana Ki Kalamwadi dianggap pemberontakan terhadap kekuasaan raja. Dan bukunya dilarang beredar di tengah masyarakat. Kalau kemudian ada salinan yang beredar, maka hanya terbatas sebarannya.

Meskipun kita boleh meragukan kebenaran tulisan Ki Kalamwadi dalam Serat Darmagandhul, namun ada statemen beliau yang menarik untuk dikaji. Statemen Ki Pujangga tersebut oleh banyak kalangan “Kejawen” dianggap sebagai ramalan. Untuk itu saya kutipkan sebagai berikut :

a.    Tan wis yen sira wuwusa, balik mangke sira kang ingsun tari, kang dadi kekencenganmu, miwah beneranira, rehning uwis kebanjur ngandikaningsun, sun masuk agama Islam, sineksenan lan si Sahid.

b.    Tan kena mangsuli sabda, ingsun wirang ginuyu bumi langit, Ki Sabdapalon umatur, paduka lampahana, kula pamit kesah ing sapurug-purug, Sri Narendra angandika, sira lunga maring ngendi.

c.    Sabdapalon aturira, datan kesah amanggen wonten ngriki, mung netepi nami ulun, nami Ki Lurah Semar, kula nglimput saliring samar kang wujud, anglela ampungan padhang, den enget Sang Nata benjing.

d.   Yen wonten manusa Jawa, Jawi angangge mata siji, nami sepuh gaman kawruh, niku momongan-kula, tiyang Jawan sun-wruhke bener lan luput, sigra tedhak Sri Narendra, arsa ngrangkul den inggati.

e.    Palonsabda Genggongnaya, samya musna kadhung Sri Narapati, kalangkung pangungunipun, njethung anenggak waspa, angandika he Sahid kawruhanamu, ing besuk nagri Blambangan, aran nagri Banyuwangi.

f.     Ya iku tengeranira, Nayagenggong bali mring tanah Jawi, anggawa momonganipun, mata siji kang wignya, wani lungguh anjajari maring ingsun, tan wruh asal sobat kenal, yen nakal binuwang tebih.

g.   Tyasira angkara murka, kumet loma krenah pitenah dadi, dana kawruh dana laku, mrih arja tanah Jawa, Sabdapalon isih ana sabrang nglimput, tengerane iki sendhang, banyune yen mari wangi.

h.   Wong Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam benjing, aganti agama kawruh, Sunan Kali turira, yen makaten utaminira Sang Prabu, kula prayogi mbekta, toya wangi sendhang niki.

Kutipan tersebut termuat dalam pupuh Pangkur (pada 55 – 62), menceriterakan Kaki Sabdapalon (Nayagenggong) memilih pisah dengan momongannya, Prabu Brawijaya.  Secara ringkas bisa saya terjemahkan:

Prabu Brawijaya sudah menyatakan diri masuk agama Islam hingga disesalkan oleh pamomongnya, Ki Sabdapalon Nayagenggong. Dalam pada (bait) sebelumnya, Ki Sabda-palon “nguman-uman” (menyalahkan dengan kata-kata) keputusan momongannya berganti agama tersebut.  Maka sang raja merasa risih dan memutus pengumanumannya Sabdapalon (tan wis yen sira wuwus).  Kemudian balik bertanya akan kesetiaan abdinya itu untuk mengikuti jejaknya.

Sabdapalon menjawab bahwa tidak bersedia masuk Islam dan pamit untuk berpisah. Ditanya mau pergi kemana ? Jawab Sabdapalon tidak kemana-mana tetap berada di tempat ini (Jawa), memenuhi tugasnya sebagai Semar yang melingkupi semua kegaiban dari semua wujud, berada di balik terang.  Sabdapalon memberi pesan kepada Brawijaya :

“kalau suatu saat di kemudian hari akan ada orang Jawa, Jawi bermata satu (tercerahkan batinnya) memakai nama tua bersenjatakan kawruh (ilmu pengetahuan) itu adalah momongan Ki Sabdapalon, dan melalui orang-orang (Jawa-Jawi, jamak) tersebut Ki Sabdapalon akan mengajarkan dan menunjukkan benar dan salah kepada orang-orang Jawa yang sudah kehilangan kedaulatan spirituilnya (Jawan)”.

Seketika Prabu Brawijaya mendekati Ki Sabdapalon untuk dipeluk. Namun Ki Sabdapalon menghindar dan musna (hilang dari penglihatan, menjadi gaib). Prabu Brawijaya keheranan dan tercenung sedih menahan tangis. Dan kemudian berucap kepada Sahid (Sunan Kalijaga) :

“He Sahid ! Besuk negeri Blambangan akan bernama Banyuwangi, jika air sendang ini sudah hilang bau wanginya, maka sebagai pertanda kedatangan kembali Nayagenggong dan diamat-amati Sabdapalon dari luar (manca) ke Jawa membawa momongannya yang tercerahkan batinnya, mumpuni pengetahuannya (wignya), berani duduk setara denganku, tidak mempersoalkan asal sahabat yang dikenal, kalau nakal dibuang (disingkiri), wataknya : keras angkara murka, kikir (perhitungan) juga dermawan, semua perbuatan dilakoni termasuk memfitnah. Mendanakan ilmu dan laku untuk membuat tanah Jawa raharja (tenteram). Di saat itu nanti banyak orang Jawa meninggalkan agama Islam pindah ke “agama kawruh” (agama yang rasional, mungkin Kawruh Kasampurnan Jawa).”

Sunan Kalijaga menjawab :

“kalau begitu kebenarannya, maka sebaiknya saya mengambil air sendang ini dan saya bawa.“

Nukilan kisah yang diwacanakan Ki Kalamwadi tersebut kiranya bisa ditafsirkan macam-macam.  Termasuk menganggapnya sebagai ramalan. Saya lebih cenderung untuk menganggap sebagai analisa mendalamnya Ki Kalamwadi akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada orang Jawa yang beliau pesankan dengan cara memasukkan sebagai “ucapan” Sabdapalon ketika memilih berpisah dengan Brawijaya yang pindah agama. Pesan itu berbunyi : “Bahwa sesungguhnya, nanti akan banyak
orang Jawa yang tercerahkan batinnya dan berani melakukan upaya-upaya untuk bangkit kembali”.

Bahwa kemudian pesan Ki Kalamwadi (seorang pujangga mbalela) tersebut diyakini sebagai ramalan justru positif maknanya.  Setidaknya dengan tersebarnya ramalan akan terjadinya “kebangkitan kembali Jawa” telah memelihara pertahanan spirituil orang Jawa untuk tidak mau begitu saja dicuci otaknya. Kalau toh kemudian penjaga “pesan” tersebut lebih banyak pada para penekun Kejawen (Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa) memang menjadi keharusan sejarah. Posisinya mirip kaum
muslimin Syiah yang mempercayai ramalan akan turunnya “Imam Mahdi” yang keturunan Nabi Muhammad.

Kesimpulannya, bahwa wong Jawa saat ini rata-rata sudah kehilangan “kedaulatan spirituil”.  Bahkan untuk “menjejaki” kejatidiriannya sendiri sudah tidak mampu.  Namun ada sebagian diantara yang seperti itu masih memelihara “harapan” untuk kembali menemukan kembali kejatidirian Jawa.

RELEVANSI RENAISSANCE JAWA UNTUK INDONESIA
Banyak para sejawat yang mempertanyakan relevansi gerakan kebangkitan peradaban Jawa dengan kepentingan kebangsaan Indonesia. Sebuah pertanyaan yang menantang bagi lajer Jawa yang sekaligus sebagai warga bangsa Indonesia. Permasalahan munculnya pertanyaan tersebut ada pada kekawatiran terhadap kemungkinan memperkuat stigma bahwa Jawa menjajah unsur-unsur Indonesia yang lain.

Munculnya pendapat yang menyatakan bahwa Jawa menjajah (mengkooptasi) unsur Indonesia yang lain adalah kegagalan kita, bangsa Indonesia, mengimplementasikan cita-cita luhur diberdirikannya Indonesia. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa kurang disosialisaikannya “Wawasan Kebangsaan Indonesia” dan internalisasi nilai-nilai Pancasila.  Dengan kata lain, bahwa wacana kemerdekaan lebih berat fokusnya untuk berebut “kue”-nya, bukan upaya mengisi kemerdekaan itu sendiri. Maka makna menjadi Indonesia sebagai “peleburan” masih pada aras “penggabungan” unsur-unsur. Artinya masih butuh waktu untuk mewujudkan cita-cita luhur diberdirikannya Indonesia.

Stigma “Jawa menjajah unsur Indonesia yang lain” menjadikan tersendatnya kontribusi Jawa kepada Indonesia.  Padahal nilai-nilai budi luhur Jawa sesungguhnya dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa Indonesia. Kondisinya diperparah dengan “aktivitas politik agama” yang menjadikan Budaya Jawa sebagai “rival” agama.

Menjadikan Budaya Jawa sebagai rival agama mengakibatkan semakin terpinggirkannya nilai-nilai budi luhur Jawa. Maka nilai-nilai luhur Pancasila yang dianggap pengejawantahan Falsafah Hidup Jawa ikut terpinggirkan. Maka menjadi semu dan rapuh persatuan Indonesia yang dibangun dengan aras ajaran agama. Masalahnya, bahwa fanatisme agama telah menjadikan umat agama menjadi pasukan perang yang bisa digerakkan untuk berebut kekuasaan.

Renaissance Jawa pada dasarnya adalah merupakan upaya menggugah kesadaran Jawa akan nilai-nilai budi luhurnya yang bisa dipersembahkan kepada Indonesia. Persembahan Jawa tersebut akan sangat besar pengaruhnya untuk “ndandani” keadaan yang amburadul sekarang ini.

Eksistensi sebuah bangsa yang dibangun dari multi-kultur pada kenyataannya lebih ditentukan oleh pilihan ideologi yang mampu mengakomodir perbedaan kultur dan  peradaban masing-masing unsur yang membangun bangsa itu sendiri. Semakin universal ideologi yang dipilih dan diberlakukan sebagai dasar kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka akan semakin ulet ketahanan bangsa tersebut dalam menerima arus besar “Benturan antar Peradaban” yang terjadi setelah era Perang Dingin selesai.

Ideologi Neo-Liberalisme saat ini mendominasi dunia. Kiranya tidak ada negara atau bangsa di dunia ini yang mampu menahan gempuran ideologi neo-liberalisme tersebut.  Karena pijakan ideologi tersebut adalah sekularisme dan kebebasan umat manusia untuk eksis di dunia. Sebuah pijakan mendasar yang lintas ruang dan waktu. Ujung tombak ideologi ini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistim demokrasi. Maka tanpa direkayasa pun akan menyebar dengan sendirinya ke seluruh dunia. Bahwa kemudian neo-liberalisme dijadikan kendaraan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara kuat (kapitalis dan imperialis) untuk menguasai negara-negara lain adalah persoalan yang berbeda.

Atas pengaruh paham sekularisme, demokrasi dan kemerdekaan untuk eksis, maka kemudian mendorong umat manusia untuk lebih mengoperasionalkan “daya kemanusia-annya”. Salah satu “daya kemanusiaan” itu adalah berpikir.  “No limit” untuk kemampuan berpikir manusia, begitulah semboyan sekularisme dan liberalisme. Ide ini berseberangan dengan doktrin agama yang mengajarkan “manusia terbatas akalnya”. Maka terjadi perbenturan antara doktrin agama dengan paham sekularisme dan neo-loberalisme tersebut.

Pada aras kemerdekaan berpikir manusia, maka semua doktrin (ajaran) agama dituntut untuk rasionil hingga “manusia berpikir” bisa mengerti dan mau tunduk menjalankan ajaran agama tersebut.  Manakala proses pencerdasan bangsa telah berjalan dengan baik, maka rakyat “berpikir” akan menjadi mayoritas. Dan gugatan terhadap “kemapanan” yang tidak adil dan tidak masuk akal akan marak. Termasuk gugatan terhadap kemapanan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasionil. Begitulah yang terjadi di semua bangsa yang ada di dunia ini.

Pengaruh neo-liberalisme pada seluruh umat manusia di dunia sedemikian rupa intensif merasuki batin manusia. Akibatnya terjadi keguncangan peradaban di semua tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Pada tahapan inilah sebenarnya manusia banyak yang mengalami gegar budaya. Di satu pihak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perubahan peradaban, di pihak lain masih terikat oleh tata peradaban aslinya.

Kita ketahui bahwa banyak kelompok komunitas atas dasar agama melakukan perlawanan terhadap arus sekularisme dan neo-liberalisme tersebut.  Ada yang dengan cara melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun ada pula yang kemudian mengambil jalan kekerasan dengan teror bom yang lebih memperparah peradaban manusia.  Maksudnya menunjukkan patriotisme perlawanan terhadap dominasi neo-liberalisme, tetapi yang terjadi justru pengungkapan kesekaratan paham (ideologi) yang dimiliki.

Eksistensi nilai-nilai paham keagamaan yang semestinya penuh kedamaian telah dihancurkan sendiri oleh kepentingan politik kekuasaan sebagian umatnya. Melawan dengan kekerasan atas pengaruh liberalisme adalah resiko yang harus dilakukan para pihak yang menggunakan agama sebagai kendaraan politiknya.  Sebabnya, dengan arus liberalisme yang merasuki batin umat dengan sendirinya akan mengeroposkan legitimasi elite agama yang bersangkutan. Kepentingan mempertahankan kekuasaan yang selama ini dinikmati dengan nyaman oleh para elite agama yang kemudian melahirkan ajakan melawan arus liberalisme dengan kekerasan tersebut. Umat agama yang lugu-lugu diberdayakan sebagai kekuatan pendukung aliran politik para elit tersebut.  Strateginya memanfaatkan fanatisme umat dalam membela agamanya. Umat yang lugu telah dijadikan pasukan berani mati membela “agama”.  Oleh karena itu, perlawanan terhadap sekularisme dan liberalisme menjadi bias menuju perbenturan (konflik) antar umat agama.  Bahkan kemudian antar umat dalam satu agama itu sendiri. Memelas !

Sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang mengintervensi batin dan pemikiran umat manusia. Menjadi liar ganas ketika kemudian dijadikan paham oleh manusia-manusia yang tidak memiliki kesadaran religius, kesemestaan dan keberadabaan umat manusia. Kesadaran religius dalam hal ini tidak cukup untuk sekedar diwakili dengan memeluk agama.  Namun lebih tepat sebagai kesadaran berke-Tuhan-an yang mendalam dan luas. Kesadaran kesemestaan dimaksudkan kesadaran akan ke-mahluk-an yang posisi tempatnya sangatlah kecil di Jagad Raya ini. Sedangkan kesadaran keberadaban umat manusia adalah kesadaran sebagai mahluk hidup yang memiliki kemampuan berpikir membedakan benar-salah, baik-buruk, budi luhur-budi asor.

Pada umat manusia yang memiliki kesadaran religius, kesemestaan dan keberadaban umat manusia, sekularisme dan liberalisme akan menjadi jinak dan akan menjadi sumberdaya yang hebat untuk membangun peradaban luhur manusia yang tujuannya adalah kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia.  Kiranya wacana keluhuran peradaban yang mensejahterakan umat manusia di dunia adalah cita-cita universal umat manusia sendiri.

Indonesia yang mengklaim diri sebagai bangsa yang religius akan mengalami situasi “genting” ketika mulai marak gugatan-gugatan atas “kemapanan semu” yang ada. Baik itu kemapanan semu pemerintahan dan aturan kemasyarakatan. Semua dituntut untuk adil dan rasionil. Dan aras religius sebagai karakter dasar bangsa Indonesia akan menuntut universalnya semua ajaran agama secara obyektif. Kemapanan para elite agama yang jumud akan tergugat dengan sendirinya.

Saat ini Indonesia sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Namun terkendala banyak masalah pada warga bangsanya sendiri.  Persatuan Bangsa telah terkoyak oleh berbagai konflik SARA.  Demikian pula moral bangsa menurun hingga ke titik nadir oleh maraknya KKN hingga ke tingkat akar rumput. Pragmatisme “Pokoke Kantong Isi” telah merasuki pikiran hampir merata di seluruh warga bangsa Indonesia sendiri. Etika moral yang berpijak pada aras budi luhur sudah dilupakan.

Kondisi Indonesia yang memprihatinkan tersebut mau tidak mau mengusik nurani sebagian warga bangsa yang masih memiliki rasa cinta kepada negara dan bangsanya. Maka kemudian bermunculan statemen-statemen dari banyak kalangan untuk mengajak memperbaiki keadaan. Namun kenyataannya bisa kita saksikan pula bahwa belum ada tindakan nyata untuk melaksanakan statemen dan gagasan-gagasan tersebut.

Barangkali ada keseriusan pemerintah melakukan penertiban di segala bidang dan memberantas tindak pidana korupsi. Namun kiranya belum cukup memadai kalau tidak didukung adanya gerakan di tengah masyarakat untuk membangun kembali perilaku budi luhur.

Dalam rangka ikut serta menggerakkan masyarakat membangun perilaku budi luhur tersebut maka membangkitkan peradaban Jawa menjadi relevan. Alasannya, bahwa peradaban, tata peradaban dan kebudayaan Jawa sarat dengan nilai-nilai budi luhur yang dibutuhkan.

Bukan untuk menafikan peradaban dan kebudayaan unsur Indonesia yang lain kalau fokus utama gerakan Sekar Jagad pada kebangkitan peradaban Jawa. Masalah utama adalah belum terbangunnya peradaban Indonesia secara nyata meskipun sudah diwasiatkan pada Pembukaan UUD 1945. Sejauh ini, bangunan peradaban Indonesia masih merupakan himpunan berbagai peradaban unsur bangsa.  Upaya menyatukan dengan nilai-nilai Pancasila masih belum berjalan mulus.

Untuk membangun masyarakat Pancasilais, maka tata peradaban Jawa dan kebudayaannya sangat diperlukan. Terutama untuk memelihara norma-norma yang penuh toleransi dari banyak perbedaan yang ada. Pengalaman panjang Jawa dalam mensinergikan berbagai peradaban menjadi modal yang bisa dipersembahkan kepada Indonesia.

Sebagaimana Bung Karno menyebutkan bahwa ringkasan Pancasila menjadi Ekasila adalah “gotongroyong”, sedangkan kata “gotongroyong” itu sendiri adalah kata bahasa Jawa. Maka sudah dengan sendirinya yang mengerti makna dan mampu mendiskripsikan “gotong royong” dengan lengkap dan mendalam adalah “Jawa”.  Yaitu : hidup bersama dengan nyaman, tenteram dan damai “tata tentrem kerta raharja”. Kiranya mudah dipahami, bahwa sesungguhnya manusia dalam hidup bersama di dunia ini adalah untuk kesejahteraan bersama.

GERAKAN MEMULIHKAN KEHAYUAN
Menurut pandangan Jawa, maka keterpurukan Indonesia saat ini merupakan tanda bahwa ke-hayu-an semesta sedang mengalami gangguan. Hubungan semua unsur semesta terganggu keharmonisannya. Makia dibutuhkaan upaya-upaya mengembalikan keharmonisan semesta tersebut. Peradaban dan budaya Jawa banyak ditemukan cara-cara atau upaya memulihkan keselerasan semesta tersebut.

Sebagai contoh gangguan keselarasan tersebut ketika pada suatu lingkup kecil pemukiman ada anak (bayi) yang menangis pada malam hari. Keharmonisan malam menjadi terganggu oleh tangis bayi tersebut.  Maka pada peradaban dan budaya Jawa, untuk mengatasi hal tersebut, ditembangkan “Kidung Sontreng” Kinanthi Cengkok Mangu. Maka pelan-pelan tangis bayi akan mereda dan suasana kembali selaras hayu lagi. “Kidung Sontreng” tersebut adalah “Sastra Gendhing” atau “Mantra Swara” gubahan genius Jawa di jaman Pajajaran yang kemudian diberi warna Islam di jaman Demak.

Di Indonesia banyak didapati budaya asli daerah yang bisa disebut sebagai “mantra swara” tersebut.  Maka perlu digerakkan laku budaya yang berhubungan dengan upaya mengembalikan (memulihkan) keselarasan alam tersebut. Pada masyarakat Jawa perlu digerakkan berdirinya banyak paguyuban yang kemudian diarahkan untuk bisa melaksanakan “mantra swara Jawa”. Mantra Swara dalam bentuk tembang berupa “Serat Kidungan”, sedang pada “Ritual Gamelan” berupa “Gendhing Gadhung Mlathi”.

Mengumandangkan “mantra swara” yang terus menerus akan menjadikan unsur-unsur semesta terpengaruh untuk kembali kepada “susunan” yang hayu secara mistis.  Maka nuansanya akan mempengaruhi jiwa-jiwa manusia untuk secara “inner” kembali kepada jatidirinya yang beradab. Namun, dikarenakan wacana ini berada di wilayah spirituil, maka kepada seluruh sejawat Sekar Jagad dimohon untuk mendalami lebih jauh.  Atas dasar pijakan ingin mengadakan gerakan “mantra swara” inilah paket Sekar Jagad kami lampiri contoh nembang macapat.

Bahwa wacana ini pada aras spirituil, maka di dalam jiwa setiap warga bangsa Indonesia sesungguhnyaa telah tertanam wiji (benih) Spirituil Kebangsaan Indonesia secara alami.  Benih spirituil tersebut dalam keadaan bersifat defensif.  Dengan “mantra swara” yang tepat, maka benih spirituil yang bersemayam tersebut bisa digugah untuk menggelora sebagai-mana kekuatan “kundalini” yang terbangunkan. Geloranya sedemikian besar sehingga, kadang-kadang, membuat yang disemayami terguncang seperti “kesurupan”.  Maka dengan diberi aras ke-hayu-an semesta hasil laku budaya “mantra swara” akan memberikan ruang untuk bergeloranya benih spirituil kebangsaan Indonesia tersebut.  Bergelora kemudian beresonansi dengan benih spirituil yang ada dijiwa seluruh rakyat Indonesia.  Maka ke-hayu-aan Indonesia dengan sendirinya akan tercapai dan mengahantarkan pada kejayaan.

Demikian semoga bermanfaat.  Swuhn.

Imlek

Biasanya menjelang hari besar Imlek, warga Tionghoa akan sibuk berbenah, membersihkan rumah, mengecat rumah, mempersiapkan angpao, dan membeli baju baru. Dan, kegiatan yang paling penting ialah mempersiapkan berbagai makanan untuk upacara. Sama seperti makanan untuk upacara adat atau keagamaan lainnya, makanan khas Imlek juga sarat makna simbolik.

Hidangan yang disajikan biasanya berjumlah minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ini mewakili lambang-lambang dari shio yang berjumlah 12. Diantaranya yang memiliki perlambang ialah mie, melambangkan panjang umur dan kemakmuran. Kue lapis atau lapis legit juga disediakan. Konon kehadiran kue itu sebagai perlambang datangnya rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok, kue moho dan kue keranjang, biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue moho atau kue mangkok yang diberi merah pada bagian atasnya. Harapan yang terkandung di situ adalah kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.

Agar pikiran menjadi jernih sepanjang tahun ini disertakan pula manisan kolang-kaling. Ada pula agar-agar yang dicetak bentuk bintang, merupakan simbol kehidupan yang terang. Hidangan camilan yang tidak pernah ketinggalan adalah kuaci, kacang dan permen.

Semua hidangan untuk persembahan diatur di atas meja sembahyang. Lalu, seluruh angota keluarga berkumpul dan berdoa memanggil arwah para leluhurnya untuk menyantap sajian yang disuguhkan. Setelah upacara sembahyang usai, makanan yang tersaji di meja upacara kemudian dibagikan kepada kerabat dan handai taulan.

Meski hidangan favorit leluhur selalu disediakan di meja sembahyang, tetapi ada juga hidangan yang dihindari sekalipun disukai. Bubur, misalnya. Hidangan ini melambangkan kemiskinan, hingga tidak boleh hadir dalam hidangan sembahyang maupun suguhan Tahun Baru Imlek.

Kata “Imlek” sebenarnya berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti "penanggalan bulan" atau “yinli” dalam bahasa Mandarin. Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan “Chunjie” (perayaan musim semi). Kegiatan perayaan itu disebut “Guo nian” (memasuki tahun baru), sedang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Konyan”.

Apabila orang ingat Imlek otomatis ingat Angpauw (Hokian) atau Hong Bao (Mandarin) yang artinya amplop merah berisi uang yang merupakan simbol dari keberuntungan dan melindungi anak-anak dari roh jahat. Selain Angpauw, tradisi budaya Imlek mewajibkan masyarakatnya melakukan silahturahmi untuk prosesi "Tee-pai", yang mirip prosesi adat sungkem di kalangan orang Jawa.

Prosesi Tee-pai ini dilakukan dengan cara soja yakni tunduk (membungkuk) sambil memberi hormat dengan berdasarkan pedoman “YANG” memeluk “YIN”, yakni tangan kanan dikepal kemudian tangan kiri menutupi tangan kanan. Jari jempol berdiri lurus, dan menempel keduanya.

Soja kepada yang lebih tua sejajar mulut; soja kepada yang seumuran sejajar dada; soja kepada yang lebih muda sejajar perut; soja kepada para dewa sejajar mata; soja kepada Tuhan di atas kepala.

Di waktu silaturahmi inilah dilakukan pemberian Angpauw dan Tee-pai tersebut. Menurut adat kuno, yang boleh pergi keluar bersilaturahmi di hari pertama tahun baru Imlek, hanya kaum pria saja, tetapi sekarang adat ini sudah tidak berlaku lagi. Dan yang wajib dikunjungi secara berturut-turut adalah orang tua suami, setelah itu baru orang tua isteri. Lalu ke sanak keluarga lainnya.

Terkait dengan tradisi pesta ini, apa yang menjadi gastronomi makanan di hari raya tahun baru Imlek itu ?

Pastinya kueh keranjang (nian gao). Kata "kue" atau gao memberikan makna yang sama dengan kata dan arti "tinggi", sedangkan kata nian berarti "tahun" jadi secara simbolis diharapkan jabatan maupun kemakmuran semakin tahun dapat naik semakin tinggi. Oleh sebab itu tidak heran bila kita lihat di Kelenteng banyak kueh keranjang yang dijadikan sesajen disusun secara bertingkat.

Kue keranjang mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, enam hari menjelang Tahun Baru Imlek (Jie Sie Siang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang Tahun Baru Imlek. Kue keranjang yang dijadikan sesaji sembahyang ini, biasanya dipertahankan tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15).

Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.

Disamping itu berdasarkan mitos atau dongeng Dewa yang paling bisa mengetahui, keadaan di rumah kita adalah Dewa Dapur "Zao Wang Ye“ (Ciao Ong Ya dalam bahasa Hokkian) sebab segala macam gosip biasanya banyak disebar luaskan pada saat orang sedang kongkouw-kongkouw di dapur.

Setahun sekali sang Dewa Dapur ini pulang mudik cuti ke langit untuk sekalian laporan ke penguasa Sorga. Menurut legendanya, sang Dewa Dapur ini terkesan reseh dan bawel, maka dari itu untuk menghindar agar sang Dewa tidak memberikan laporan yang ngawur, maka disumpal terlebih dahulu dengan kue keranjang agar mulutnya jadi lengket dan akhirnya tidak bisa banyak bicara dan kalau bisa bicara sekalipun pasti hanya hal yang manis-manis saja.

Oleh sebab selalunya diatas altar sang Dewa Dapur sering diletakan kertas yang bertulisan: "Dewa yang mulia, ceritakan hanya kebaikan kami saja di langit dan bawalah berkat kembali apabila Anda turun dari langit".

Makanan lainnya yang sering disajikan menjelang Imlek adalah ikan bandeng, sebab ikan ini melambangkan rezeki. Dalam logat Mandarin, kata "ikan" sama bunyinya dengan kata "Yu" yang berarti “sisa”. Seperti juga kata "Yu" yang sering tercantum di lukisan gambar sembilan ikan, disitu tercantum "Nian Nian You Yu" yang berarti “setiap tahun selalu ada (rezeki) sisa”.

Selain ikan bandeng, makanan wajib lainnya yang disuguhkan adalah jeruk kuning, yang lazim disebut sebagai "jeruk emas" (Jin Ju). Kalau bisa dicarikan jeruk yang ada daunnya sebab itu melambangkan kekayaannya akan bertumbuh terus. Kata “jeruk” dalam bahasa Tionghoa bunyinya hampir sama dengan “Da Ji”, sedangkan arti kata dari “Da Ji” itu sendiri berarti besar rejeki.

Sedangkan untuk buah “Apel” (pin guo) mempunyai arti "Ping Ping An An" sama artinya dengan "Da Li" yang berarti besar kesehatannya dan keselamatannya dan untuk buah pear melambangkan kebahagian yang atinya "Sun Sun Li Li".

Oleh sebab itu ketiga macam buah ini selalu menghiasi meja sembahyangan yang mengartikan "Da Ji Da Li Sun Sun Li Li" (besar rejeki, besar kesehatan & keselamatannya dan besar pula kehabagiaannya)

Begitu juga dalam memberikan entah itu uang ataupun barang maupun buah-buah sebaiknya dalam kelipatan dua jadi angka genap begitu, sebab terdapat sebuah pepatah Tionghoa terkenal yang berbunyi "Hao Shi Cheng Shuang", yang secara harafiah dapat diartikan "Semua yang baik harus datang secara berpasangan".

Dan agar rezekinya tidak tersapu habis keluar, maka diwajibkan menyembunyikan sapu, karena ada pantangan dimana tidak boleh menyapu dalam rumah pada hari Imlek dan dua hari sesudahnya.

Sudah tentu pada hari raya Imlek sebaiknya pasang petasan, karena ini bisa mendatangkan keberuntungan dan perdamaian sepanjang tahun. Petasan sudah ada sejak Dinasti Tang (618-907). Konon menjelang tahun baru Imlek sering berkeliaran monster jahat yang bernama Guo Nien, hanya sayangnya monster ini masih kurang sakti, sehingga selalu ngacir ketakutan apabila
mendengar bunyi mercon, apalagi kalau melihat cahaya kilat yang keluar dari ledakan mercon tersebut.

Pada jaman baheula dahulu kala di hari raya tahun baru Imlek selalunya para leluhur  saling mengucapkan “Sin Cun Kiong Hie” (Xin Chun Gong Xi) yang berarti selamat menyambut musim semi atau selamat tahun baru.

Tetapi ucapan demikian sekarang udah kuno dan tidak trendi lagi, karena telah diganti dengan “Gong Xi Fa Cai” atau (Kiong Hie Hoat Cay) yang berarti semoga sukses selalu atau selamat jadi kaya.

Pada kesempatan emas ini, ijinkan saya mewakili teman-teman Indonesian Gastronomy Association (IGA) mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada para anggota IGA dan sahabat masyarakat Tionghoa di Indonesia :

“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”
Yang berarti semoga sukses selama-lamanya & selalu dalam keadaan sehat