".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 29 October 2017

Makanan dan Minuman yang Sudah Ada Zaman Jawa Kuno


Suka makanan tradisional Jawa? Di antara aneka makanan-minuman tradisional Jawa, ternyata ada makanan dan minuman yang umurnya sudah berabad-abad atau malah sudah lebih dari 1.000 tahun. Itu artinya makanan-minuman itu berasal dari zaman Gajah Mada masih menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi di Majapahit. Bahkan berasal dari zaman ketika candi-candi di Kompleks Percandian Prambanan sedang disusun batu-batunya. makanan-minuman tersebut masih tetap populer di dalam masyarakat zaman Indonesia sekarang. 

Keluarga-keluarga Indonesia masih lazim mengolah dan menghidangkan makanan-minuman itu di rumah mereka. Di banyak tempat pun masih ada pedagang yang menjual makanan-minuman itu. Bahkan, ada beberapa dari makanan-minuman itu terkenal menjadi makanan khas sejumlah kota . Berikut ini makanan-minuman yang sudah ada sedari zaman Jawa Kuno sebagaimana diterangkan oleh Prof Dr Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada,

1.Dendeng:
Makanan berupa daging yang dikeringkan dan dibumbui sehingga membentuk lembaran-lembaran tipis ini turut disebutkan dalam Prasasti Taji yang berangka tahun 901 Masehi dari era Kerajaan Medang.

2.Urap:
Olahan beberapa sayur yang dibumbui memakai parutan kelapa ini turut disebutkan dalam Prasasti Linggasuntan yang berangka tahun 929 Masehi dari era Kerajaan Medang.

3.Lalapan:
Sajian sayur yang tetap dibiarkan mentah atau sekadar direbus sebentar ini turut disebutkan dalam Prasasti Jeru-jeru yang berangka tahun 930 Masehi dari era Kerajaan Medang.

4.Dodol:
Kini, kue manis yang kenyal, lengket, dan berwarna cokelat gelap ini begitu identik sebagai jajanan khas kota Garut di Jawa Barat. Namun, jika mengamati bentuk, bahan baku, maupun penyajiannya, jenang ala kota Kudus di Jawa Tengah sebenarnya terbilang juga di dalam keluarga besar dodol. 


Dodol rupanya sudah turut disebutkan dalam saduran kitab Ramayana versi Jawa. Ramayana sendiri acap dianggap sebagai karya sastra India yang pertama kali disadur oleh masyarakat Jawa. Ramayana versi Jawa diperkirakan berasal dari zaman akhir Kerajaan Medang, yakni ketika masih menempati Jawa Tengah dan belum dipindahkan ke Jawa Timur oleh Maharaja Sindok. Penyaduran Ramayana guna menciptakan versi Jawanya diperkirakan terjadi antara 840 Masehi sampai dengan 930 Masehi.

5.Tape ketan:
Ramayana versi saduran Jawa yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad IX atau awal abad X Masehi sudah menyebutkan tentang keberadaan tape ketan. Kini, makanan bercitarasa manis-asam dan kerap dijadikan campuran minuman ini terkenal sebagai makanan khas dari kota Muntilan dan Magelang.

6.Pecel:
Ramayana versi saduran Jawa juga turut menyebut tentang keberadaan hidangan pecel. Makanan yang pada dasarnya merupakan racikan sejumlah sayuran yang diguyur saus bumbu kacang ini sampai sekarang populer. Sayuran yang biasa dipakai sebagai bahan utamanya adalah bayam, atau sawi, atau kangkung. 

Namun, sejumlah sayuran lain acap ditambahkan yakni kacang panjang, taoge, kembang turi, kubis, hingga irisan wortel. Selain itu, pecel sering dihidangkan dengan dilengkapi sejumlah lauk seperti rempeyek, kerupuk, karak beras, hingga telur asin. Orang antara lain kerap menjadikannya sebagai salah satu pilangan menu untuk sarapan. Karena itu banyak warung makan laris yang mengandalkan menu ini sebagai jualan utamanya. Madiun di Jawa Timur adalah contoh kota yang dikenal karena racikan pecelnya.

7.Agar-agar:
Smaradahana, kitab sastra bergenre kakawin dari zaman Kerajaan Kediri di abad XII Masehi ternyata telah mencatat keberadaan penganan yang diidentifikasi sebagai agar-agar. Namun belum dapat dipastikan pula seperti apa tepatnya agar-agar yang dicatat oleh Smaradahana ini, apakah berbahan rumput laut sebagaimana dikenal sekarang atau berbahan lain. Smaradahana sendiri mengisahkan Dewa Kama dan Dewi Ratih yang harus menjalani inkarnasi ke dunia setelah Kama terbakar hangu

8.Dawet:
Minuman segar dan manis dari hasil perpaduan air gula merah, santan kelapa, dan butiran-butiran kenyal berbahan tepung beras yang dinamakan cendol ini rupanya telah ada zaman Kerajaan Kediri, sekitar abad XII Masehi. Hal ini tercatat dalam kitab Kresnayana yang berkisah tentang percintaan Krisna dan Rukmini. Sekarang, ada beberapa dawet yang menjadi minuman khas bagi daerahnya. Sebut saja dalam hal ini adalah dawet ayu dari Banjarnegara, dawet telasih dari Pasar Gede di Solo, juga dawet ala Bayat, Klaten, yang lebih banyak di jual di Kalasan, Yogyakarta.

9.Kerupuk:
Makanan ini dibuat dari adonan tepung bercampur lumatan udang atau ikan, yang lalu dikukus, kemudian dibentuk tipis-tiipis melalui pengirisan ataupun pencetakan, lantas dijemur, serta akhirnya digoreng sehingga menjadi renyah. Keberadaan kerupuk telah disebutkan dalam kitab Sumanasantaka yang merupakan hasil penulisan dari zaman Kediri pada abad XII. Isi Sumanasantaka adalah kisah bidadari Harini yang dikutuk Begawan Trnawindu sehingga menjalani hidup di sebagai manusia di Bumi, lalu diperistri oleh Pangeran Aja, dan dari perkawinan mereka lahirlah Dasarata yang nantinya akan menjadi ayah dari Rama.

10.Rawon:
Masakan ini sekarang identik sebagai makanan khas daerah-daerah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Hidangan olahan irisan daging ini bercirikan genangan kuah cokelat gelap menjurus hitam yang dihasilkan dari penggunaan biji kluwak sebagai salah satu bumbunya. Keberadaan rawon sudah disebutkan dalam kitab Bomakawya yang berasal dari zaman Kerajaan Kediri.

11.Ikan asin:
Macam-macam ikan laut yang diawetkan dengan cara digarami dan dikeringkan ini dicatat keberadaannya dalam kitab Bomakawya dari zaman Kediri.

12.Wajik:
Jajanan manis berbahan dasar ketan yang dimasak bersama cairan gula merah sehingga berwarna kecokelatan ini telah tercatat keberadaannya dalam kitab Nawa Ruci yang berasal dari zaman Kerajaan Majapahit, sekitar abad XIV Masehi. Nawa Ruci sendiri bercerita tentang petualangan Bima mencari air suci tirta amertha yang membuatnya sampai menyelam jauh ke dalam samudera. Sekarang, wajik dikenal sebagai makanan khas dari Magelang.

13.Jadah:
Penganan dari ketan yang dihaluskan dan lalu dibentuk menjadi lempengan-lempengan atau kepalan-kepalan ini telah disebutkan keberadaannya dalam kitab Nawa Ruci hasil penulisan pada zaman Majapahit. Contoh jadah yang menjadi penganan tersohor adalah jadah tempe ala Kaliurang, Sleman, Yogyakarta.

14.Serbat:
Minuman hangat pedas berbahan dasar jahe yang dicampur bersama tambahan bahan-bahan lain seperti kencur, kemiri, dan adas pulowaras ini telah dicatat keberadaannya dalam kitab Kidung Harsawijaya yang berasal dari zaman Majapahit. Kidung Harsawijaya sendiri bercerita tentang sejarah masa akhir Singhasari sampai berdirinya majapahit

Note
Kompilasi tulisan Prof Dr Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada

Saturday 28 October 2017

Rasa Pedas pada Masakan Nusantara

Jaman sekarang cabe sudah tidak terpisahkan dari menu sehari-hari bangsa Indonesia. Begitu besar perannya sampai sulit membayangkan ada masakan tanpa lombok.

Tapi tahukah bahwa sebenarnya hidangan makanan Nusantara pernah mengenal jaman tak bercabe. Bahkan sumber rasa pedas ini sebenarnya juga bukan asli Nusantara. Jamuan makan pada jaman Hayam Wuruk, raja Majapahit misalnya, tidak mengandung cabe, walaupun tidak berarti absennya rasa pedas.

Pedes tanpa lombok? Bagaimana mungkin ? Bagaimana mereka mendapatkan rasa pedas?

Dalam teks-teks Jawa kuno sering disebut adanya ajaran enam rasa yang berasal dari akulturasi bangsa India yaitu Sad Rasajang terdiri dari manis, asin, asam, pedas, pahit dan sepet (sepat/kelat). 

Hidangan baru akan nikmat kalau mengandung ke-enam rasa itu dengan perimbangan yang harmonis. Rasa pedes (pedas atau katuka) bisa muncul dengan memadu lada hitam, lada putih dan jahe, seperti yang juga dilakukan pada umumnya masyarakat di India. Percampuran merica dengan jahe memang membuat masakan tertentu berasa pedas.

Sedjak kedatangan cabai pada abad keenam belas, hidangan makanan Nusantara berubah warna menjadi merah. Sebelum itu, ketika orang masih banyak menggunakan kunyit, warna makanan jelas kuning. Sedangkan kalau banyak digunakan jahe atau kencur warna makanan putih atau keputih-putihan atau putih mangkak.

Note :
Diambil dari cuplikan artikel Joss Wibisono 

Perbedaan Gastronomi Masyarakat Barat & Indonesia


Gastronomi adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik (the art of good eating). Gastronomi dalam bahasa Indonesia disebut upaboga (anton moelyono) sedangkan manakan sebagai boga.

Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi sebagai segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman .Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen sejarah & budaya dengan makanan sebagai pusatnya.

Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman dari berbagai negara besar di seluruh dunia. Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya. Contohnya Gastro-Diplomacy sebagai program branding yang dilakukan White House bersama Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Istilah upaboga  muncul pertama kalinya tahun 1801 dalam sebuah puisi Joseph Berchoux yang berjudul Gastronomie  yang menjadi dasar pemikiran mengenai upaboga dari penulis lainnya seperti Alexandre Grimod de La Reyniere (1803), Jean Anthelme Brillat-Savarin (1825) dan banyak lainnya seperti antara lain karya Pascal Ory (1948).

Gastronomi lahir akibat pecahnya Revolusi Perancis (1789–1799) dimana resep-resep boga aristokrat kerajaan, yang selama ini tidak pernah diketahui masyarakat, tampil dan diketahui secara luas sampai ke masyarakat negara-negara Eropa lainnya. Termasuk peranti saji, presentasi, etiket dan gaya makan ala monarki mulai ditiru masyarakat secara luas. Tata cara makan ini dikenal oleh kita dengan nama fine dine. 


Merupakan suatu kebanggaan dan prestis bagi yang meniru protokol boga kerajaan tersebut.  Artinya resep-resep boga para raja-raja itu dibuka kepada umum. Masyarakat awam tidak pernah mengetahui dan mengenail resep-resep  raja-raja tersebut karena selama itu bersifat sangat tertutup utk kalangan non kerajaan.

Adalah Berchoux & Savarin yang menterjemahkan boga ala aristokrat itu kemudian bernama gastronomi (upaboga). Artinya the art of good eating resep-resep boga aristokrat kerajaan dengan melihat makanan itu dari sisi sejarah & budaya (termasuk kemudian dilengkapi dengan elemen lanskap geografis & metode memasak). Bagi Berchoux & Savarin gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.

Pertanyaannya sekarang bagi masyarakat barat, sebagai seorang gastronom, apa yang dikaji dan harus diketahui mengenai sejarah & budaya dari boga itu ?

Hanya 4 (empat) yaitu :
1. Sejarah : yakni mengenai asal usul bahan baku,  bagaimana dan dimana di-budidaya-kannya
2. Budaya  : yakni mengenai faktor yang mempengaruhi masyarakat setempat mengkonsumsi makanan tersebut  
3. Lanskap geografis : yakni mengenai faktor lingkungan (alam) & etnis yang mempengaruhi masyarakat memasak makanan tersebut
4. Metode memasak : yakni mengenai proses memasak secara umum. Bukan mengenai teknis memasak karena seorang gastronom tidak harus bisa memasak

Ke-empat itu adalah (dalam istilah kita) yang dinamakan dengan *tangible* (yang nyata, jelas dan terwujud) .. Sebatas itu saja karakter gastronomi masyarakat barat walaupun ada sedikit unsur  intangible-nya.

Kesimpulannya gastronomi lahir 218 tahun yang lalu di benua Eropa, yakni dari Perancis, yang kemudian diikuti masyarakat diluar Eropa seperti benua Amerika & Kanada. Pusat kegiatan dari isyu-iysu material dan aktifitas gastronomi masyarakat barat berkedudukan di Paris dengan organisasi bernama International Academy Of Gastronomy (IAG) yang beranggotakan 26 negara (termasuk Indonesia dan Jepang). Kemudian pendiri IAG mendirikan organisasi serupa untuk masyarakat amerika latin yang beranggotakan 18 negara-negara seputar wilayah itu.

Sekarang bagaimana di Indonesia ..??

Gastronomi diperkenalkan di Indonesia tahun 1982 oleh almarhumah ibu Suryatini Ganie yang menjadi pelopor berdirinya Lembaga Gastronomi Indonesia ... LGI adalah lembaga badan hukum pertama Asia yang terdaftar resmi di IAG) Paris. Adalah suami almarhumah yakni almarhum Nazaruddin Ganie yang berjuang keras mendaftarkan LGI di Paris. Berjuang keras dalam arti tadinya tidak boleh ada negara diluar masyarakat barat ada di IGA tetapi karena gigihnya perjuangan keduanya maka LGI resmi ada di IAG yang kemudian diikuti negara-negara lain dari Timur Tengah.

Penulis senior majalah Femina ini meletakkan gastronomi lebih kepada resep makanan nusantara dalam kumparan gastronomi. Artinya tetep membingkai resep-resep itu dengan sejarah dan budayanya. Sayang beliau pada tahun 2011 meninggal dunia sehingga tidak banyak yang bisa dipelajari dari pengalaman gastronomi beliau.

Pada tahun 2013 didirikan Akademi Gastronomi Indonesia (AGI) oleh seorang Hamba Allah yang selama 2 tahun berhasil mendaftarkan AGI di IAG Paris pada tahun 2014. Setelah terdaftar di Paris  Hamba Allah  ini kemudian mengundurkan diri dari AGI yang kemudian pada tahun 2016 mendirikan Indonesian Gastronomy Association (IGA)

Pada tahun 2017 Hamba Allah ini menulis sebuah karya berjudul Gastronomi Upaboga Indonesia yang menjadi patokan pengetahuan gastronomi di Indonesia setebal 237 halaman namun masih berbentuk E-Book.

Artinya gastronomi di Indonesia baru berkembang 32 tahun.

Dari perjalanan selama 4 (empat) tahun dan mempelajari pemikiran-pemikiran dari almarhumah ibu Suryatini Ganie serta ahli-ahli sejarah, antropologi, arkeologi, budaya dan lainnya, dapat diketahui gastronomi di Indonesia punya konstruksi dan karakter yang berbeda dengan masyarakat barat, yakni :

1. Konstruksi boga resepi kepulauan Nusantara Indonesia tidak berasal dari dunia aristokrasi kerajaan, apapun namanya judulnya mereka itu semua, walaupun ada tetapi tidak menentukan karakter boga negeri ini secara keseluruhan. Boga resepi bangsa negeri ini berasal dari masyarakat kalangan bawah.

2. Sebagian besar boga Indonesia mempunya nilai ritual dan adat istiadat.

Dari elemen perbedaan itu bisa dilihat secara kasat mata bahwa makanan yang ada di negeri ini kebanyakan ditampilkan di usaha warung rumahan dan jajanan jalanan (alias kaki lima). Mereka adalah pelaku UKM (Usaha, Kecil & Menengah). Itu adalah warna dari karakter boga Indonesia dan wajah makakan bangsa ini. Dan hampir semua masyarakat pernah dan tetep beli makanan dari mereka. 

Jadi boga Indonesia bukan dan jangan ditampilkan sebagai barang kemewahan seperti di masyarakat barat. Kalaupun ada boga-boga Indonesia disajikan ditempat-tempat mewah itu hanya sebagai kosmetika dari masyarakat kalangan atas yang mau nyaman terhadap apa yang mereka makan. Makanan Indonesia dengan tampilan kemewahan itu adalah ibarat wanita yang diberi dandanan kosmetik mahal, padahal wanita itu sebenarnya lebih cantik berpenampilan apabila tanpa kosmetik.

Kedua boga Indonesia mempunya nilai ritual dan adat istiadat. Artinya punya nilai  intangible yakni filosofi, falsafah, kearifan lokal atau cerita warisan pusaka dibelakangnya.

Kedua elemen ini yang membedakan gastronomi barat dan gastronomi Indonesia ..

Dengan demikian ke dalam unsur sejarah & budaya gastronomi Indonesia harus dimasukan komponen intangible tersebut

Tetapi ada sesuatu yang sangat disadari masyarakat barat bahwa gastronomi itu adalah identitas & DNA bangsa mereka .. Kesadaran ini belum ada saat ini di bangsa Indonesia karena mereka masih beranggapan makanan sekedar sebatas perut dan pesta festival..

Semoga bermafaat

Tabek

Thursday 26 October 2017

Kala Identitas Jarang Ditampilkan


Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara.

QUOTE
Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka pegang teguh setjara tidak sadar. Hal ini menjebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita dari kabinetku selalu menjediakan djualan makanan Eropa. 'Kita mempunjai panganan enak kepunjaan kita sendiri,' kataku dengan marah. 'Mengapa tidak itu saja dihidangkan?' 'Ma'af, Pak,' kata mereka dengan penjesalan, 'Tentu bikin malu kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita jang melarat.' Ini adalah suatu pemantulan-kembali daripada djaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami jang telah berabad-abad umurnja kembali memperlihatkan diri.

UNQUOTE

Paragraf itu adalah omelan Sukarno yang dimuat dalam buku biografinya karya Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat itu Sukarno sedang giat-giatnya membangun mentalitas Indonesia. Selain melarang musik ngak ngik ngok, Sukarno juga berusaha mengangkat harkat makanan Indonesia. Salah satu usaha Sukarno tampak dalam penerbitan buku Mustika Rasa (1967), buku masak pertama sekaligus satu-satunya yang dicetak oleh negara.

Tapi ternyata berpuluh tahun kemudian, usaha Sukarno masih menemui hambatan berarti. Setidaknya jika membicarakan hidangan kenegaraan jenis makanan apa yang bisa dijadikan ikon diplomasi melalui makanan.

Negara Asia lain menyadari pentingnya food diplomacy atau dikenal dengan istilah politinya Gastro-Diplomacy. Bukan saja di jenis menu makanannya tapi juga kelengkapan peranti saji dan fasiltas perangkat memasaknya berikut chef.

Pemerintah Cina dalam setiap acara kenegaraan, baik di luar negeri dan di dalam negeri, menyediakan perkakas khusus untuk masing-masing Presiden dalam kepentingan  food diplomacy. Untuk Presiden, peranti sajinya terbuat dari emas. Sedangkan untuk tingkat menteri peranti sajinya terbuat dari perak. Sedangkan untuk menu makanan (boga) sudah bsia dipastikan negara Tirai Bambu ini kaya akan itu.

Pemerintah Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan sajian kenegaraan yang menarik, sekaligus terbuka. Masyarakatnya kebanyakan pun bisa mengetahui menu apa saja yang disajikan para juru masak White House. Jepang dan Thailand juga demikian dalam menampilkan kekayaan Gastro-Diplomacy negara masing-masing melalui makanan (boga).

Indonesia bagaimana ?  Tidak demikian dengan di Indonesia. Sudah lazim dan terbiasa semua makanan yang disajikan kepada Presiden atau tamu kenegaraan dipesan Kepala Rumah Tangga kepada hotel berbintang. Pemesanan tersebut sesuai dengan permintaan Presiden atau Kepala Rumah Tangga Istana. Jadi tidak ada istilah chef istana, apalagi fasiltas perangkat memasaknya.

Hampir sebagian negara-negara di dunia punya chef istana seperti Cristeta Comerford (chef Eksekutif Gedung Putih), Mark Flanagan (chef Buckingham Palace), Shalom Kadosh (chef Presiden Israel), Ulrich Kerz (chef Kanselir Jerman), hingga Hilton Little (chef Presiden Afrika Selatan). Presiden bisa berganti, chefnya tidak berganti kecuali meninggal dunia.

Jean Anthelme Brillat-Savarin mengatakan "Takdir suatu bangsa itu tergantung dari apa yang mereka makan" . Dengan kata lain ucapan Savarin memberi pesan "Makanan adalah identitas bangsa". Bagi Savarin makanan dan negara amat erat kaitannya.

Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi di berbagai pemerintahan dunia. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara. Apalagi keluwesan memilih menu memang menjadi salah satu karakter hidangan kenegaraan. Tapi akan sangat cilaka kalau sebuah negara nyaris tidak pernah menghidangkan menu nasionalnya untuk hidangan kenegaraan..

Oleh karena itu semua usaha Sukarno untuk mengangkat kekayaan boga Indonesia, menjadi terasa sia-sia. Aneka peralatan makan apik yang dulu disediakan oleh Soekarno pun sudah hilang tak berbekas di istana. Sekilas hal ini memang terkesan sepele. Tapi negara yang besar adalah negara yang menghargai kebudayaannya sendiri, termasuk boganya. Jamuan kenegaraan adalah wajah penting dalam dunia diplomasi. Kalau wajahnya bopeng, maka tak mengherankan negara ini akan dipandang sebelah mata.

Note: 
Cuplikan artikel Reja Hidayat & Arbi Sumandoyo

Saturday 21 October 2017

Mengapa Orang Sunda Gemar Melahap Lalap?

Jika Anda kebetulan sedang berada di daerah Jawa Barat, pasti Anda menemukan banyak tempat makan yang menawarkan makanan khas Sunda. Biasanya rumah makan Sunda identik dengan sambal dan lalapan. Beberapa sajian lain seperti pepes hingga berbagai makanan yang dibakar juga jamak ditawarkan di rumah-rumah makan khas Sunda.

Ada berbagai tanggapan mengenai masakan khas sunda di masyarakat.

“Makanan Sunda itu sederhana, rasanya cenderung asin, biasanya juga mentah dan rasanya segar,” ujar Dhiany, perempuan yang berasal dari Majalaya.

Berbeda lagi dengan Setyo Aji Harjanto. Pria Tangerang yang pernah menjadi wartawan kuliner di salah satu media daring itu mengatakan bahwa makanan Sunda adalah makanan yang mecerminkan budaya Sunda. “Makanannya ya seperti nasi liwet, awug, dan lalapan,” katanya.

Makanan dan Kebudayaan

Dalam kajian antropologi, makanan dipandang memiliki makna-makna simbolik yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan sehari-hari. Seto Nurseto, seorang lulusan program studi antropologi Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa makanan berkaitan erat dengan kebudayaan yang melingkupinya.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebanyakan orang kerap menyamakan kebudayaan dengan kesenian, terutama kesenian tradisonal, padahal kesenian hanyalah satu bagian kecil dari kebudayaan.

“Budaya pahili eujeung seni. Jadi, orang kalau ditanya ‘tahu budaya sunda, tidak?’ jawabnya jaipongan, ketuk tilu, kuliner, dan seterusnya. Bagi mereka, budaya Sunda hanya itu,” ujar Mochamad Ari Mulia, Ketua Dewan Karatuan Majelis Adat Sunda.

Rimbo Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan dan Kebudayaan’ di program studi antropologi Universitas Padjadaran menjelaskan: sesuatu yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan belum tentu dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain. Setiap kelompok mengatur makanan mereka berdasarkan aturan budaya masing-masing. Aturan itu bisa didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan lain-lain. Konsekuensinya paradoksal: di satu sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di sisi lain makanan juga bisa menjadi pemersatu.

“Perjanjian damai, misalnya, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama,” ujar calon doktor Radboud University, Nijmegen, Belanda, tersebut.

Makanan Sunda dan Lalapan

Dalam makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001 silam, pakar mikrobiologi Institut Teknologi Bandung Unus Suriawieia menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya ialah tumbuh-tumbuhan.

Unus dalam bukunya Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda menjelaskan bahwa kegemaran masyarakat Sunda makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan alam.

Samson, seorang pengamat budaya Sunda yang bekerja sebagai dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjajaran, mengatakan bahwa budaya Sunda tak sekadar mendefisinisikan suku atau etnis. Menurutnya, lebih dalam dari itu, kebudayaan Sunda juga membicarakan kebaikan dan keburukan.

“Ada penanda dari kebudayaan Sunda yang berjaya selama 900 tahun, yaitu Sad Rasa Kemanusiaan atau enam aspek nilai kemanusiaan Sunda. Yang pertama adalah moral manusia terhadap Tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang ketiga adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral manusia terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, dan yang terakhir adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,” ujar Samson.

Maka, kebudayaan Sunda menuntut manusia supaya berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alam dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengkonsumsi lalap hanya salah satu pantulan dari cara hidup tersebut.

Samson melanjutkan, pehuma Sunda mengenal pembagian tanaman berdasarkan untuk siapa tanaman itu ditanam. Dalam proses bertani yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan itu mereka juga menyempatkan diri menanam tumbuh-tumbuhan buat dimakan hewan-hewan yang tinggal di kawasan tersebut dan yang berguna dalam merawat ekosistem. Contohnya, dekat sumber air atautampias, pehuma kerap menanam marémé karena tumbuhan itu mampu menahan air.

Berbeda dari Samson, menurut Rimbo, keterampilan manusia Sunda mengenali alamnya boleh jadi merupakan buah dari keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.

“Dalam seminar kebudayaan Sunda pada 2005 atau 2009, ada satu makalah yang mengatakan keragaman hayati di Jawa Barat jauh lebih kaya dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari pernyataan itu kita bisa menganalisis apakah keragaman itu terkait dengan lalapan. Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda mendefinisikan lalap secara sangat luas,” ujarnya.

Note :
Artikel diambil dari blog Dapur Sunda

Wednesday 18 October 2017

Badan Pelestarian Boga Indonesia


Melihat begitu pesatnya perkembangan makanan (boga) di Indonesia, sudah saatnya didirikan sebuah organisasi nirlaba berbentuk perkumpulan bernama Badan Pelestarian Boga Indonesia (BPBI). Organisasi ini akan menata kembali carut marut peta dan garis seni pusaka boga di negeri ini, termasuk upaya pemeliharaan, pengelolaan dan pemanfaatannya serta kreatifitas membangun masa depan boga Indonesia.

Dengan memanfaatkan nilai-nilai luhur pusaka makanan nusantara maka pengembangan seni dan budaya boga didorong dan direvitalisasi untuk membangun kerangka kehidupan yang positif dann berkelanjutan bagi terbangunnya dunia yang harmonis dan sejahtera. Saling menghormati dalam komunikasi dan pemahaman lintas budaya, serta situasi yang mendukung agar terus dibangun untuk pelestarian pusaka makanan, perbaikan kehidupan saat ini serta peletakan pondasi yang kuat untuk masa depan.

BPBI terdiri dari berbagai mitra organisasi, komunitas & perkumpulan makanan dari daerah di seluruh Indonesia, akademisi, dan individu praktisi serta pemerhati pelestarian pusaka makanan nusantara. Organisasi ini akan dibangun menjadi sebuah gerakan masyarakat terpadu yang didukung oleh seluruh lapisan dan menjadi bagian dari hidup masyarakat.

Visi BPBI adalah “Mengawal Kelestarian Pusaka Makanan Indonesia” yang dilaksanakan agar terwujud rekam jejak sejarah, budaya dan peradaban bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat.

Misi BPBI adalah untuk :
-- Menyampaikan masukan untuk pengembangan kebijakan, strategi, program, panduan dan mekanisme pelestarian pusaka warisan boga Indonesia;
-- Menyelenggarakan pelestarian dan membantu pengembangan kapasitas pelestarian makanan nusantara serta membangun gerakan pelestarian pusaka warisannya bersama pemerintah, komunitas, dunia usaha dan berbagai lembaga lainnya;
-- Mengembangkan sistem pendanaan pelestarian pusaka warisan boga nusantara melalui kerjasama nasional dan internasional.

Dasar acuan BPBI adalah mengupayakan langkah penyelamatan aset & catatan kuna budaya makanan bangsa agar tidak kehilangan mata rantai perkembangannya dari sejak jaman dulu sampai dengan sekarang

Saturday 7 October 2017

*APA ITU GASTRONOMI*


Salam gastronomi .. Ijinkan saya mencoba menjelaskan sekali lagi mengenai gastronomi ..

Pada intinya gastronomi itu adalah *tukang makan* yang paham mengenai *the art of good eating* .. Sebutan terhadap orangnya adalah *gastronom* ..

Seorang gastronom harus punya passion terhadap seni makanan karena yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat makanan) ..

Makanan (atau disebut juga boga) bagi gastronom bukan sekedar kenyang sebatas perut .. Ada cerita & kajian dibalik makanan itu mengenai : sejarah, budaya, lanskap geografis dan metoda memasaknya ...

Nah disini letak kepentingan saya menjelaskan mengenai cerita & kajian itu  ...

Seorang gastronom tidak wajib mengetahui secara terperinci mengenai sejarah, budaya, lanskap geografis dan metoda memasak dari makanan itu, karena yang bersangkutan adalah tukang makan .. bukan pakar dari segala cerita & kajian makanan itu .. Namun yang pasti seorang gastronom wajib mengetahui ada cerita & kajian dibalik makanan, tapi cukup diketahui sebatas umum saja ..

Gastronom ibarat seorang diplomat yang bisa bicara apa saja (hukum, politik, ekonomi, budaya, kesenian, militer dll) tapi sebatas umum mereka bicara bukan secara rinci, karena diplomat pada intinya adalah seorang lobbi & negosiator dengan tugas utamanya intelligence gathering ..

Pertanyaannya sekarang dari mana dan siapa yang bisa menjelaskan cerita & kajian itu ??

Karena komponen gastronomi terkait sejarah, budaya, lanskap geografis dan metoda memasak, maka yang bisa menjelaskan dan dari mana bisa diketahui cerita & kajian itu adalah dari pakar sendiri yakni ..

- a. Komponen sejarah, budaya & lanskap geografis dari pakar akademis seperti : antropologi, arkeologi, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan, pangan dan lain sebagainya ..

Selain pakar-pakar akademis di atas, ada kalangan food & travel writers yang punya pengalaman lapangan dalam soal makanan (boga) ..
Food & travel writers ini belajar secara otodidak dengan menuturkan kisah-kisah tentang masakan dalam bentuk folklor atau cerita kesejarahannya ..

Ibaratnya di masa lalu, food & travel writers ini seperti penutur tradisional : Pelipur Lara (Sumatera), PM Toh (Aceh), Nyahibul Hikayat (Betawi), Tukang Kentrung (Jawa) dengan alatnya tambur ..
Mereka berkelana dari satu kampung ke kampung lain sambil membawa berita kehidupan sosial budaya para leluhur .. termasuk seni budaya masakan .. disampaikan tanpa catatan tertulis melalui cerita ke cerita dan dari mulut ke mulut artinya tanpa ada satu keseragaman catatan bagi semua ..

- b. Komponen metoda memasak yang biasa disebut dengan kuliner dikenal dengan orang yang menguasai the art of good cooking .. Mereka adalah tukang masak (chef atau pemasak) yang menguasai teknis memasak mengolah & memproses resep masakan menjadi makanan .. Seorang gastronom tidak harus pandai memasak .. cukup diketahui secara umum metoda memasaknya saja bukan praktek dari teknik memasak ..

Dengan demikian kalau ada yang bertanya kepada seorang gastronom apa itu cerita & kajian sejarah maupun budaya dari suatu masakan (umpamanya dendeng) .. belum tentu yang bersangkutan bisa menjawab secara detail karena (sekali lagi) yang bersangkutan adalah food connoisseur .. Jadi bahagialah kita jika di grup ini ada pakar akademis, food & travel writers serta chef atau pemasak, karena ketiganya bisa memperkaya khazanah pengetahuan cerita & kajian gastronomi kita ..

Tabek